Patung Slamet Cokro di Kantor Desa Jambewangi. (IDN Times/ Agung Sedana)
Setelah berhari-hari di masa pelarian, regu perlawanan Mbah Suwandi hanya menyisakan 6 orang. Belasan rekannya sudah gugur terlebih dahulu. Regu ini dipimpin oleh Darmin dan Broto, dua orang tentara yang Suwandi sendiri tidak mengetahui dari mana asalanya.
“Tinggal enam orang saja. Saya, pak Darmin dan pak Broto. Terus ada juga Slamet Cokro, Jendul dan Sukri Ilyas,” ucap Mbah Suwandi sembari mengenang wajah rekannya dulu.
Sesampainya di sebuah perkampungan, 6 orang yang berhasil selamat ini kemudian memutuskan untuk beristirahat. Belum pulih stamina mereka, lagi-lagi militer Belanda berhasil melacak keberadaan mereka.
Di perkampungan ini (saat ini bernama Dusun Sidomulyo), Mbah Suwandi menyaksikan rekan-rekannya dieksekusi mati oleh militer Belanda. Tidak hanya itu, pribumi setempat juga menjadi sasaran kebrutalan penjajahan.
“Teman saya Jendul ditangkap. Sudah saya bilang jangan pulang, malah keluar. Akhirnya ditangkap. Pagi-pagi langsung ditembak. Sedangkan saya lari,” kata Mbah Suwandi sambil menunjuk arah utara di mana rekannya mati.
Jendul pun akhirnya harus gugur dengan kondisi bersimbah darah penuh luka tembakan. Sedangkan rekan lainnya, Sukri bersembunyi di tempat kerumunan orang yang sedang kerja bakti membangun rumah. Di sini, Sukri juga dieksekusi mati bersama beberapa pribumi lainnya.
“Saya lihat teman saya ditembak, duaaarr! Waduh kalau ini saya mendekat saya juga ikut ditembak. Akhirnya saya lari ke utara, ke Watu Gedhek. Lebih masuk ke dalam hutan” ucapnya.
“Duh gimana ya, ini kan orang-orang sedang kerja bakti akan membenahi rumah, kok malah ditembaki loh. Ya mati semua. Wah edan beneran ini tentara Londo (belanda),” imbuh Suwandi.
Sedangkan Slamet Cokro, mendengar suara tembakan langsung melarikan diri ke arah timur. Tak disangka, Slamet Cokro justru berpapasan dengan regu militer Belanda lainnya di arah yang ia tuju.
“Slamet ini terjebak. Dia lari terus ketemu Belanda dan sembunyi di sungai. Setelah ketahuan langsung ditembak. Saya dengar suara tembakannya,” katanya.
“Waduh ada tembakan lagi. Temanku Slamet mati itu,” batin Mbah Suwandi saat mendengar sumber tembakan dari arah Slamet Cokro bersembunyi.