Pernikahan Dini di Balik Tradisi

Sebuah catatan tradisi pernikahan dini di beberapa daerah

Surabaya, IDN Times - Rani, salah satu perempuan yang menikah muda di Provinsi Jawa Timur. Perempuan asli Surabaya itu, dinikahi pria asal Bangkalan, Madura di usia 17 tahun. Sedangkan suaminya Saini saat itu berusia 20 tahun.

Saat itu, Rani mengaku memiliki pembenaran sendiri sebelum akhirnya memilih menikah muda. Salah satunya karena kelaziman atau budaya di daerah suaminya Saini. Sebagian besar saudara dari suami Rani, menikah di usia muda. 

“Iya banyak saudara mas (Saini) yang nikah muda, masih kecil-kecil tapi nikah, jadi mas buru-buru menikahi saya,” ujar perempuan bernama lengkap Kiki Maharani ini.

Pertimbangan berikutnya, Rani takut terjerumus pada hal-hal yang berdampak negatif jika terlalu lama berpacaran, seperti hamil di luar nikah misalnya. “Takut hamil di luar nikah jadi ya lebih baik cepat-cepat, dan mungkin sudah jodohnya,” kata Rani.

Meski usianya belia, pasangan yang menikah di tahun 2011 itu masih diperbolehkan mendaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Karena pada di tahun itu, memang batas usia minimal perempuan menikah di usia 16 tahun.

“Iya dulu masih boleh, sekarang sudah tidak boleh,” ucapnya.

Meski masih sama-sama muda, Rani mengaku perjalanan pernikahan mereka baik-baik saja. Sesekali mereka cekcok, namun keduanya tak sampai bertengkar hebat. “Mas sih yang dewasa, kita bertahan demi anak, nanti kalau ada apa-apa anak bagaimana,” tuturnya.

Soal pemenuhan kebutuhan ekonomi, Rani juga mengaku tak ada masalah meski hanya suaminya yang bekerja. “Ya cukup gak cukup dicukup-cukupkan,” sebut Rani.

Rani memang menikmati pernikahannya. Namun, sesekali terbersit pula penyesalan saat mengingat pendidikannya yang kandas. Maklum, ia memutuskan berhenti sekolah dan tak memiliki ijazah.

“Menyesal, harusnya sekolah dapat ijazah terus bisa dapat kerja,” ungkapnya.

Bukan hanya itu, terkadang ia iri di saat teman-teman seusianya bergaul dan menikmati masa muda, Rani justru mengurus rumah tangga. “Ya anak-anak jaman sekarang kalau masih mudah lebih baik sekolah dulu, tapi kalau ada jodohnya ya itu pilihan masing-masing,” kata Rani.

Cerita memulai biduk rumah tangga di usia anak seperti Rani dan Saini itu, masih cukup mengkhawatirkan di bagian daerah lain di Indonesia.

Satu dekade pernikahan anak hanya menurun sebesar 3,5 poin persen

Mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), UNICEF, dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) menyebutkan bahwa tren perkawinan anak perempuan di Indonesia, baik yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun maupun 15 tahun, menunjukkan penurunan pada periode tahun 2008 sampai 2018, namun penurunannya masih dikategorikan lambat.

Dalam laporan itu, di tahun 2008, prevalensi perkawinan anak sebesar 14,67 persen, namun pada satu dekade kemudian (tahun 2018) hanya menurun sebesar 3,5 poin persen menjadi 11,21 persen. Masih sekitar 1 dari 9 perempuan berusia 20 – 24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.

Di Indonesia, terdapat lebih dari satu juta perempuan usia 20 – 24 tahun yang perkawinan pertamanya terjadi pada usia kurang dari 18 tahun (1,2 juta jiwa).

Sedangkan perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum berusia 15 tahun tercatat sebanyak 61,3 ribu perempuan12.

Di sisi lain, prevalensi perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 15 tahun mengalami penurunan sekitar satu poin persen selama periode 2008 – 2018. Pada tahun 2008, sebanyak 1,60 persen perempuan usia 20 – 24 melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 15 tahun. Prevalensi ini menurun lebih dari setengahnya pada tahun 2018 menjadi sebesar 0,56 persen.

Sepanjang tahun 2018, prevalensi perempuan 20 – 24 tahun di perdesaan yang perkawinan pertamanya sebelum usia 18 tahun masih lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Persentase perkawinan anak di perdesaan adalah 16,87 persen sementara di perkotaan hanya 7,15 persen.

Nah, Tim Hyperlocal IDN Times mencoba menelusuri faktor penyebab pernikahan dini itu masih terjadi. Selain faktor ekonomi ada penyebab lain yakni tradisi, adat istiadat, hingga gaya pacaran yang kebablasan. 

Baca Juga: Tradisi Pernikahan Dini di Madura: Dipaksa Budaya, Ditolak Pemerintah

Pernikahan dini karena tradisi di Madura

Pernikahan Dini di Balik TradisiIDN Times/Reza Iqbal

Pernikahan dini yang dilazimkan oleh adat dan tradisi ini terjadi rata-rata di masyarakat akar rumput. Letak geografisnya juga dominan di pelosok desa. Di pulau Madura, Jawa Timur misalnya praktik pernikahan dini terjadi di pelosok desa di 4 Kabupaten yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.

Yudho Bawono Kepala Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Trunojoyo Madura pernah meneliti untuk disertasinya tentang pernikahan dini di daerah itu. Dalam penelitiannya, pernikahan dini di Madura di dorong oleh beberapa tradisi atau adat istiadat. Di antaranya, karena kepercayaan masyarakat pada Sangkal (istilah kepercayaan kalau perempuan tidak segera menikah saat sudah balig maka tidak laku lagi menikah, kalau sudah ada yang meminang maka wajib disegerakan).

Kepercayaan pada istilah Sangkal ini kemudian diperkuat pada tradisi Pajudan (perjodohan dipilihkan orangtua). Lalu, ada juga tradisi Ngalak Tumpangan (membuat acara pernikahan agar segera mendapat sumbangan/kado). Karena tradisi saling memberi sumbangan atau kado saat acara pernikahan di Madura sangat kental hingga sekarang.

Agar pernikahan dini yang terbalut tradisi itu juga bisa dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) maka strategi pasangan adalah dengan memarkup usia, biar terpenuhi secara aturan usianya dituakan. “Ada yang menempuh nikah siri dulu, lalu nantinya secara hukum dituakan usianya. Di pelosok masih, di perkotaan jarang ditemukan,” ujar Yudho Bawono kepada IDN Times.

Baca Juga: Cerita Pernikahan Dini di Bali, Terpaksa Dilakukan Secara Adat

Pernikahan dini secara adat di Bali

Pernikahan Dini di Balik TradisiIDN Times/Irma Yudistirani

Pernikahan dini yang didorang tradisi atau adat tidak hanya ditemui di Jawa Timur. Bila terpaksa menikah di bawah umur, warga di Bali dapat memilih melakukan perkawinan secara adat terlebih dahulu. Lalu mengesahkan pernikahannya secara kedinasan saat usianya sudah cukup berdasarkan Undang-undang.

Seperti yang dialami I Kadek WA (20), seorang warga di Kabupaten Klungkung. Ia kawin saat usianya masih menginjak 17 tahun. Istrinya, NI Putu SA, saat itu juga masih berusia 17 tahun.

Kadek WA mengungkapkan saat kawin di usia 17 tahun, ia tidak menikah secara dinas. Hal itu lantaran usianya masih di bawah umur dan hanya menikah secara adat.

“Kepala Desa, Kepala Dusun tentu tidak berani menandatangani pernikahan saya secara dinas, karena katanya melanggar Undang-undang. Saya diberikan solusi untuk menikah secara adat saja,” ungkapnya.

Jadi Kadek WA saat itu hanya menikah secara adat. Sesuai aturan adat di beberapa daerah di Kabupaten Klungkung, seseorang dikategorikan dewasa dan boleh kawin jika sudah menstruasi bagi perempuan dan sudah mengalami perubahan suara (ngembakin) untuk laki-laki.

“Kalau saya menikah secara adat saja dulu, jadi baru bisa urus Kartu Keluarga, Akta Nikah, KTP, saat usia sudah 19 tahun,” ungkapnya.

Untuk dapat menikah secara sah secara dinas, walau usia masih di bawah umur, mereka harus melampirkan surat keterangan dari pengadilan. Namun hal ini jarang dilakukan di Bali.

Pernikahan adat di Lampung

Pernikahan Dini di Balik TradisiMasjid Jami Al-Anwar Bandar Lampung, bukti sejarah penyebaran agama Islam di Provinsi Lampung. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Pernikahan dini masih banyak terjadi di Provinsi Lampung. Salah satu pendorongnya karena masih ada pernikahan adat. Proses pernikahan adat Lampung tak ada aturan usia pernikahan. Apalagi jika menggunakan adat Sebambangan atau kawin lari.

Menurut tokoh pemuda Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, Bima Novian Zurlan, pada dasarnya Sebambangan dilakukan karena suatu hal mendesak.

"Ketika seorang laki laki dan perempuan melakukan Sebambangan, maka wajib hukumnya secara adat untuk segera dinikahkan. Apabila tidak dinikahkan tentu ada hukuman adat yang harus mereka terima dan menjadi hinaan bagi keluarga besar kedua belah pihak," kata Bima kepada IDN Times.

Bima mengatakan, di daerahnya yaitu Kabupaten Lampung Barat ada beberapa pernikahan dini terjadi dan menggunakan adat Sebambangan.

"Biasanya wanitanya masih sekolah dan laki-lakinya sudah bekerja. Kaerna terhalang kondisi si wanita masih sekolah ini tadi, mereka melakukan sebambangan. Mereka wajib dinikahkan saat itu juga karena sudah melakukan sebambangan. Jadi tidak menunggu sampai wanitanya lulus," terangnya.

Namun menurutnya, sejauh ini pernikahan dengan adat Sebambangan dilakukan atas kemauan kedua mempelai. Sehingga tidak terjadi paksaan. "Karena pada dasarnya Sebambangan ini dilakukan atas dasar suka sama suka," ujarnya.

Baca Juga: Dikawinkan saat Telat Pulang Jadi Pemicu Pernikahan Dini di NTB 

Tradisi pernikahan dini di NTB

Pernikahan Dini di Balik TradisiKota Mataram, NTB, 12 November 2019 (IDN Times/Uni Lubis)

Nah, ada yang lebih ekstrem soal tradisi yang mendorong pernikahan dini ini. Seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB), kalau ada anak perempuan dan laki laki yang terlambat pulang hingga tengah malam maka bisa disanksi dengan dinikahkan.

Kasus semacam ini pernah terjadi di Lombok Tengah pada September 2020, sepasang sejoli yang masih duduk di Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau SMP inisial S (15) dan NH (12) dinikahkan karena telat pulang dari jalan-jalan. Orangtua NH tidak bisa menerima putrinya pulang terlambat usai seharian pergi bersama S.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, T. Wismaningsih Drajadiah mengkonfirmasi bahwa tradisi mengawinkan anak yang telat pulang memang masih ditemukan. Tetapi ia mengatakan itu bersifat kasuistis.

Ia mengatakan Pemerintah Desa sekarang sudah ada yang punya Peraturan Desa (Perdes) tentang Pencegahan Pernikahan Anak. "Perdes itu diharapkan mengantisipasi pembiaran atau kebiasaan yang kurang kondusif mengatasi perkawinan anak," ujar Wismaningsih.

Baca Juga: Budaya Perempuan Nikah Umur 19 Tahun Masih Ada di Jabar

Pernikahan usia 19 tahun di Jabar

Pernikahan Dini di Balik TradisiIlustrasi Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Praktik pernikahan dini di Jawa Barat masih terjadi di masyarakat akar rumput yang letaknya di pelosok desa. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat (Jabar) menyatakan bahwa budaya pernikahan anak di bawah umur masih ada di wilayahnya. Kasus ini banyak ditemukan di pelosok kabupaten dan kota di Jabar.

I Gusti Agung Kim Fajar Wiyati Oka, Kepala DP3AKB mengatakan bahwa banyak faktor yang menyebabkan orangtua menikahkan anaknya yang masih di bawah umur untuk membangun rumah tangga. Salah satunya ialah budaya anak perempuan harus menikah di umur 19 tahun.

"Masih ada budaya kalau anak perempuan umur 19 tahun tidak menikah itu dianggap tidak laku. Ini masih ada dan kepercayaan bahwa anak perempuan tugasnya nanti paling di kasur, sumur, dan dapur," ujar Kim.

Banyak juga anggapan orangtua di Jabar yang menilai bahwa perempuan tugasnya hanya akan melayani suami, dan waktunya akan habis di rumah untuk mengurusi anak-anaknya. Padahal, menurutnya, hal itu merupakan budaya lama yang harus diganti dengan kondisi saat ini.

"Ada juga faktor bahwa perempuan itu adalah tugasnya mengurus anak, budaya itu masih melekat, sehingga anak itu lulus SD dinikahkan langsung. Di beberapa kampung plosok masih ada pendapat seperti itu," ungkapnya.

Baca Juga: Pandemik, Pernikahan Dini di Bantul Terus Meningkat

Married by Accident di Bantul

Pernikahan Dini di Balik TradisiKantor Bupati Bantul. (IDN Times/Paulus Risang)

Selain sederet tradisi, adat yang memicu pernikahan dini, menikah karena hamil duluan ternyata masih dominan di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adanya pergaulan bebas kemudian memicu remaja yang hamil duluan padahal mereka masih usia sekolah.

"Pergaulan bebas ini berakibat terjadinya kehamilan yang akhirnya berujung pada pernikahan padahal masih berusia pelajar," kata Kepala Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Kabupaten Bantul, Aidi Johansyah.

Adanya pembelajaran jarak jauh akibat pandemik selama dua tahun terakhir ini seharusnya banyak remaja yang masih usia pelajar di rumah. Namun, nyatanya justru pacaran yang kebablasan hingga menyebabkan kehamilan di luar nikah.

"Harusnya kan kalau pembelajaran jarak jauh itu pelajar banyak di rumah ya. Namun nyatanya remaja yang mengajukan dispendasi menikah pada tahun 2021 dan 2022 lebih tinggi dari pada sebelum pandemik," ungkapnya.

Menggeser tradisi bukan dilawan

Pernikahan Dini di Balik Tradisimatrimoniallitaliana.com

Tradisi yang memicu pernikahan dini berlangsung turun temurun sebagai warisan kearifan lokal. Tidak mudah begitu saja menghilangkan tradisi semacam ini, melainkan digeser nilai-nilainya.

Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Kota Metro, Mufliha Wijayati mengatakan, memandang pernikahan dini sebagai kearifan lokal, harus dipastikan dulu nilai yang dianut seperti apa. Misal masyarakat tertentu menganut budaya tabu bahwa anak 18 tahun belum menikah, maka persoalan tersebut menurutnya bisa digeser.

"Melalui edukasi, sosialisasi dan pemahaman masyarakat, supaya kesadarannya bisa dinaikkan. Lama-lama konsep pemikiran masyarakat bergeser, kalau 18 tahun belum menikah itu ya gak papa," jelasnya.

Mufliha menyatakan, membicarakan pernikahan dini sangat relatif dan kondisional. Karena meningkatkan angka pernikahan dini itu bisa jadi setelah adanya Undang-Undang Perkawinan yang diamandemen pada 2019. UU tersebut mengatur batasan minimal usia pernikahan awalnya 16 tahun menjadi 19 tahun.

"Dulu orang menikah usia 18 tahun tidak termasuk kategori menikah usia dini. Tapi karena ada UU perkawinan terbaru, 18 tahun dianggap kawin anak. Dengan adanya UU itu, angka perkawinan anak menjadi naik tajam," ujarnya.

Menurut Mufliha, yang terpenting dalam pernikahan adalah keselamatan jiwa. Terlebih seorang perempuan yang harus mengandung dan melahirkan, sehingga perlu mendapat edukasi tentang kesehatan reproduksi.

"Kalau bahas reproduksi ini kan bukan semata-mata bisa melahirkan atau tidak tapi keselamatan jiwa anak dan ibunya. Ini soal generasi yang dilahirkan, menjadi generasi berkualitas atau tidak," kata Mufliha.

Ia meyakini, jika masyarakat diberi pemahaman sedemikan rupa tentang pentingnya menikah di usia matang, maka nilai-nilai dianut selama ini bisa bergeser secara perlahan. Selain itu, menyelesaikan persoalan pernikahan dini tak bisa hanya dari satu pintu.

"Jadi tidak kemudian melawan tradisi itu. Tapi bagaimana tradisi itu digeser sedikit demi sedikit. Jadi semua lini bergerak, dari sisi agamawan menjelaskan tafsir yang lebih luas, hukum masuk melalui UU perkawinan, kemudian budaya secara perlahan memberi edukasi soal kawin anak," paparnya.

Yudho Bawono dosen psikologi Universitas Trunojoyo Madura yang meneliti tentang pernikahan dini, juga menemukan bahwa para nara sumber yang telah ia wawancarai, sebagian besar mengaku mereka tidak ingin anak-anak mereka kelak menikah dini seperti ayah ibunya dulu.

“Mereka menyampaikan punya harapan besar kalau anaknya jangan sampai menikah muda, seperti yang mereka alami, mereka bilang kalau sudah cukup usianya maka menikahlah,” katanya.

Tim Penulis: Wayan Antara (Bali), Silviana (Lampung), Daruwaskita (Jogja), Azziz Zulkhairil (Jabar), Muhammad Nasir (NTB), Khusnul Hasana (Jatim)

Baca Juga: Pernikahan Dini di Lampung, Tetap Sah Secara Adat

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya