Yuli Riswati saat melakukan konferensi pers di kantor AJI Surabaya, Selasa (3/12). (IDN Times/Fitria Madia)
Di tengah-tengah tenggelamnya Yuli dalam dunia kepenulisan fiksi, ia menemukan fakta lain. Selama ini, para buruh kerap melakukan aksi baik aksi damai maupun demonstrasi. Namun sayangnya, tak satu pun media melakukan peliputan terhadap mereka. Bagi Yuli, percuma mereka bergerak jika tak ada yang mendengarkan aspirasi mereka.
Yuli juga menilai tidak ada yang dapat menyediakan informasi bagi para buruh migran dengan baik. Pasalnya, tak semua buruh migran dapat berbahasa Kantonis, Mandarin, maupun Inggris dengan lancar. Media berbahasa Indonesia yang ada juga dirasa masih kurang mengerti kebutuhan para buruh migran.
Sampai pada akhirnya, masa kampanye Pemilihan Presiden RI 2019 tiba. Pilpres yang panas ini membuat bangsa Indonesia, termasuk buruh migran di Hong Kong terpecah belah. Banyak berita bohong yang menyebar di kalangan buruh migran. Sedangkan, tidak ada satu pun yang dapat mengklarifikasinya.
Dari berbagai macam kegelisahan itu, Yuli mengajak 5 teman lainnya untuk membuat sebuah media. Media ini memiliki semboyan dari migran, untuk migran, dan oleh migran. Dibantu dengan seorang mantan jurnalis TV, mereka pun mendirikan portal daring bernama Migran Pos.
“Hari itu tepat Hari Perempuan Internasional. Kami berenam perempuan semua,” ucap Yuli berkaca-kaca.