TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Semangat Warga Papring, Pagi Kerja di Hutan, Sore Ikut Kejar Paket

Usia bukan penghalang untuk mengenyam pendidikan

Widie Nurmahmudy, Founder Kampoeng Batara saat mengumumkan waktu belajar kepada masyarakat. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Banyuwangi, IDN Times - Tepat pukul 15.00 WIB, setiap hari Minggu, Widie Nurmahmudy menghidupkan sound system dengan volume keras. Tembang Umbul-umbul Belambangan mengalun merdu di halaman rumahnya di Lingkungan Papring, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi.

1. Sebagian besar warga kerja di hutan

Warga Papring saat mengikuti aktivitas belajar kejar paket. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Iringan musik itu menjadi tanda pengumuman kepada warga agar segera berkumpul ke rumahnya. Warga, secara bersama-sama, mengikuti kegiatan belajar.

Widie lantas mengambil mikrofon untuk mengumumkan secara langsung. Dia woro-woro dengan menggunakan bahasa daerah.

"Ayo bapak ibu, saikai wes wayahe (sekarang waktunya) kumpul belajar. Sakikai dienteni sinau bareng, myakne Indonesia tambah keren, (Sekarang ditunggu belajar bersama, supaya Indonesia tambah keren)," ucap Widie secara lantang dengan cengkok Using yang kental, Minggu (26/1).

Puluhan ibu-ibu dan bapak-bapak satu per satu datang membawa buku dan bolpoin. Mereka siap untuk belajar pendidikan paket dari Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Nur Surya Education, sebuah lembaga paket pendidikan tingkat SD, SMP hingga SMA di bawah Dinas Pendidikan Banyuwangi.

Sebagian besar, warga Papring bekerja di ladang hutan kawasan KPH Banyuwagi Utara. Tiap pagi mereka berangkat ke hutan untuk menanam jagung. Ada yang kerja harian di proyek bangunan, mencari tunas bambu di hutan, hingga membuat kerajinan anyaman bambu.

"Rata rata warga di Papring hanya lulusan SD, ada juga yang tidak sekolah," kata Widie.

Baca Juga: Kisah Novian, Bagikan Kopi Gratis hingga Pelosok Hutan Banyuwangi

2. Belajar biar gak mudah dibohongi orang

Warga tampak semangat mengikuti pelajaran pendidikan kejar paket di Kampoeng Batara. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Widie sendiri merupakan pemuda Papring yang mendirikan pendidikan alternatif dengan konsep belajar dan bermain untuk anak-anak sekitar sejak 2015. Namanya Kampoeng Baca Taman Rimba (Batara).

Lembaga pendidikan tersebut didirikan agar generasi di lingkungannya semangat belajar, tidak sampai putus sekolah. Semua dikerjakan dengan sukarela, berbasis relawan tanpa dibayar. Sejak dua bulan terakhir, Widie ditawari PKBM Nur Surya Education agar tidak hanya anak-anak yang diajak semangat belajar, namun juga orang tuanya yang sempat putus sekolah.

"Saya dijadikan sebagai pengelola Kelompok Belajar Kampoeng Batara untuk program PKBM ini," katanya.

Sejak saat itu, Widie kemudian membuat pengumuman kepada warga lewat perkumpulan tokoh masyarakat agar mau bergabung belajar pendidikan paket gratis. Syarat mendaftar PKBM cukup membawa KTP, Kartu Keluarga, dan ijazah terakhir. Hasilnya, saat ini sudah ada 41 orang yang bergabung.

"Jadi setiap hari Minggu pagi saya mengajar anak-anak di Kampoeng Batara sebanyak 39, dan sorenya bantu mengajar program pendidikan kejar paket, " tambahnya.

Salah satu peserta pendidikan kejar paket SMP itu adalah Asnoto (46). Meski menjadi ketua RT setempat dan tak lagi muda, dia tidak sungkan untuk mengenyam pendidikan. Asnoto juga menjadi orang yang aktif mengajak warga yang putus sekolah agar mengikuti pendidikan kejar paket, melalui acara pengajian, rapat hingga mendatangi warga ke rumah masing-masing.

"Saya bilang, mumpung ada kesempatan belajar, monggo. Yang belum bisa baca biar bisa membaca, yang belum bisa menulis biar bisa menulis, biar gak gampang dibohongi orang," katanya.

Asnoto tidak tuntas pendidikan setara SMP karena kondisi ekonomi keluarga. Dia harus membantu orang tuanya berdagang kerajinan bambu dipan ke pasar.

"Kalau saya pribadi memang ingin belajar lagi, karena dulu sempaet putus sekolah, karena kondisi ekonomi. Saya dulu putus sekolah di madrasah karena harus bantu ikut orang tua jualan amben (dipan), hasilnya buat beli jagung buat digiling untuk makan," katanya.

Dia sehari-hari bekerja mencari bambu di hutan, menyadap getah pinus di Perhutani, dan menanam jagung di lahan tumpang sari.

"Ya kerja di hutan dari dulu. Karena hari Minggu ada sekolah, ya pulangnya dari hutan gak sampai sore," tambahnya.

3. Warga juga dikenalkan ujian berbasis komputer

Warga Papring saat belajar mengoperasikan komputer agar bisa mengikuti ujian berbasis komputer. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Pengelola PKBM Nur Surya Education, Anas Alfan Suni mulanya melihat kawasan Kampoeng Batara sebagai tempat yang cocok sebagai pusat baru kelompok belajar kejar paket PKBM. Meski angka putus sekolah generasi tuanya tinggi, dia senang karena masyarakatnya masih semangat mau belajar.

"Warga sini antusias, kami libatkan pak RT. Dan pak RT mengajak masyarakat agar mau belajar," tuturnya.

Hanya saja, kawasan Papring yang sulit terjangkau sinyal seluler dan internet juga menjadi tantangan sendiri. Terlebih masyarakat tidak mengenal cara mengoperasikan komputer. Padahal, hal itu bermanfaat untuk ujian berbasis komputer mereka nanti.

"Kami ajarkan komputer karena mereka memang ujiannya menyesuaikan, pakai Ujian Nasional Nasional Berbasis Komputer (UNBK)," kata Alfan.

Saat belajar komputer, Asnoto dan peserta lain tampak kaku. Jari-jari mereka canggung saat menari-nari di atas keybord dan mengarahkan kursor.

Mendidik anak-anak dan orang dewasa yang putus sekolah, kata Alfan, memang harus lebih sabar. Pengajarnya harus banyak menggunakan istilah sederhana agar lebih mudah dicerna.

4. Menggunakan metode belajar menyenangkan

Kegiatan belajar kejar paket berlangsung setiap sore di hari Minggu. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Dari 41 peserta didik, dibagi kelompok sesuai tingkat pendidikan. Sore itu, Alfan kebagian mengajar ibu-ibu yang belum bisa baca tulis. Ada yang tidak sekolah sama sekali, ada juga yang tidak tuntas SD.

Dengan sabar dan telaten, Alfan mengenalkan huruf satu per satu menggunakan analogi benda yang akrab di kalangan masyarakat.

"Jadi dihubungkan hal yang dekat dengan aktivitas sehari hari, huruf Y seperti ketapel, huruf I seperti pentungan, J kayak pancing dan huruf H seperti kursi," katanya.

Pendidikan paket PKBM memiliki waktu belajar sehari dalam seminggu, namun ditempuh dalam waktu seperti pendidikan umum. Enam tahun untuk sekolah dasar dan tiga tahun untuk tingkat SMP dan SMA.

"Tapi kami lihat, kalau sudah bisa baca hitung, itu setara kelas empat," ujarnya.

Selain itu, guru Kelompok Belajar Kampoeng Batara lain, Rizky Prasetyo juga punya cara unik saat mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.

"Dua kata jadi satu, misal back street. Itu artinya beda kalau dijadikan satu dan pisah," katanya.

Sebagai tenaga pengajar, Rizky rela menempuh perjalanan dari rumahnya ke Papring Kampoeng Batara sejauh sekitar 60 kilometer. Tapi sebagai sarjana muda, dia bangga bisa mengabdi mengajar di pelosok.

"Setiap ke sini, saya harus siap bensin dua sampai tiga liter dengan perjalanan satu setengah jam. Tapi saya senang mengabdi gini, karena cita-cita saya dulu gabung di SM3T mengajar di pelosok," sebut Rizky.

Baca Juga: KHA Dahlan, Pondok Pesantren Khusus Disabilitas di Banyuwangi

Berita Terkini Lainnya