Susah Payah Regenerasi Perajin Batik Tulis

Minimnya regenerasi bikin beberapa motif batik tulis punah

Surabaya, IDN Times - Sejak ditetapkan sebagai warisan dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2009, batik menjadi salah satu identitas Indonesia di mata dunia. Pemerintah bahkan melalui KEPPRES No. 33 Tahun 2009 kemudian menetapkan hari khusus setiap 2 Oktober. Tak cuma di situ, mereka kemudian mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) menggunakan batik sebagai salah satu seragam wajib. Langkah-langkah itu memang berhasil menjaga permintaan batik terus naik.

Euphoria terhadap penggunaan batik pun masih akan terus berjalan. Tapi pemerintah mungkin lupa bahwa ada pekerjaan rumah besar yang harus mereka lakukan, yaitu regenerasi perajin batik. Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) menyebut regenerasi perajin batik ada di di titik nadir. Dari 140 ribu pembatik terampil di Indonesia, hanya 10 persen yang berusia di bawah 30 tahun. 

Susah Payah Regenerasi Perajin Batik TulisBayu Permadi, pembatik dan pemilik Sembung Batik (IDN Times/Dyar Ayu)

Satu dari sedikit kelompok ini adalah Bayu Permadi (25). Anak muda asal Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memilih terjun ke industri hulu batik sebagai perajin. Bayu membuat sebuah rumah produksi batik bernama Sembung Batik. 

“Jadi tahun 2008, waktu saya masih SMP, diajari sama bapak mengenal batik. Kemudian saya tertarik dan belajar,” ujar Bayu saat ditemui di Sanggar Sembung Batik pada Kamis (29/9/2022) lalu. 

Waktu itu, kata dia, usaha batik milik orang tuanya baru memiliki dua karyawan saja. Salah satu titik balik yang membuat Sembung Batik makin ramai pembeli adalah adanya pengakuan batik motif Geblek Renteng menjadi ciri khas Kulon Progo. Puncaknya saat para Aparatur Sipil Negara (ASN) diwajibkan berbatik pada tahun 2012. Sembung Batik yang memiliki spesialisasi motif kontemporer ini pun kebanjiran pembeli. 

Tak hanya batik kontemporer, Sembung Batik juga tetap memproduksi batik motif langka atau yang mereka sebut sebagai motif lawasan. “Kita masih bikin motif batik Sido Asih, Semen Rama, Sekar Jagad, karena itu ‘kan juga khasnya Jogja,” ungkap Bayu.

Sebagai milenial dan pembatik, Bayu berharap untuk ke depannya batik tak lagi dianggap sebagai pakaian formal. “Biar anak-anak muda kenal dengan batik. Dan saya inginnya batik bisa masuk di kalangan mana saja, dan gak hanya motif klasik saja yang dibilang batik tapi juga motif yang asal coret juga batik,” pungkasnya.

Susah Payah Regenerasi Perajin Batik TulisBatik Daliwangun, batik yang menceritakan masyarakat setempat lolos dari kejaran tentara Belanda. Dok Istimewa

Baca Juga: Melestarikan Kain Sasirangan sebagai Warisan Masyarakat Suku Banjar

Inisiatif untuk mempertahankan dan mengembangkan batik tulis juga muncul dari seorang pemuda di pelosok Lamongan, Jawa Timur. Umbar Basuki (29) namanya. Ia merintis sebuah motif batik yang dinamakan Daliwangun pada tahun 2020. 

Basuki menceritakan, awal mulanya batik Daliwangun ini ada karena ingin mengangkat kearifan lokal serta cerita masyarakat setempat. Sementara nama Daliwangun sendiri diambil dari kisah pelarian warga setempat dari kejaran Belanda. Warga bersembunyi di sebuah pohon Wangun yang banyak dihinggapi burung Dadali. Latar belakang sejarah itu pun mampu membuat para pembeli berdatangan. Belakangan, batik tulis miliknya menjadi buruan pejabat di sana. 

Minimnya jumlah pemuda yang mau duduk membatik dengan canting layaknya Bayu dan Basuki perlu dimaklumi. Kebanyakan dari mereka masih menganggap bahwa perajin batik bukan profesi yang bisa menghasilkan cuan. Hal itu setidaknya tergambar dari salah satu penelitan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Penelitian yang dilakukan oleh Weni Novandari dan Sri Murni Setyawati pada 2015 ini menyimpulkan bahwa generasi muda yang berusia 16-30 tahun sama sekali tak mau terjun ke industri hulu batik tulis. Alasan utamanya adalah penghasilan yang kecil dan perlu jiwa seni tinggi. "Salah satu saran dalam penelitian ini adalah memperkenalkan batik tulis pada sekolah dan lembaga kepemudaan," tulis penelitian tersebut.

Baca Juga: Batik SiPutri Semarang Setia Pada Alam Demi Fesyen Keberlanjutan 

Imbas dari ketiadaan regenerasi ini tentu adalah hilangnya beberapa motif dari pasaran. Hal ini dirasakan betul oleh seorang warga Banyuwangi bernama Haidi Bing Slamet (41). Haidi menyebut salah satu motif batik tulis yang sudah punah adalah Gringsing.

Haidi berani mengatakan hal tersebut karena ia mengoleksi satu kain batik tulis berusia ratusan tahun.  "Ini sudah lima generasi. Warisan dari dulu. Saya dipasrahi sejak menjadi kepala rumah tangga," ujar Haidi, kepada IDN Times Sabtu (1/10/2022). 

Haidi yang juga merupakan tokoh adat Osing di desa tersebut menjelaskan bahwa motif Gringsing diyakini sudah ada sejak Majapahit. Kini, lanjut Haidi, batik Gringsing tulis ini super langka. Andaipun ada, kebanyakan batik motif Gringsing diproduksi menggunakan teknologi cap.

Perbedaannya pun cukup mencolok. Gringsing tulis biasanya memiliki guratan dan garis-garis lebih tipis memanjang yang membuat perajin kesusahan untuk meniru. Sementara Gringsing cap umumnya bergaris motif lebih tebal. Saking rumitnya, proses pembuatan batik tulis ini bisa memakan waktu hingga empat bulan. Faktor-faktor inilah yang membuat tak ada lagi pembatik Gringsing tulis dengan motif seperti yang ia miliki.

Sadar kain batik miliknya sangat langka, Haidi pun menjaganya dengan ekstra hati-hati. Bahkan, kain warisan itu nyaris tak pernah ia keluarkan dari dalam toples kaca tempat penyimpanannya. Beberapa tawaran dari kolektor batik pun ia mentahkan. "Pernah ada yang nawar Rp50 juta tapi gak saya lepas," ujarnya.

Haidi pun mengatakan bahawa menjaga kain batik seperti yang ia lakukan bukan cuma perkara menjaga aset. Lebih dari itu, ia yakin upayanya juga bagian dari merawat sejarah, sembari berharap ada regenerasi perajin batik tulis.

Baca Juga: Motif Batik Sembagi Khas Lampung Jarang Diketahui Warga Lampung

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya