Sejak muda Retty sudah sangat peduli dan terus memperjuangkan hak-hak wanita. IDN Times/ Alfi Ramadana
Retty menceritakan bahwa awal dirinya mulai tertarik untuk memerjuangkan hak-hak wanita adalah saat masih duduk di bangku kuliah. Saat itu, tepatnya tahun 1975, ia sedang menjalani pendidikan tingkat dua di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Ia dan rekannya melakukan sebuah general survey di sebuah desa di Gresik, dalam rangka menjalani program Community Teaching Medicine di FKUA. Salah satu pertanyaan dalam survei tersebut adalah mengenai program Keluarga Berencana (KB).
Saat melakukan tanya jawab dengan seorang perempuan terkait KB, ia menemukan sebuah hal yang berbeda yakni warga menggunakan pil KB sebagai bedak wajah. Ibu tersebut beralasan tetap menerima pil KB saat itu lantaran merasa kasihan dengan petugas kesehatan yang berkeliling. Meskipun sebenarnya dari sisi usia dia sudah tidak memerlukan pil KB. Tetapi pada saat itu menjadi akseptor KB memang sebuah keharusan bagi wanita. Jika tidak menjadi akseptor KB, maka bisa saja pelayanan publik bagi mereka akan dipersulit.
"Pada waktu itu, bagi saya hal tersebut merupakan sebuah peristiwa yang luar biasa. Sehingga saat itu saya kemudian menulis surat pada ibu saya dan bertanya apakah semua perempuan di desa memang harus seperti itu," paparnya.