ilustrasi bullying (IDN Times/Aditya Pratama)
Fuji juga mengatakan jika bisa jadi anak yang menjadi pelaku bullying tidak sadar dirinya telah melakukan perundungan. Sehingga si pelaku harus langsung dikonfirmasi apakah ia melakukan perundungan atau tidak. Kemudian pihak sekolah juga memiliki peran signifikan kepada pelaku ataupun korban.
"Kalau bercandanya dengan melakukan pemukulan berkali-kali apakah itu bisa disebut bercanda? Kan tidak. Jadi yang harus dilakukan sekolah adalah mengidentifikasi masalah anak tersebut sejak awal. Sehingga penting selain melakukan identifikasi akademik, perlu dilakukan identifikasi terhadap masalah anak," ucapnya.
Fuji kembali menegaskan kalau kadang-kadang pelaku bullying adalah anak-anak yang pernah mendapat perlakuan bullying. Kemudian ia melakukan pelampiasan pada orang lain, atau ia memiliki masalah di rumah dan melampiaskannya pada teman-temannya di sekolah. Karena anak-anak pelaku bullying ini biasanya memiliki masalah pada psikologis.
Sehingga menurutnya sekolah harus mengidentifikasi di satu angkatan ini ada berapa anak yang memiliki masalah tertentu. Kemudian diidentifikasi potensi ke arah bully seberapa besar. Dengan ini sekolah bisa melakukan preventif terhadap potensi kasus bullying daripada menangani saat bullying telah terjadi.
"Ini adalah tugas guru Bimbingan Konseling (BK) untuk membuat kurikulum terkait apa yang harus dilakukan atau program apa yang dilakukan untuk memberantas bullying. Jadi based on dasar masalah, bukan setelah kejadian baru ke BK," tutupnya.