Mengintip Kisah Nonik Perjuangkan Hak Anak Pekerja Migran Ponorogo

Banyak anak hanya miliki ortu tunggal tak bisa dapat akta

Ponorogo, IDN Times - Nonik Iswarani (41) memainkan jari-jarinya sebelum memulai cerita. Bola matanya berlari-lari kecil seakan mengaduk-aduk isi ingatannya. Satu perjuangan manis pun mulai dibagikan oleh mantan pekerja migran tersebut. Tiga tahun lalu, tepatnya tahun 2017, Nonik-panggilan akrabnya-- menemukan sejumlah fakta pelik.

Waktu itu Nonik sudah menjadi guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Pondok, Ponorogo. Memasuki tahun ajaran baru, dia merangkap sebagai operator sekolah. Dia ditugaskan untuk memasukkan data siswa-siswanya ke Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Dapodik ialah sebuah aplikasi komputer yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar sekolah-sekolah dapat melaporkan dapodiknya langsung ke kementerian secara daring tanpa terkendala masalah jarak maupun waktu.

Dapodik menjadi acuan data yang digunakan Kemendikbud dalam setiap kebijakan-kebijakannya. Terkait bantuan operasional siswa (BOS), sarana prasarana sekolah hingga tunjangan bagi guru-gurunya. Namun di tengah jalan, entri yang dilakukan Nonik macet. Penyebabnya ialah beberapa siswa tidak mempunyai akta kelahiran. Itu menjadi masalah.

Selain untuk dapodik sekolah, menurut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil), dokumen yang satu ini sebagai rujukan penetapan identitas dalam dokumen lain seperti ijazah, melamar pekerjaan, syarat pembuatan kartu identitas anak, pengurusan tunjangan keluarga, pencatatan perkawinan, pengangkatan anak, pengesahan anak hingga pengurusan beasiswa.

Fenomena anak tidak mempunyai akta kelahiran masih acap kali dijumpai di Indonesia. Tentunya hal itu tidak sejalan dengan konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) 1989 mengenai hak-hak anak. Dalam pasal 7 menyatakan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahiran dan harus mempunyai nama serta kewarganegraan. Konvensi ini diratifikasi Indonesia pada tahun 1990.

Kemudian juga telah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada pasal 5 menyebutkan; Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kwarganegaraan. Juga ditegaskan pada pasal 27 ayat (1) dan (2) yang menyatakan, ayat (1); Identitas setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya. Ayat (2); Identitas sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.

Tak hanya itu, dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) tertuang bahwa; Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Ayat (4); Setiap orang berhak atas status kwarganegaraan. Pasal-pasal tersebut menegaskan, memiliki akta kelahiran adalah hak setiap anak Indonesia. Kewajiban pencatatan kelahiran dibebankan kepada negara dan bukan kepada warga negara.

Awal mula perjuangan

Mengintip Kisah Nonik Perjuangkan Hak Anak Pekerja Migran PonorogoGuru honorer sekaligus mantan pekerja migran Indonesia, Nonik Iswarani (41). IDN Times/Ardiansyah Fajar

Lantaran penting bagi keberlangsungan pendidikan dan masa depan siswanya kelak, Nonik pun mencari tahu penyebab siswa-siswanya sampai belum mendapatkan hak-haknya itu. “Akhirnya mendata (siswa yang belum punya akta), kemudian dibawa ke Dispendukcapil (Kabupaten Ponorogo). Akhirnya tahu permasalahannya,” ujarnya saat ditemui IDN Times, Selasa (6/10/2020).

Semua yang belum mengantongi dokumen resmi dari negara ialah anak-anak pekerja migran. Banyak faktor yang mengakibatkan anak-anak itu belum mempunyai akta kelahiran. Nonik menjelaskan, anak-anak itu hanya mempunyai orangtua tunggal dalam hal ini ibu saja. Sementara ayahnya tidak diketahui jelas identitasnya. Sebab, beberapa pekerja migran sewaktu kembali kampung sudah membawa anak. Ada yang mengaku nikah siri di sana tapi tidak didampingi suaminya ketika pulang.

Dari sinilah, pihak keluarga enggan mengurus dokumen karena ketidaktahuan tentang tata cara dan pentingnya akta kelahiran. Nonik pun mencari jalan keluar untuk mulai menangani permasalahan ini dengan berkonsultasi ke Dispendukcapil Ponorogo. “Meminta agar ada kebijakan bagi anak-anak yang tidak mempunyai dokumen (akta kelahiran) tidak dipersulit. Karena ini permasalahan sulit. Akhirnya berbagai pendekatan bersedia mencarikan,” kata dia.

Dalam menangani kasus ini, Nonik tidak sendirian. Dia dibantu komunitas yang telah dibentuknya bersama relawan lain di Desa Pondok pada tahun yang sama, 2017 lalu. Komunitas Pekerja Migran Indonesia yang disingkat Kopi. Saat itu Nonik langsung menjabat sebagai Ketua Kopi Desa Pondok, dari situlah dia mulai mengadvokasi isu-isu mengenai pekerja migran Indonesia di sekitarnya. Komunitas ini juga didampingi lembaga kajian pengembangan pendidikan, sosial, agama dan kebudayaan, Infest.

Tak melulu soal perlindungan terhadap pekerjanya, memperjuangkan hak-hak anak pekerja migran supaya memperoleh akta kelahiran menjadi salah satu agenda utama Nonik dan Kopi. Dia harus bolak-balik menemui pejabat teras di Dispendukcapil Ponorogo. Lalu, meyakinkan sejumlah keluarga supaya proaktif ikut mengurusi. “(Kami) menghubungi keluarga dan (pemerintah) desa, bagaimana keluarga bersedia mencarikan akta,” ucapnya.

Langit memang tak selalu cerah, begitu juga perjalanan Nonik dalam membantu mengurusi akta kelahiran tersebut. Tak jarang dia besama anggota Kopi mengalami penolakan dari pihak keluarga anak pekerja migran. Mereka dianggap terlalu mengusik urusan pribadi, padahal niatnya mengingatkan kalau anak-anak butuh dokumen itu karena merupakan haknya. “Ada pernah nolak marah-marah,” katanya.

Nonik tak patah arang, dia berkali-kali harus berkunjung ke rumah anak pekerja migran untuk meyakinkan keluarganya agar mau mengurus akta kelahiran. Dia bertemu dengan nenek dari siswanya, dengan sabar memberi pengertian pentingnya akta kelahiran sehingga harus diurus sesegera mungkin. Beberapa dampak jika tidak mengantongi dokumen itu juga dijelaskannya.

“Saya matur ke pihak keluarga kalau di Dapodik harus memasukkan nomor akta kelahiran, kalau tidak dimasukkan jadi invalid, datanya merah. Satu sekolah tidak bisa sinkron,” kata dia. "Dana BOS tidak bisa cair. Satu-satunya jalan kalau pihak keluarga tidak mau menguruskan akta, ya mau tidak mau harus mutasi daripada satu sekolah tidak bisa sinkron,” Nonik melanjutkan.

“Saya juga matur ke pihak keluarga bahwasannya anak itu kalau tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara otomatis tidak diakui sebagai warga negara, secara otomatis hak dia sebagai warga negara tercabut. Kalau ada bantuan apapun termasuk beasiswa, dia tidak bisa mengikuti karena tidak ada NIK. Kelanjutan sekolah juga bagaimana,” dia menambahkan.

Penjelaaan itu disambut positif oleh nenek salah satu siswanya yang belum punya akta kelahiran. Kendala lain telah menunggu, karena usianya rentan sang nenek tidak bisa harus mengurusinya secara total sehingga harus diwakilkan kepada pamannya.

“Saya juga menghubungi ibunya yang ada di Makaw juga begitu. Saya datang ke rumahnya berkali-kali. Di rumah sama mbah, kalau mbahnya ke mana-mana gak bisa, minta bantuan Pak Pohnya (Pamannya). Pak Pohnya sempat marah-marah, saya jelaskan lagi akhirnya mau” kata Nonik.

Titik terang dan keberhasilan

Mengintip Kisah Nonik Perjuangkan Hak Anak Pekerja Migran PonorogoNonik saat diskusi dengan Komunitas Pekerja Indonesia (KOPI) Pondok. Dok. KOPI for IDN Times

Tak sampai di situ, pelbagai pendataan dan ajakan untuk bersama-sama mengurusi hak anak-anak pekerja migran terus digelorakannya kepada keluarga-keluarga yang lainnya. Mulai dari pertemuan masyarakat seperti sosialisasi lewat RT/RW hingga ibu-ibu PKK. Seiring dengan itu, audiensi yang dilakukan Nonik dengan Dispendukcapil Ponorogo mulai menuai hasil.

Kepala dispendukcapil memberi lampu hijau untuk mempermudah proses pengurusan akta kelahiran anak dengan orangtua tunggal. Sejumlah aturan dari pemerintah pusat pada tahun 2018 dianggap cukup kuat supaya hak-hak anak pekerja migran dapat terpenuhi.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Pasal 3 berbunyi: Penduduk dapat membuat surat penyataan tanggung jawab mutlak atas kebenaran data dengan diketahui oleh 2 (dua orang) saksi dalam hal: a. tidak memiliki surat keterangan kelahiran; dan/atau b. tidak memiliki buku nikah/kutipan akta perkawinanatau bukti lain yang sah tetapi hubungan dalam KK (kartu keluarga) menunjukkan sebagai suami istri.

“Ada kebijakan baru (tahun 2018) cukup surat pertanggungjawaban mutlak (untuk mengurusi akta kelahiran anak pekerja migran yang hanya mempunyai orangtua tunggal dalam hal ini ibu),” kata Nonik.

Guru honorer itu pun bernafas lega, tak menunggu waktu lama Nonik bersama Kopi cekatan menyampaikan informasi menggemberikan ini kepada kepala desa setempat. Serta keluarga yang mempunyai kendala akta kelahiran. Sayangnya, tak semua sambutan hangat didapatkan oleh Nonik dan komunitasnya. Sebab beberapa keluarga masih abai dengan dokumen itu.

“Kami kasih penjelasan lagi, kalau anak tidak berdokumen bisa menimbulkan generasi tidak berdokumen lagi, sekolahnya juga akan mengalami kendala seperti pengisian data di dapodik,” terangnya. “Akhirnya ada yang mau ngurus sendiri, ada juga yang minta cara-caranya ke Kopi ya kami bantu,” Nonik menambahkan.

Sebisa mungkin, Nonik maupun anggota Kopi dibantu pemerintah desa menghubungi ibu dari anak yang belum mempunyai akta kelahiran. Mereka mengkomunikasikan agar aktanya bisa dibantu dan surat pertanggungjawaban mutlaknya bisa disetujui keluarga di kampung, guru di sekolah dan pemerintah desa.

“Kalau ibunya berada di luar negeri terus bisa diajak komunikasi, kita ajak komunikasi. Karena mengurusinya Sekarang pakai surat pertanggungjawaban mutlak,” kata Nonik.

Sekarang ini, lanjut dia, sudah ada empat orang anak pekerja migran di Desa Pondok dan sekitarnya mempunyai akta kelahiran lewat jalur yang diperjuangkan Nonik dan komunitasnya. Meskipun masih sedikit,jumlah itu ditaksir akan terus bertambah, karena Kopi tidak henti-hentinya melakukan sosialisasi tentang hal ini.

Beberapa keluarga pekerja migran juga mulai mau mengurus akta kelahiran anak-anaknya. “Ada beberapa yang masih proses, seperti nyiapin dokumennya sebelum ke dispendukcapil, terus kalau kesulitan tanya ke Kopi atau ke Mbah Lurah (Pak Kepala Desa),” ungkap Nonik.

Baca Juga: Akta Online, Cara Kilat Penuhi Hak Anak

Peran serta Pemdes, komunitas dan pendamping Infest

Mengintip Kisah Nonik Perjuangkan Hak Anak Pekerja Migran PonorogoKOPI, Pemdes dan pendamping Infest saat pelatihan seputar pekerja migran. Dok, KOPI for IDN Times

Kepala Desa Pondok, Suharto menyambut positif apabila ada warganya mulai mengurus hak-hak anak pekerja migran yakni akta kelahiran. Menurutnya para warga mulai paham setelah penggalakkan sosialisasi dari Kopi. Dia mengakui bahwa masalah akta acap kali dijumpai dari tahun ke tahun. Bahkan sejak jauh-jauh hari saat dirinya masih menjadi pekerja migran di Korea Selatan.

“Kopi bekerja, terutama kerja sosial. Ngurusi akta anak yang berasal dari perkawinan luar negeri. Terus menghitung berapa orang anak TKI (pekerja migran) Desa Pondok. (Ternyata) ada puluhan, akhirnya dikasih solusi dibantu Kopi,” kata Harto.

Bak gayung bersambut, komunitas dan pemerintah desa saling berkolaborasi menangani isu-isu pekerja migran. Terlebih pada hak-hak anaknya. Harto mengingatkan kepada warganya untuk tidak menutup diri mengurus dokumen legal seperti akta kelahiran anak pekerja migran dengan orangtua tunggal. Tak hanya anak yang berada di jenjang sekolah dasar tapi juga menengah pertama bahkan menengah atas.

“Karena akta sangat berguna dan penting bagi mereka, sekolah tanpa akta tidak bisa. Akta dinamakan anak seorang ibu (sekarang bisa). Selain itu (Kopi dan Pemdes Pondok) menguruskan bagi mereka yang siap ber-KTP, sekarang sudah masuk beberapa orang dan akhirnya punya KTP,” terang dia.

Sementara Ketua Kopi periode 2020, Arif Yulianto (31) bertekad meneruskan perjuangan Nonik. Dia akan terus mengawal hak-hak anak pekerja migran yang belum terpenuhi. Selain itu dia juga mengajak pekerja migran yang masih di luar negeri maupun yang sudah purna bergabung dengan Kopi. Menurutnya, semakin banyak anggota, informasi dan masalah-masalah pekerja migran dapat diketahui dengan cepat. Serta bisa dibantu melalui jalur-jalur legal.

“Anggota Kopi sekarang 30 orang, terdiri dari eks pekerja migran, pemuda karang taruna maupun ormas, perangkat desa dan pendamping,” tukas Arif.

Jumlah anggota harusnya bisa lebih banyak dari yang ada saat ini. Sebab berdasarkan data, sekarang ini jumlah pekerja migran Desa Pondok totalnya 96 orang. Dengan rincian bahwa 35 orang masih aktif bekerja di luar negeri. Sedangkan sisanya sebanyak 56 orang purna atau sudah pulang ke kampung halaman.

Negara-negara tujuan para pekerja migran Desa Pondok ialah Hongkong, Taiwan, Arab Saudi, Malaysia dan Singapura. “Nah, kalau Desa Pondok pekerja migrannya kebanyakan yang berangkat perempuannya. Kisaran usia kurang tahu, yang jelas banyak lulusan SMA. Tapi yang kuliah juga ada, kalau SMA itu biasanya ya jadi asisten rumah tangga (ART). Itu banyak di Hongkong, Taiwan dan Arab,” ungkap Arif.

Menurutnya, pekerja migran yang pulang sudah membawa anak sudah menjadi fenomena lumrah. Tidak ada yang pantas disalahkan ihwal hal tersebut. Kopi, kata Arif, hanya bisa memberikan uluran tangan apabila memang membutuhkan bantuan. Komunitas itu tak jarang juga menjemput bola seperti dalam kasus pengurusan akta anak-anak pekerja migran.

“Kalau kami bisa bantu pasti kami bantu, yang masuk selama ini kasus-kasus yang berkaitan dengan isu pekerja migran ya kami maksimalkan untuk menanganinya,” dia menegaskan.

Pandamping Infest di Ponorogo, Ani Hidayati juga masih mengingat betul perjuangannya Bersama Nonik dan Kopi Desa Pondok untuk anak-anak pekerja migran yang belum memiliki akta kelahiran.Menurutnya, membantu mengurusi dokumen pribadi mereka ialah salah satu bentuk kepedulian sosial.

“Karena akta kelahiran sangat mendasar menjadi kunci untuk dokumen lainnya. Apabila seorang anak tidak mempunyai itu, maka anak akan kesulitan dapat hak-hak lainnya seperti di sekolah hingga KTP. Hak-haknya terampas,” ungkapnya.

Ani-sapaan akrabnya—mengakui bahwa isu akta kelahiran dibawa pertama kali oleh Nonik. Hal itu bermula dari temuannya di SD tempat Nonik mengabdi. Salah satu anak didiknya tidak punya akta kelahiran, kemudian basis data siswa tersebut menjadi merah. “Makanya dia berjuang supaya anak-anak punya akta. Beberapa kali bersama saya ke dispendukcapil, pernah sekali mentok (gagal) dikasih syarat normatif,” beber dia.

“Diminta KTP orangtua anak, padahal orangtuanya di luar negeri, akhirnya ya mentok. Kemudian disuruh melengkapi berkas, beberapa bulan mentok lagi. Kuncinya di orangtuanya, padahal di sekolah anak ini harus punya akta untuk data based. Bu Nonik melobi titik temunya ya itu pakai surat pertanggungjawaban,” Ani melanjutkan. Kondisi seperti ini, kata dia, tidak hanya di Desa Pondok. Ada temuan lain di Desa Gelanglor, Ponorogo.

Baca Juga: KPPPA: 10 Persen Anak Indonesia Belum Punya Akta Kelahiran

Pemkab masifkan program akta kelahiran

Mengintip Kisah Nonik Perjuangkan Hak Anak Pekerja Migran PonorogoKepala Bidang Pelayanan dan Pencatatan Sipil Dispendukcapil Ponorogo, Suwadi. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Peran serta Nonik lewat Kopi diakui betul oleh Kepala Bidang Pelayanan dan Pencatatan Sipil Dispendukcapil Ponorogo, Suwadi. Dia membenarkan bahwa saat ini untuk mengurus akta kelahiran bagi anak dengan orangtua tunggal sangatlah mudah. Cantolan hukumnya ialah Perpres Nomor 96 Tahun 2018. Perjalanan mengurus akta semakin massif juga karena ada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Perpres Nomor 96 Tahun 2018. Dia menyebut salah satu aturan dalam pasal 48 ayat 1.

“Ini (aturan) sudah diamanahkan Perpres 96/2018. Kemudian dalam Permendagri 108/2019, pasal 48 ayat 1 bahwa dalam hal pencatatan kelahiran tidak bisa menunjukkan surat nikah dan akta perkawinan maka dalam pencatatan kelahiran tercatat anak seorang ibu,” kata Suwadi.

“Apabila dalam pencatatan kelahiran tidak bisa menunjukkan surat nikah, dalam KK sudah menujukkan suami istri, anak tercatat sudah anak ayah dan ibu,” dia melanjutkan.

Hal ini, lanjut Suwadi, sejalan dengan Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran. Artinya, pemerintah pusat maupun daerah dalam hal ini dispendukcapil harus melakukan percepatan dan mempermudah pengurusan akta kelahiran.

“Semula anak tidak punya akta dengan regulasi yang ada maka bisa terbit akta kelahiran. Walaupun tercatat anak ayah dan ibu kalau orangtuanya tidak punya surat nikah maka akta anaknya ada catatan kecil bahwa perkawinan orangtua belum tercatat sesuai Undang-undang berlaku,” jelasnya. “Kalau bisa melampirkan persyaratan copy surat nikah legalisir, dan copy KK, maka akan terbit akta kelahiran tanpa  catatan. Dengan instrumen yang ada sekarang ini tidak ada alasan tidak melayani ini,” tambah Suwadi.

Sejumlah aturan itu pun berdampak positif bagi anak-anak di Kabupaten Ponorogo. Meski tak menyebut jumlah pastinya, Suwadi memastikan 99,35 persen anak usia 0-1 tahun di Kota Reog kini sudah mengantongi akta kelahiran. Lebih lanjut, anak usia 1-18 tahun menembus 95,35 persen. Persentase tersebut tentunya di atas target nasional yang mematok di angka 92 persen.

“Jumlah ini akan terus bertambah, karena kita maksimalkan 2 bulan ini (November-Desember). Kita punya beberapa program, menjalin kerjasama dengan bidan, rumah sakit dan panti asuhan Insyaallah rentan sosial kecukupan hak sipil di Ponorogo terpenuhi,” Suwadi menegaskan.

Apabila ada yang ingin menerbitkan akta kelahiran, Suwadi menjamin prosesnya akan berlangsung cepat. Nah, sebelum melakukan penerbitan pihaknya akan memverifikasi terlebih dahulu. “Hitungan jam langsung terbit. Bisa ditunggu. Kalau terjadi trouble (masalah) harus mundur. “Dispendukcapil Ponorogo all out, ada gerakan serentak penerbitan akta kelahiran tidak lebih satu bulan bisa selesiakan 28 ribu (akta),” kata dia.

Tak lupa, Suwadi mengingatkan panduan dalam mengurus akta. Pertama yakni mengimbau masyarakat meneliti berkas secara mandiri terlebih dahulu sebelum datang ke Kantor Pelayanan Dispendukcapil Ponorogo. Pemohon bisa menunggu berkasnya jika sudah memasukkannya ke unit pelayanan yang dituju. Apabila berkas valid nantinya akan mendapatkan tanda tangan elektronik. “Di sana muncul level empat, berarti siap cetak. Dokumen tercetak langsung diserahkan pemohon,” tukasnya.

Akta kelahiran hak mutlak anak

Mengintip Kisah Nonik Perjuangkan Hak Anak Pekerja Migran PonorogoIlustrasi akta kelahiran. IDN Times / Larasati Rey

Kepemilikan identitas legal termasuk akta kelahiran merupakan hak dasar tiap warga negara. Maka sudah seharusnya pemerintah mempermudah anak-anak mendapatkan hak-haknya tersebut. Pandangan ini disampaikan oleh advokat asal Jember, Cholily. “Tiap anak itu punya hak untuk identitas, punya hak atas asal usul,” tegas dia.

Cholily menyebut apabila ada seorang ibu tidak mempunyai surat nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA), nantinya anak yang dilahirkannya tetap memiliki hak memiliki identitas ketika dilahirkan. Dia mencontohkan kalau ada yang nikah siri kemudian punya anak. “Dia (anak) tetap saja dari orangtuanya itu. Tidak ada alasan anak itu atas nama orang lain, tetap identitas aktanya ya orangtuanya, kalau diatasnamakan orang lain justru melanggar,” jelasnya.

Sedangkan upaya yang sudah berjalan di Ponorogo dengan jalur surat pertanggungjawaban mutlak kemudian menyertakan hanya satu nama orangtua yakni ibu, menurut Cholily sudah seharusnya memang seperti itu. Yang tidak diperbolehkan apabila nama orangtua diganti dengan nama orang lainnya.

“(Kalau sampai diganti) itu harus melalui proses peradilan. Jadi tidak serta merta. Karena anak punya hak diputus asal usulnya, anak juga bisa menggugat kelak (jika sudah cukup umur), karena itu melanggar haknya (jika diganti),” tukas Cholily.

Senada dengan Cholily, Direktur Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (Samin), Fathuddin Mucthar menegaskan, setiap anak berhak memperoleh suatu kebangsaan. Negara wajib memberikan akses agar anak-anak dicatatkan kelahirannya. Nah, wujud dari pencatatan kelahiran itu adalah akta kelahiran. Tapi sejumlah masalah masih kerap dijumpai.

“Untuk memperoleh akta kelahiran itu kayak muter, misalkan seorang anak yang lahir dari seorang ibu itu mulai jenjang bawah diminta kartu keluarganya, surat nikahnya. Padahal harusnya itu tidak menjadi penghambat sehingga anak-anak memperoleh haknya,” katanya.

Apabila ada kasus anak pekerja migran yang lahir di luar Indonesia, lanjut Fathuddin, harusnya melihat sistem pencatatan kewarganegaraan di negara asalnya. Merujuk pada UU Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 29 ayat (2) apabila negara setempat tidak menyelenggarakan pencatatan kelahiran bagi orang asing, pencatatan dilakukan pada perwakilan Republik Indonesia setempat.

“Kalau belum dewasa ikut orangtuanya (ibu), ditambah di UU yang baru misalnya ada anak lahir di luar proses yang diakui (nikah ke Kantor Urusan Agama) itu bisa ditulis anak dari seorang perempuan,” terangnya. Yang jelas, semua anak berhak atas pencatatan kelahirannya.

Baca Juga: Warga Urus Akta Kematian Sampai ke Jakarta, Pemkot Surabaya Minta Maaf

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya