Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?

Sejak 1970 ternyata santri erat dengan kepentingan politis

Surabaya, IDN Times - Tak ada angin tak ada hujan, calon wakil presiden Sandiaga Uno tiba-tiba mendapat predikat santri. Padahal, jika dilihat dari riwayatnya, Sandiaga tak pernah sekalipun mencicipi pendidikan pesantren. Daripada seorang santri, Sandiaga justru lebih terkenal sebagai pengusaha sukses.

Polemik ini bermula sejak Sabtu (9/8) malam, ketika koalisi Prabowo Subianto, Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN), mengumumkan Sandiaga Salahuddin Uno sebagai pendamping calon wakil presidennya.   

Terpilihnya Sandiaga memang penuh dengan drama. Sebelumnya, Ijtima Ulama yang berlangsung pada Minggu (29/7) meminta Prabowo agar memilih representasi ulama atau kelompok Islam sebagai pendampingnya. Adapun dua nama yang direkomendasikan adalah Ustaz Abdul Somad dan Salim Segaf Al Jufri.  

Alih-alih memilih dua nama di atas, pentolan Gerindra itu justru memunculkan sosok “ulama” baru yang dipilihnya untuk melawan petahana Joko “Jokowi” Widodo, yaitu Sandiaga. Figur keulamaan Sandiaga semakin kuat setelah sambutan Presiden PKS, Sohibul Iman, menyebutnya sebagai santri era post-Islamisme.  

“Alhamdulillah kami menemukan saudara Sandiaga Salahuddin Uno sebagai pasangannya. Mungkin beliau dalam kacamata kita selama ini tidak terkategori sebagai santri, tetapi saya kira beliau adalah seorang yang memang hidup di alam modern, tapi beliau mengalami proses spiritualisasi dan Islamisasi. Sehingga saya bisa mengatakan Sandi adalah sosok santri di era post-Islamisme,” beber Sohibul yang kemudian disambut takbir oleh para hadirin.  

Tepat pada Hari Santri Nasional, IDN Times ingin kembali menyajikan apakah itu santri era post-Islamisme? Apa yang membedakannya dengan santri pada umumnya? Yuk simak ulasannya. 

1. Mardani sebut santri tidak identik dengan kaum bersarung yang hidup di pesantren

Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?IDN Times/Irfan Fathurochman

Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, menjelaskan bahwa santri adalah kalangan terpelajar yang memiliki tiga kekuatan khusus, yaitu kekuatan ilmu, usia muda, dan iman serta amal. Lebih jauh, alumni Universitas Teknologi Malaysia itu enggan memahami santri sebatas figur bersarung yang menimba ilmu di pesantren.  

Bagi Mardani, santri harus diukur dari akhlak dan kontribusinya terhadap bangsa, itulah yang dimaksud sebagai santri post-Islamisme. “Memang betul kami yang pertama kali menggunakan istilah santri post-Islamisme. Jadi santri itu parameternya di akhlak. Santri post-Islamisme dimaknai sebagai anak muda yang berpikiran maju dan akrab dengan modernisme,” ujarnya kepada IDN Times, Minggu (21/10).  

Dengan kata lain, bila Sandiaga disebut sebagai santri era post-Islamisme, maka ia dianggap sebagai sosok yang berjiwa muda, berakhlak baik, berpikiran modern, dan tentunya memiliki wawasan Islami. 

Sebelumnya, Sohibul Iman juga sempat menulis di akun twitternya mengenai santri post-Islamisme. “Santri konvensional ditandai oleh simbol-simbol, slogan dan ritual. Peci dan sarung jadi simbol utama. Santri postmo fokus pada substansi nilai walaupun simbol dan ritual tidak dilupakan. @sandiuno sangat stylish dan kekinian tapi dia pekerja keras, profesional dan rajin shalat serta shaum sunnah,” tulisnya pada 10 Agustus 2018.  
 

2. Sandiaga ditampilkan sebagai figur Islami, setara dengan ulama

Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?IDN Times/Irfan Fathurochman

Tidak hanya disebut sebagai santri, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid, bahkan menyebut Sandiaga sebagai ulama. Pria yang menjabat sebagai Wakil Ketua MPR ini turut mengutip penggalan ayat dalam surat As-Syura dan Fatir untuk memperkuat argumennya.  

“Ulama itu tidak terkait dengan ilmu agama Islam. Dalam surat As-Syura disebut tentang ilmu sejarah dan di Surah Fatir itu science. Pak Sandi itu ulama menurut saya pakai kacamata tadi. Perilakunya juga sangat ulama, beliau puasa Senin-Kamis, Shalat Dhuha, Shalat malam, silaturahmi,berakhlak baik, itu pendekatan yang sangat ulama. Bahwa dia tidak bertitel ‘KH’ karen memang beliau tidak belajar di komunitas tradisonal keulamaan,” terang Hidayat beberapa saat lalu.  

3. Terkesan memaksakan, julukan kepada Sandiaga justru menciderai nilai kesantrian

Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?IDN Times/Indiana Malia

Klaim Mardani dan Hidayat dimentahkan oleh Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Kadir Karding. Ia menyayangkan sebutan santri yang disematkan kepada Sandiaga. Menurutnya, hal itu justru menciderai nilai-nilai kesantrain.  

“Santri dalam pengertian sosiologis kan orang yang menimba ilmu di pesantren atau yang belajar pada kiai tertentu terkait ilmu agama. Itu yang saya pahami. Nah, hingga hari ini, saya belum pernah baca literatur yang ada istilah santri post-Islamisme. Kalau mau jadi santri, apa susahnya tinggal ngomong saya ini sedang belajar agama, sedang nyantri, menunjukkan sifat tawadhu,” terangnya pada Minggu (21/10). 

Karding melihat kesantrian Sandiaga tidak lepas dari momentum politik yang ingin dihadapinya. “Memang santri itu utamanya di akhlak yang baik, tapi tidak menarik memberi label kepada orang dengan cenderung dipaksakan karena hajat tertentu, seperti Pilpres. Kalau mau ditafsirkan seenak udel dewe, ya silakan saja, tapi gak tepat dicap santri, agak maksa menurut saya ya,” tutup dia. 

4. Ma'ruf Amin sebut ulama adalah ahli ibadah

Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Calon Wakil Presiden nomor urut 1, Ma’ruf Amin pun urun suara. Ia menyebut bahwa ulama besar dan sungguhan adalah ulama yang memilih dirinya. Pasalnya, Ma’ruf memang dikenal sebagai ulama dan santri.  

"Kemarin malam (16 September 2018) para ulama pesantren kumpul, 400 orang dan ulamanya ulama benar-benar. Ulama kiai. Dan itu mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Ya kami yakin ulama yang betul-betul ulama. Ulama yang alim, hafal Quran, kemudian ahli ibadah itu justru mendukung kami. Satu saja udah ngalahin semua itu. Orangnya alim, hafal quran, ulama betulan itu. Jadi saya optimis," jawab Ma’ruf menanggapi klaim dukungan ulama dari pasangan Prabowo-Sandi.

Baca Juga: Presiden PKS: Sandiaga Santri Millennials

5. Sebenarnya apa sih santri itu?

Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Di tengah silang pendapat tentang definisi santri,  Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, memberikan penjelasannya. Menurut Dadi, santri adalah istilah asli Nusantara yang berakar dari tradisi berusia ribuan tahun.  

Dalam konotasi positifnya, santri memang dipahami sebagai seseorang yang menimba ilmu keislaman di tempat khusus dan belajar dari seseorang yang disebut kiai. “Pesantren itu pesantrian, atau tempat santri bermukim. Sejarahnya panjang ya, tapi yang penting istilah itu sudah hidup lama di masyarakat dan tidak terjadi penolakan,” jelas Dadi kepada IDN Times.  

Ahli sosiologi agama ini mengatakan santri berakar dari istilah Hindu yang kerap melakukan ritual ashram. “Santri itu identik tinggal di asrama, itu tradisi hindu banget berakar dari kata ashram, yaitu tempat orang belajar menimba ilmu keilahian. Nah santri itu tinggal di asrama belajar ilmu keislaman untuk menjaga diri.” 

Istilah santri sendiri sudah digunakan dalam berbagai literatur sejak abad 19. Sebelum kata santri mulai tenar, istilah kaum putihan sempat disematkan kepada mereka yang dianggap lebih mendalami ilmu agama. Hal ini turut menekankan bahwa santri juga ditinjau dari akhlak dan ketaatan dalam menjalankan praktik keagamaan. 

Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?IDN Times/Arief Rahmat

6. Ada istilah santri tradisional dan modern, apa perbedaannya?

Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?ANTARA FOTO

Dadi melanjutkan, hari ini, istilah santri terbagi menjadi dua macam, yaitu santri tradisional dan modern. Santri tradisional identik dengan mereka yang belajar langsung dengan kiai, kesehariannya menggunakan sarung, bercengkrama menggunakan bahasa lokal, dan belajar dari kitab-kitab klasik. Golongan ini biasanya belajar di Pesanten Salafi.  

Sementara, santri modern adalah mereka yang belajar dengan kurikulum kontemporer, memiliki sekolah formal seperti SMP dan SMA, dan bercakap menggunakan bahasa Arab atau Inggris. Santri seperti ini biasanya ditemukan di pesantren modern.  

Menurut Dadi, hadirnya tipologi santri tidak lepas dari gagasan reformis Islam yang masuk pada akhir abad 19. Pengaruhnya tidak bisa dilepaskan dari runtuhnya Khilafah Utsmani, kemunculan semangat pan-Islamisme, hingga bangkitnya pemikiran Muhammad Abduh serta Rashid Rida. Mereka inilah yang kemudian hadir menawarkan persatuan antara umat Islam di seluruh dunia.  

“Dulu semua santri sama ya, kemudian para reformis itu punya gagasan untuk menyatukan Islam. Nah untuk bersatu itu diperlukan salah satunya bahasa, karena dulu kan pesantren tradisional hidup dengan bahasa lokal. Kesadaran itulah yang mendasari pesantren modern untuk menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Komitmen inilah yang hadir dalam pesantren seperti Gontor,” beber alumni Tebuireng Jombang ini.   

Menurut Dadi, metode pembelajaran menjadi hal yang membedakan antara pesantren modern dengan pesantren tradisional. “Dari cita-cita tadi kemudian kurikulumnya diubah. Kalau tradisional kan 70 persen belajar agama sisanya umum, kalau modern dibalik 70 persen umum 30 persennya agama, karena belajar agamanya bisa di luar kelas. Jadi gak semata-mata tradisional itu diartikan dekat dengan kiai, yang modern tidak, ada banyak faktornya,” beber dia. 

Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?IDN Times/Arief Rahmat

Baca Juga: Ketum PKS: Sandiaga Santri di Era Post Islamisme

7. "Kalau gak cocok paling diketawain"

Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?Dok IDN Times/Istimewa

Setelah memahami perbedaan modern dan tradisional, pertanyaan yang menarik adalah di mana posisi santri post-Islamisme? Dalam kasus ini, Dadi enggan memberikan posisi khusus kepada Sandiaga sebagai orang pertama di dunia yang mendapat gelar santri post-Islamisme. “Saya gak mau ikutan polemik itu ya ha-ha. Tapi kemudian penting untuk post-Islamisme itu merujuk kepada apa?” tanya Dadi.

Bagi Dadi, julukan dari PKS terhadap Sandiaga tidak lepas dari relasi antara santri dengan fenomena politik. Menurutnya, hal itu sudah hadir sejak tahun 1970 di Indonesia. Kala itu, santri disebut sebagai kaum sarungan yang identikkan sebagai golongan terbelakang.  

Ia menjelaskan, “Secara politis memang dulu konotasi santri macam-macam ya. Seperti tahun 70an itu santri identik dengan kaum terbelakang. Nah kalau post-Islamisme, setahu saya, itu dikaitkan dengan konsep untuk mensosialisasikan nilai-nilai keislaman atau penerapan hukum syariah. Tentu karena cita-cita untuk mendirikan negara Islam sulit terealisasi.”  

Dalam situasi tersebut, post-Islamisme dipahami sebagai pendekatan pragmatis dalam mewujudkan paham Islam yang ideal. “Secara semangat tetap Islam tapi tidak lagi ingin Islam sebagai landasan negara. Mereka ingin Islam sebagai landasan masyarakat,” imbuhnya singkat.  

“Kalau memang ada seseorang (Sandiaga) didefinisikan sebagai santri post-Islamisme, itu tergantung penerimaan masyarakat saja. Kalau memang cocok yang gak apa-apa, kalau gak cocok paling diketawain. Karena memang santri itu sebutan yang diberikan orang luar kepada mereka yang belajar di dalam pesantren. Jadi santri itu berat lho, gak gampang ha-ha,” tutup Dadi. 
 

Nah, setelah membaca pemaparan di atas, menurut kamu layak gak Sandiaga disebut santri? 

Baca Juga: Peringati Hari Santri Nasional, Ini Nasihat Ma'ruf Amin untuk Santri

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya