Warga Tengger Desa Ngadas saat mempersiapkan upacara sesanti. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)
Melihat pertikaian masyarakat terkait politik di dunia maya maupun di dunia nyata saat ini membuat bergidik. Bagaimana tidak, hubungan keluarga bisa hancur hanya karena perbedaan calon pemimpin. Masyarakat Tengger di Desa Ngadas justru tidak releate dengan kondisi ini.
Mujianto melanjutkan, jika saat pemilihan kepala desa, warga Desa Ngadas tidak mengenal yang namanya money politic. Kampanye juga dilaksanakan tanpa memasang gambar di banner atau baliho, kampanye calon kepala desa hanya dilakukan saat menyampaikan visi misi di kantor desa. Sehingga ada celotehan bahwa di Desa Ngadas, orang-orang malah malas jadi Kepala Desa.
Melihat peta politik pemilihan Kepala Desa juga sulit, soalnya baik yang menang atau yang kalah sebagai Kepala Desa sama-sama diberikan sumbangan gula oleh warga. Bukan calon Kepala Desa yang membagikan sembako, malah calonnya yang dibawakan gula setelah selesai pemilihan baik yang menang maupun yang kalah.
Tidak ada kebencian baik yang menang maupun yang kalah. Bahkan setelah pemilihan, baik yang menang atau kalah tetap bersilaturahmi ke rumahnya masing-masing. Meskipun kalah pemilihan calon kepala desa, mereka tetap akan mendukung jalannya pemerintahan desa.
"Kalau metode pemerintahan Desa Ngadas diterapkan di Indonesia, maka tidak akan ada korupsi. Karena proses kepala desa ini jadi, sama sekali tidak mengeluarkan biaya sama sekali. Karena warga juga tidak ada yang berani mendekat sebelum pemilihan kepala desa, mungkin cuma hansip yang menjaga masing-masing rumah calon," tegas Mujianto.
Kemudian ada satu tradisi unik bagi kepala desa masyarakat Tengger, Kepala desa terpilih belum sah kalau belum dilantik di upacara Mayu, jadi dia tidak boleh melaksanakan tugas terlebih dahulu meskipun sudah dilantik oleh bupati. Dalam upacara ini, kepala desa terpilih akan diberikan mandat berupa pusaka dan nama. Mujianto mendapatkan nama tambahan di belakangnya, menjadi Mujianto Mugiraharjo. Sementara pusaka yang diberikan namanya adalah Tindi Desa, bentuknya keris dan pakaian dari leluhur.
"Ada contoh waktu di Desa Ranupani dulu kepala desanya tidak mau melakukan upacara adat karena alasan kepercayaan, membuat warga tidak mau mengakui dia sebagai kepala desa. Kalau ada kegiatan adat, yang diundang ya kepala desa sebelumnya," bebernya.
Satu lagi yang unik di perpolitikan masyarakat Desa Ngadas, sepanjang mata memandang tidak ditemukan poster calon legislatif (caleg) ataupun calon presiden (capres), padahal tahun ini hingga 2024 adalah tahun politik. Ternyata ini dikarenakan yang jadi acuan masyarakat sebenarnya hanya figur, bukan partai atau gambar.
"Misalnya dulu Rendra Kresna waktu masih di Golkar menang di sini, kemudian beliau pindah ke NasDem masih tetap menang, itu terjadi karena figur beliau yang sering datang ke sini memperhatikan masyarakat. Begitupun Jokowi meskipun dari PDIP juga menang," ucap Mujianto.
Menurut pria berkumis ini, orang-orang di Desa Ngadas sulit buat diarahkan memilih gambar. Apalagi orang-orang tua yang dihadapkan pada 4 surat suara, mereka datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) hanya untuk menggugurkan kewajiban saja. Ditambah lagi kemungkinan surat suara di TPS nantinya tanpa foto, sehingga yang terpilih nanti adalah orang beruntung saja karena siapapun yang menang di Ngadas tidak akan dipedulikan.
"Kalau baliho caleg kita bukan melarang, karena itu orang cari peluang pekerjaan saja. Kita hanya jangan diberikan sebuah gambar, tapi visi misinya bagaimana. Kalau mau dekat dengan masyarakat, maka harus datang langsung," pungkasnya.