Hidup jauh dari gemerlap kota dan keluarga tentu bukan pilihan mudah. Ada banyak tantangan yang dihadapinya setiap hari, apalagi ketika harus hidup di hutan. Rosa harus berjuang memberikan pendidikan yang layak di tengah keterbatasan dan perbedaan bahasa dan budaya.
"Mulai kondisi geografisnya yang semua aktifitas di atas papan, ga ada jalan darat, mempelajari karakter masyarakatnya, harus belajar budaya dan bahasa baru karena suku Lani dan Asmat jauh berbeda, daaaan harus pinter-pinter jaga diri supaya ga kena malaria. Hahaha" ujar wanita berkulit sawo matang ini.
Selain itu, hidup lama di Papua membuatnya panen pengalaman yang benar-benar membekas di memorinya.
"Kalau di Asmat, dulu awal tinggal di Asmat aku ketemu sama anak yang mengalami gizi buruk. Umur 3 tahun tangannya hanya sebesar ibu jariku. Waktu itu ketemunya di hutan waktu aku dan teman-teman patroli. Badannya tinggal kulit dan tulang. Kepalanya penuh dengan luka. Trus pas nemuin dia telanjang dan cuma dibalut pake sarung lusuh terus digletakin di sebelah tungku. Gak berdaya sama sekali."
"Kalau selama ini aku sering lihat anak dengan kondisi begitu itu cuma di TV, foto, atau film, sekarang aku lihat langsung, pegang langsung. Pertama kali aku pegang aku bingung harus bersikap. Kalau aku nangis kok malu sama keluarganya, kalau aku tahan tangisan kok berat banget rasanya saking sedihnya waktu itu."
"Trus akhirnya aku dan temen-temen minta orang tuanya untuk bawa anak itu ke kampung untuk diobati. Singkat kata Amelia Tombes, anak itu, kami berikan makanan tambahan di rumah. Setiap pagi, siang dan malam dia datang ke rumah dan kami gantian ngurus dia. Sampai akhinya dia diminta untuk bawa ke kota supaya diperiksa."
"Ternyata selain gizi buruk, dia TBC juga. Beberapa waktu melakukan pengobatan, berat badannya naik. Dia juga lebih ceria. Tapi sayang orang tuanya gak telaten ngurus, akhirnya pengobatan untuk TBC ga tuntas. 15 September 2016 lalu, Tombes meninggal. Dan itu pukulan besar buat aku."