Gandrung Banyuwangi. (Facebook/ banjoewangie tempoe doeloe)
Budayawan Banyuwangi, Eko Budi Setianto, mengatakan bahwa yang dilakukan Marsan bukanlah sekadar kegiatan hiburan semata. Ada sebuah misi di balik aksinya keliling desa tersebut. Rupanya, Marsan bermaksud untuk mengumpulkan kekuatan.
"Pertunjukan Marsan bukan sekedar untuk mengisi perut layaknya pengamen. Dia melainkan mengkonsolidasikan sisa-sisa rakyat Kerajaan Blambangan usai perang Puputan Bayu pada tahun 1767," kata Budi, Kamis (10/11/2022).
Berdasarkan sejarah, kala itu rakyat Blambangan Banyuwangi bertempur mati-matian untuk mengusir pasukan Belanda. Disitulah banyak pribumi yang mati karena peluru penjajah. Menurut cerita yang beredar, jumlah rakyat yang jadi korban bahkan mencapai 60 ribu jiwa.
Dalam jurnal C. Lekerkerker, setelah perang Puputan Bayu 11 Oktober 1772, sebanyak 2.505 pribumi Banyuwangi menjadi tawanan. Banyak golongan pria dieksekusi, sedangkan wanita dan anak-anak dibuang ke Madura sebagai hasil perang.
"Sedang sisanya yang tinggal, sekitar lima ribu jiwa hidup telantar tercerai berai dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan," kata Budi.
Budi menyebut, pribumi yang selamat mayoritas terdiri dari para wanita yang kehilangan suaminya dan anak-anak. Banyak juga yang melarikan diri ke Bali, Mataram bahkan Madura.
"Di sinilah peran penting Gandrung Marsan. Dia berkeliling ke desa-desa yang ditempati sisa-sisa rakyat Blambangan. Bermaksud menghimpun kembali kekuatan pribumi," ungkapnya.
Selama berkeliling, Marsan akan mendapatkan imbalan berupa beras dan hasil bumi lainnya. Imbalan tersebut kemudian akan didistribusikan kepada rakyat yang sedang dalam persembunyian dan membutuhkan.