Sejarah Gandrung dan Kepahlawanan Pribumi Banyuwangi Melawan Penjajah

Siapa sangka, Gandrung berawal dari kesenian ngamen keliling

Banyuwangi, IDN Times - Di balik keindahan dan kemewahan tari tradisional Gandrung Banyuwangi, ternyata ada sebuah sejarah mendalam yang tersimpan. Sejarah ini berkaitan erat dengan gambaran perjuangan para pahlawan dan pribumi lokal saat melawan kolonial Belanda.

Sebuah artikel Gandroeng Van Banyuwangi yang ditulis John Scholte (1926), menceritakan asal muasal penari gandrung bukanlah diperankan oleh perempuan, melainkan oleh seorang laki-laki. Dialah Marsan. Seorang seniman panggung yang merupakan pribumi asli. Marsan biasa berkeliling menghibur masyarakat dengan grup pengiringnya.

1. Bukan sekadar Gandrung hiburan

Sejarah Gandrung dan Kepahlawanan Pribumi Banyuwangi Melawan PenjajahGandrung Banyuwangi. (Facebook/ banjoewangie tempoe doeloe)

Budayawan Banyuwangi, Eko Budi Setianto, mengatakan bahwa yang dilakukan Marsan bukanlah sekadar kegiatan hiburan semata. Ada sebuah misi di balik aksinya keliling desa tersebut. Rupanya, Marsan bermaksud untuk mengumpulkan kekuatan.

"Pertunjukan Marsan bukan sekedar untuk mengisi perut layaknya pengamen. Dia melainkan mengkonsolidasikan sisa-sisa rakyat Kerajaan Blambangan usai perang Puputan Bayu pada tahun 1767," kata Budi, Kamis (10/11/2022).

Berdasarkan sejarah, kala itu rakyat Blambangan Banyuwangi bertempur mati-matian untuk mengusir pasukan Belanda. Disitulah banyak pribumi yang mati karena peluru penjajah. Menurut cerita yang beredar, jumlah rakyat yang jadi korban bahkan mencapai 60 ribu jiwa.

Dalam jurnal C. Lekerkerker, setelah perang Puputan Bayu 11 Oktober 1772, sebanyak 2.505 pribumi Banyuwangi menjadi tawanan. Banyak golongan pria dieksekusi, sedangkan wanita dan anak-anak dibuang ke Madura sebagai hasil perang.

"Sedang sisanya yang tinggal, sekitar lima ribu jiwa hidup telantar tercerai berai dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan," kata Budi.

Budi menyebut, pribumi yang selamat mayoritas terdiri dari para wanita yang kehilangan suaminya dan anak-anak. Banyak juga yang melarikan diri ke Bali, Mataram bahkan Madura.

"Di sinilah peran penting Gandrung Marsan. Dia berkeliling ke desa-desa yang ditempati sisa-sisa rakyat Blambangan. Bermaksud menghimpun kembali kekuatan pribumi," ungkapnya.

Selama berkeliling, Marsan akan mendapatkan imbalan berupa beras dan hasil bumi lainnya. Imbalan tersebut kemudian akan didistribusikan kepada rakyat yang sedang dalam persembunyian dan membutuhkan.

Baca Juga: Kembali Bersandar, Kapal MV Silver Discover Disambut Tari Gandrung

2. Syair gending Gandrung berisi pesan rahasia

Sejarah Gandrung dan Kepahlawanan Pribumi Banyuwangi Melawan PenjajahWanita Banyuwangi di era penjajahan Belanda. (Facebook/ banjoewangie tempoe doeloe)

Selain sebagai upaya konsolidasi, Marsan melalui tarian Gandrung juga menyelipkan pesan tersembunyi, yakni dengan perantara lagu-lagu atau Gending Osing yang dilantunkan. Di antaranya Gending Osing yang berjudul Podo Nonton, Seblang Lukinto dan Kembang Pepe. Tiga Gending itulah yang hingga saat ini digunakan sebagai lagu baku pengiring tari Gandrung. Tiga gending atau tembang itu syarat dengan arti perjuangan. Gandrung pada masa itu menjadi intelejen pergerakan dan mengenal titik lemah musuh.

"Saat itu Gandrung masih semacam kegiatan ngamen. Keliling ke desa hingga ke benteng penjajah. Jadi informasi terkait kelemahan Belanda masa itu, Gandrung memberikan informasi. Kemudian perlawanan gerilya pun terjadi setelah adanya info dari penari Gandrung masa itu," kata Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Choliqul Ridho.

Ridho menjelaskan, Gending Podo Nonton mengandung syair yang berisi pesan perjuangan rakyat Blambangan. Setiap syair memiliki peran tersirat yang hanya dipahami oleh para pejuang Kerajaan Blambangan. Sementara di mata Belanda, itu hanyalah bermakna kesenian semata.

Hingga suatu ketika, tiba waktu pribumi untuk melakukan perlawanan sesuai jadwal yang sudah dilantunkan melalui gending-gending Using bersama pertunjukan Gandrung. Waktu, tempat dan semuanya sudah diatur melalui pesan dalam gending.

"Tari Gandrung dipentaskan bersama dengan pertunjukan Barong untuk membuat tentara Belanda lengah. Mereka dibuat larut lewat tarian dan suguhan minuman-minuman keras. Di saat itulah, tentara-tentara Belanda diserang," pungkasnya.

3. Islam masuk, lahirlah Gandrung feminim

Sejarah Gandrung dan Kepahlawanan Pribumi Banyuwangi Melawan PenjajahGandrung Banyuwangi. (dokumentasi Pemkab Banyuwangi)

Seiring masuknya ajaran Islam di Banyuwangi, penari Gandrung laki-laki secara bertahap mulai berkurang sejak tahun 1894. Hingga puncaknya pada tahun 1904 Gandrung laki-laki benar-benar sudah hilang.

Lenyapnya keterlibatan laki-laki dalam tarian Gandrung ini karena sudah digantikan oleh perempuan. Dalam sejarahnya, penari Gandrung perempuan pertama di Banyuwangi adalah Semi. Ceritanya, di tahun 1895, Semi telah sembuh dari penyakit kronis.

Konon, Semi adalah seorang penari Seblang yang merupakan tarian magis bentuk ritual adat suku Using. 

"Tampilnya Semi sebagai seorang penari gandrung wanita pertama, sekaligus merupakan akhir dari era gandrung lanang, dengan penari terakhirnya bernama Marsan," ungkapnya.

Sejak saat itulah, kesan heroik dari seorang penari Gandrung perlahan memudar. Gandrung kemudian dikenali sebagai sebuah kesenian estetik yang indentik dengan feminisme. Cantik dengan gerakan indah.

"Ajaran islam mulai masuk dan muncul tekanan-tekanan tampilan laki-laki yang menyerupai perempuan. Itu yang kemudian menjadikan gandrung laki-laki perlahan berkurang dan pada akhirnya lenyap," jelasnya.

Baca Juga: 6 Sanggar Tari di Banyuwangi, Tempat Belajar Menari Gandrung

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya