Tradisi Pangur, Kepercayaan Kuno Potong Gigi Wanita di Banyuwangi

Wanita yang sudah dipangur, artinya dia sudah siap menikah

Banyuwangi, IDN Times - Unik sekali tradisi yang ada di Dusun Wagah, Kecamatan Siliragung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, ini. Masyarakat menyebutnya dengan tradisi Pangur. Dalam tradisinya, orangtua di Desa setempat biasa memotong gigi anak-anaknya menggunakan semacam alat pahat dan jura piranti lainnya. Konon, tradisi ini dilakukan untuk berbagai tujuan. Mulai dari urusan jodoh hingga kepercayaan menghindari malapetaka.

1. Pertanda anak gadis siap menikah

Tradisi Pangur, Kepercayaan Kuno Potong Gigi Wanita di BanyuwangiIlustrasi gadis desa. (freepik.com)

Mbah Markini (96), warga Dusun Wagah menjelaskan jika tradisi Pangur atau potong gigi ini umumnya dilakukan oleh gadis yang memasuki usia 9-14 tahun atau pada masa pubertas wanita. Pada zaman dahulu, masyarakat setempat menandai bahwa anak gadis yang sudah dipangur giginya, dia sudah dianggap dewasa.

Tradisi ini sekaligus menjadi pertanda bahwa anak gadis tersebut sudah siap untuk menikah. Maklum, pada zaman dahulu memang sangat sering perempuan belasan tahun yang menikah, karena belum ada kebijakan yang mengaturnya.

Selain wanita, tradisi pangur ini juga bisa dilakukan untuk anak laki-laki. Orangtua kuno percaya jika tradisi ini bisa menghindarkan anak laki-lakinya dari nasib sial yang bisa menimpa saat mereka tumbuh dewasa. 

“Ya wanita ya laki-laki. Pokok dirasa umurnya sudah remaja harus dipangur. Kalau kata orang-orang dulu, supaya selamat dalam menjalani hidupnya," ucap Mbah Markini menggunakan bahasa Jawa yang sudah ditranslate oleh IDN Times, Sabtu (11/3/2023).

2. Jodoh susah mendekat jika tidak dipotong giginya

Tradisi Pangur, Kepercayaan Kuno Potong Gigi Wanita di BanyuwangiPixabay/ StockSnap

Markini menyebut, dari 6 anaknya 4 di antaranya adalah perempuan dan sudah menjalani tradisi potong gigi tersebut. Pangur ini dilakukan juga untuk alasan kekhawatiran orangtua yang takut jika anaknya susah mendapatkan jodoh. Kondisi ini juga berlaku kepada Mbah Markini semasa mudanya. 

Tradisi pangur ini dilakukan dengan meratakan gigi anak gadis yang notabene tidak rata. Gigi tersebut kemudian dipotong atau dipapak dalam istilah Jawa, menggunakan semacam pisau pahat atau dikikis menggunakan pemantik korek api minyak tanah. Adapun gigi yang dipotong hanyalah gigi depan saja, baik itu rahang atas maupun bawah.

“Lah kalau tidak dipangur nanti gak bisa menikah. Jodohnya sulit. Tidak sakit, cuman agak linu saja," ungkap Mbah Markini.

Selain dipercayai sebagai tola bala dan mempermudah datangnya jodoh, tradisi pangur ini rupanya juga memiliki manfaat lain dari segi penampilan. Anak-anak yang melakukan ritual pangur ini akan mendapati gigi yang rata. Karena berdasarkan tradisi, jika anak memiliki gigi kelinci maka nasib sial akan menghampiri.

3. Tradisi pangur terancam punah, masyarakat moderen pilih dokter gigi

Tradisi Pangur, Kepercayaan Kuno Potong Gigi Wanita di Banyuwangiilustrasi kontrol rutin ke dokter gigi (unsplash.com/lafayett zapata montero)

Dengan berkembangnya zaman, tradisi pangur ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat setempat. Bahkan mungkin dapat dikatakan hampir punah, karena sangat jarang dilakukan lagi. Hanya segelintir saja yang mempertahankannya karena fanatik kepercayaan leluhur mereka. 

Dari keluarga besar Mbah Markini contohnya, tradisi pangur ini berhenti di generasi cucunya saja. Selebihnya, tradisi sudah sepenuhnya ditinggalkan. Generasi saat ini lebih mempercayai dokter gigi untuk metode perawatan gigi. 

"Entahlah, mungkin ada beberapa yang masih pangur anak-anaknya. Zaman sekarang enak, ada dokter, ada obat. Alat-alatnya canggih. Dulu kan tidak ada seperti itu, apalagi almarhum suami dulu sangat ketat dan keras kalau soal tradisi," cetusnya. 

Baca Juga: Mengenal Tradisi Mantu Kucing, Ritual Tolak Bala Warga Banyuwangi

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya