Mempekerjakan Anak Berisiko Bikin Mereka Putus Sekolah

Ada beban ganda yang dipikul

Surabaya, IDN Times - Badan Pusat Statistika (BPS) menyebut jumlah pekerja anak pada tahun 2022 adalah 1,1 juta orang. Menanggapi hal ini, Dosen Sosiolog Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Bagong Suyanto mengatakan, memperkerjakan anak akan berdampak pada risiko putus sekolah. 

Prof Bagong menyebut, adanya anak yang bekerja sambil sekolah terjadi karena tuntut ekonomi. Ketika mereka sekolah sambil bekerja, akan ada beban ganda yang dipikul. Hal ini kemudian menyebabkan anak putus sekolah.  

"Sekolah dan bekerja itu selalu membuat pekerja anak risiko putus sekolah, karena dia gak kuat menanggung beban ganda itu secara bersamaan," ujar guru besar yang konsen terhadap masalah hak anak ini. 

Selain tuntutan ekonomi, tak jarang anak bekerja karena memang keinginannya sendiri untuk memiliki uang lebih, misal ingin memiliki handphone. 

"Iya betul yang terjadi seperti itu (ingin kerja karena keinginan sendiri). Tapi kalau tidak didukung pendidikan yang cukup maka sampai kapan pun pekerjaannya juga pekerjaan kasar, yang upahnya rendah, yang risikonya tinggi," tutur dia. 

Dalam hal ini anak akan lebih memilih bekerja di sektor publik ketimbang bekerja membantu usaha keluarga. Hal ini tak lepas dari upah yang didapat lebih besar di sektor publik. 

"Tapi risikonya mereka tidak bisa mengatur jam kerja sesuai kebutuhan mereka. Sehingga mereka tidak bisa sekolah. Makanya putus sekolah," tuturnya. 

Berdasarkan undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 68 tentang ketenagakerjaan , anak memang tidak boleh untuk dipekerjakan. Namun, dalam bab X Pasal 69 disebut, ada pengecualian bagi anak berumur 13 tahun sampai 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.

Syarat mempekerjakan anak dalam UU tersebut yakni, anak harus mendapatkan izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 tiga jam dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah keselamatan dan kesehatan kerja. Kemudian adanya hubungan kerja yang jelas dan anak harus menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Namun demikian, ketentuan seperti ini sering kali dilanggar oleh industri. Jam kerja anak sama seperti orang dewasa dan gaji mereka bahkan lebih rendah. 

"Tapi gak jalan yang seperti itu (aturan). Malah mereka yang mempekerjakan anak upayanya lebih murah.(mempekerjakan anak) itu pilihan terakhir, iya jika karena tekanan ekonomi," jelas dia. 

Menurut Prof Bagong, selain risiko putus sekolah, memperkerjakan anak memiliki risiko kecelakaan lebih tinggi. Sebab, sarana produksi yang diciptakan tak didesain untuk usia mereka. 

"Seluruh sarana produksi itu kan hanya diciptakan untuk orang dewasa, berbagai alat tidak cocok dengan profil anak sehingga kecelakaan kerja itu lebih besar, karena lingkungan kerja yang tidak dikonstruksi untuk mereka," terang ya. 

Untuk itu, Prof Bagong mendorong pemerintah dapat menyelesaikan masalah ini melalui pendekatan keluarga. Keluarga harus diberi kesadaran agar tak membiarkan anak untuk bekerja.  "Harus dibawa kepada persoalan keluarga. Supaya keluarga sadar tidak boleh memperkerjakan anak di bawah umur," pungkas dia.

Baca Juga: Pekerja Anak Terima Nasib ‘Masa Kecil Kurang Bahagia’  

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya