Mendongeng: Melawan Zaman, Menyebar Literasi

Seni bertutur ini makin ditinggal, kalah pamor dengan gawai

Tanggal 20 Maret selalu diperingati sebagai hari dongeng sedunia. Perayaan ini bermula pada tahun 1991 di Swedia saat para pendongeng berkumpul dalam festival Alla Berattares. Lebih dari sekadar perayaan, keberadaan hari dongeng sedunia kini dimaknai sebagai cara untuk mengingat dan melestarikan seni bertutur ini. 

Seperti di belahan dunia lain, di Indonesia, mendongeng juga tak sekadar aktivitas bercerita. Ada banyak hal yang disisipkan dari kegiatan ini, mulai dari menuturkan nasihat, misi literasi, hingga ritual.

Soal dongeng yang menjadi bagian tradisi bisa ditemui di Banten, tepatnya di Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Masyarakat Baduy punya sebuah tradisi mendongeng yang mengakar. Bahkan, para pencerita ini punya gelar khusus, yaitu Ki Pantun.

Niduparas Erlang, peneliti sastra lisan dari Serang menjelaskan bahwa Ki Pantun kerap diminta bercerita dalam berbagai ritual adat seperti pernikahan atau penanaman padi.

"Kalau di luar Baduy mungkin mereka bisa dikatakan seniman. Di Subang misalnya ada Mang Ayi, dia bisa dikatakan seniman, karena punya padepokan. Tapi kalau di Baduy itu fungsinya ada di dalam ritual, Carita Pantunnya jadi bagian ritual, dan ritualnya banyak, ritual bertani, ritual mendirikan rumah baru dan sebagainya," ujar dosen Fakultas Sastra Universitas Pamulang ini, Kamis, (16/3/2023) malam.

Mendongeng: Melawan Zaman, Menyebar LiterasiSuku Baduy (IDN Times/Muhammad Iqbal)

Menurut Nidu, Carita Pantun sebetulnya nyanyian panjang sang Ki Pantun. Secara struktur, karya Carita Pantun menyerupai prosa. Ki Pantun biasanya membawakan cerita menggunakan alat musik kecapi secara sendirian dan monoton selama empat hingga enam jam.

Selain itu, Ki Pantun harus menghadap arah mata angin tertentu ketika bercerita. "Dan itu bukan aturan adat, tapi semacam pengetahuan tradisional, karena itu bukan milik juru pantun saja. Misalnya untuk pergi ke kebun hari apa, mereka harus pergi ke arah mana," ungkapnya.

"Itu gak bisa dikategorikan sebagaimana pengertian pertunjukan pada umumnya, yang bisa ditonton, karena monoton. Dan kalau di Baduy bukan hiburan," kata dia. Kosa kata yang dilafalkan Ki Pantun biasanya merupakan bahasa Sunda yang sangat kuno.

Sayangnya, jumlah Ki Pantun saat ini terus berkurang, Berdasarkan penelitian Nidu, saat ini hanya terdapat 23 orang yang mendapat julukan Ki Pantun oleh warga adat Suku Baduy.

Mendongeng: Melawan Zaman, Menyebar LiterasiKeseruan anak belajar mendongeng (Dok.istimewa)

Sementara, di luar masyarakat adat, dongeng sudah menjadi medium pembelajaran hingga perlawanan. Di Bandung misalnya, ada komunitas Bengkimut. Kelompok pendongeng yang dibentuk pada 2014 ini berdiri untuk menjaga semangat literasi di tengah serbuan gawai. "Dongeng ini tidak bisa dipisahkan dari gerakan literasi," kata Founder Bengkimut, Claudine Patricia. 

Misi serupa juga diusung oleh Rumah Dongeng Mentari (RDM) di Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Mereka getol melestarikan budaya tutur di tengah kemajuan teknologi dan bergantinya generasi.

Founder RDM, Rona Mentari mengatakan, sejak berdiri tahun 2010, RDM menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah tidak adanya sumber pendanaan yang tetap. Soal perkembangan teknologi digital, Rona mengakuinya sebagai salah satu yang menggerus antusiasme anak-anak untuk mendengarkan dongeng. Alih-alih bersaing dengan perkembagan teknologi, Rona memilih jalan lain. 

"Kita gak bisa bersaing aktivitas mendongeng dengan aktivitas digital, lagu anak dengan animasi, tapi kami menggandeng mereka. Punya channel YouTube juga Dongeng TV kerja sama banyak pihak," ucap Rona.

Baca Juga: Manfaat Dongeng untuk Anak dengan Keterlambatan Bicara

Rona pun menaruh harapan agar lebih banyak pihak, baik perorangan maupun komunitas menjadikan dongeng atau storytelling sebagai bagian hidup masa kini, karena kemanfaatannya. "Satu mengajari tanpa menggurui, mengajarkan nilai budaya musyawarah duduk bersama, menambah kosa kata pada anak-anak yang belajar berkata-kata, menghibur, refleksi kepada orang dewasa juga, dan banyak lagi," ujar dia.

Berbeda dengan di Yogyakarta, di Nusa Tenggara Barat (NTB) dongeng tak cuma sebagai penyebar literasi. Seorang bernama Herman Husdiawan atau biasa dipanggil Kak Wawan menjadikan dongeng sebagai media untuk melawan kekerasan terhadap anak. 

Ia merasa resah lantaran angka kekerasan terhadap anak di NTB tak main-main. Tahun lalu, Pemerintah Provinsi NTB mencatat ada sebanyak 672 kasus kekerasan pada anak.

"Sekarang di lembaga kami, salah satu yang kita gaungkan adalah bagaimana menyetop kekerasan fisik dan seksual terhadap anak. Ini yang kita setop. Dengan storytelling yang santai, melibatkan anak-anak, membuat mereka senang, terhibur dan membuat anak-anak mengerti apa yang harus dilakukan kalau ada kekerasan fisik maupun kekerasan seksual terhadap mereka," kata Kak Wawan saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (18/3/2023).

Melalui dongeng, Kak Wawan banyak menceritakan tentang kisah-kisah para nabi dan sahabat Rasul. Ia mengatakan bercerita adalah kebiasaan para nabi dan rasul. Nabi bertutur tentang Allah SWT, alam semesta, kejadian orang-orang terdahulu yang menjadi pelajaran bagi generasi sekarang.

"Dalam Al-Qur'an, bercerita adalah perintah. Ceritakan nabi-nabi dan kita juga diminta membaca cerita serta mendengarkan. Cerita itu membangun imajinasi, kedekatan jiwa, membuat anak dan orangtua dekat, serta meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual anak-anak. Kita juga bisa menghibur anak-anak," terangnya.

 

 

 

MUHAMMAD IQBALAZZIS ZULKHAIRILHERLAMBANG JATI KUSUMOMUHAMMAD NASIR

Baca Juga: Kisah Pendongeng di Lampung, Kenalkan Dongeng dengan Cara Kreatif

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya