Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Dok. Universitas Ciputra Surabaya
Pertunjukan Bagong Crying Soul. Dok. Universitas Ciputra Surabaya.

Intinya sih...

  • Kasus gangguan mental di kalangan Generasi Z meningkat, 1 dari 7 remaja mengalami gangguan mental menurut WHO dan data Kementerian Kesehatan Indonesia.

  • Pertunjukan "Bagong Crying Soul" dibuat untuk mewakili kegelisahan dan luka batin generasi muda, melibatkan mahasiswa dan siswa dalam garapannya.

  • Pagelaran ini menghadirkan musik orisinal ciptaan Henry serta kolaborasi dengan kecerdasan buatan, sebagai cara untuk menciptakan ruang aman bagi generasi muda untuk berbicara dan mengekspresikan diri.

Surabaya, IDN Times - Henry Santpso Pranoto membuncah. Melihat fenomena di sekitarnya. Banyak anak-anak muda berlabel Generasi Z atau Gen-Z yang bermasalah dengan kesehatan mentalnya. Entah bagaimana dan mengapa, mereka-mereka jadi begitu adanya.

Data-data pun dibukanya. Berdasarkan World Health Organization (WHO), sekitar 1 dari 7 remaja usia 10–19 tahun mengalami gangguan mental. Di Indonesia data Kementerian Kesehatan tahun 2023 menunjukkan peningkatan kasus depresi dan kecemasan pada remaja hingga 25 persen dalam dua tahun terakhir, dengan penyebab utama berupa tekanan sosial, kekerasan dalam rumah tangga, serta perundungan siber.

Dari sinilah, Henry terpikir untuk membuat suatu pertunjukan yang dipentaskan medio Juni 2025 lalu. Bertajuk “Bagong Crying Soul”. Sebagai suara yang mewakili kegelisahan dan luka batin yang sering tersembunyi dalam diri generasi muda, khususnya Generasi Z.

Dalam garapannya, Dosen International Business Management Universitas Ciputra ini melibatkan mahasiswa Universitas Ciputra dan siswa Sekolah Citra Berkat Surabaya. Bukan spontan. Mereka dilatih. Persiapannya selama satu semester penuh. Untuk sebuah bentuk kepedulian terhadap meningkatnya kasus kesehatan mental di kalangan remaja dan pemuda.

Set panggung didesain sedemikian rupa hingga menjangkau ke dalam area penonton, menciptakan ruang intim antara pemeran dan audiens. Penonton tidak hanya menyaksikan, tetapi juga diajak merasakan langsung beban emosi dan luka yang dialami para pemeran—salah satunya berdasarkan kisah nyata mahasiswa yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan bullying.

Pagelaran ini mengangkat sosok Bagong, tokoh wayang yang dikenal jenaka namun menyimpan kedalaman emosi yang sering kali tak tersampaikan. Dalam “Bagong Crying Soul”, karakter ini digambarkan tetap tersenyum meskipun sering menjadi korban bullying dan ketidakadilan—refleksi dari banyak generasi muda saat ini yang menyembunyikan luka mereka di balik tawa dan unggahan media sosial.

“Generasi Z saat ini hidup dalam tekanan sosial yang sangat tinggi. Mereka terlihat aktif di luar, tetapi banyak yang menyimpan luka dalam diam. Melalui pertunjukan ini, saya ingin membantu mereka belajar untuk berani membuka diri dan mengekspresikan emosi. Kesenian adalah salah satu cara yang aman dan efektif untuk itu,” ujar Henry.

Pagelaran ini juga menghadirkan elemen unik berupa musik orisinal ciptaan langsung oleh Henry serta musik hasil kolaborasi dengan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Penonton diajak untuk mengenali dan membedakan nuansa emosional dari karya manusia dan AI, sebagai cara untuk menyadarkan bahwa teknologi dapat menjadi medium ekspresi yang membantu, bukan menggantikan, sisi kemanusiaan kita.

“Kita harus menciptakan ruang aman bagi generasi muda untuk berbicara, mengekspresikan diri, dan merasa dimengerti. Jika tidak, mereka akan terus menyimpan luka itu sendiri, dan ini yang sering berujung pada keputusan ekstrem seperti menyakiti diri sendiri bahkan bunuh diri,” tegas Henry

“Bagong Crying Soul” menjadi wujud nyata dari kesadaran baru di kalangan pendidik dan seniman bahwa seni bisa menjadi bahasa penyembuh yang kuat. Diharapkan pagelaran ini menjadi awal dari gerakan kolektif untuk membangun keberanian generasi muda dalam mengenali dan menyuarakan perasaan mereka.

Editorial Team