TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tradisi Dongeng di Banyuwangi Nyaris Punah

Anak-anak sekarang jarang yang menyukai cerita legenda

Ilustrasi mendongeng. (pinterest.com)

Banyuwangi, IDN Times - Setiap tanggal 20 Maret, Hari Dongeng Internasional diperingati. Awalnya, peringatan ini berasal dari tradisi orang Swedia yang memperingati Hari Semua Pendongeng atau 'Alla berattares dag'. Tradisi ini dimulai pada tahun 1991.

Pada tahun 1997, Australia merayakan Hari Dongeng selama 5 minggu, sementara Meksiko dan beberapa negara Amerika Latin lainnya merayakan Hari Dongeng Nasional mereka sendiri. Di Indonesia sendiri, peringatan Hari Dongeng dimulai pada tanggal 28 November 2015.

Namun faktanya, cukup sulit untuk mempertahankan eksistensi dongeng di Nusantara saat ini. Selain cerita-cerita dongeng tak lagi diminati oleh anak-anak, profesi pendongeng lah yang sekarang kian minim ditemui. Mungkin hanya segelintir saja yang masih ada. 

Penelusuran IDN Times di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tradisi dongeng ini bahkan nyaris punah. Bocah-bocah di Banyuwangi saat ini hampir tidak ada yang menyukai dongeng karena orangtua sudah membudayakan teknologi sejak dini. Balita yang masih berusia 3 tahun pun sekarang sudah mahir mengoperasikan android untuk mencari konten-konten buatan manusia. Dongeng, tak lagi menarik saat ini.

Baca Juga: Lawan Kecanduan Gadget, Komunitas Minta Dongeng Dimasukkan Kurikulum

1. Dongeng tak lagi disukai, anak-anak pilih kisah fantasi dan cerita misteri

Ilustrasi dongeng anak-anak desa. (pinterest.com/ Oud Indie New)

Di Banyuwangi, ada sebuah komunitas bernama Remaja Kampung. Komunitas ini bergerak di bidang seni dan sosial. Komunitas ini terlibat aktif untuk mengajarkan seni kepada siswa-siswi Sekolah Dasar secara gratis diluar jam sekolah. Selain itu, komunitas ini juga terkadang masih mencoba untuk melestarikan tradisi mendongeng. Ini biasa di lakukan di hari Sabtu malam.

"Menggambar, mewarnai, musik, dongeng, interaksi, kita biasa ajarkan itu kepada anak-anak kecil disini. Bukan untuk job atau profesi sih. Ini hanya wujud pelampiasan hasrat bersosial teman-teman komunitas ini," ungkap Andri Dwi, salah satu anggota komunitas tersebut, Minggu (19/3/2023). 

Diakuinya, bahwa dongeng saat ini sudah tidak begitu disukai oleh anak-anak. Daripada dongeng, anak-anak saat ini lebih menyukai cerita-cerita dengan unsur mistis dengan alur horor. Sejarah atau legenda menurut Andri, sudah tak lagi diminati anak usia dini.

"Dongeng timun emas, si kancil dan lainya malah gak ada yang mendengarkan. Baru kalau diceritakan hantu-hantu atau cerita fiksi soal pahlawan mereka suka. Kalau anak seusia dini diberi cerita mistis, mental mereka malah rusak nantinya. Lebih parah lagi yang kelas lima enam SD, malah lebih suka cerita soal artis Korea," keluh Andri.

2. Pendongeng dituntut kreatif, tidak hanya hafalan cerita klasik berdasarkan pakem

Ilustrasi mendongeng menggunakan media wayang kulit. (pinterest.com/ PeKaa)

Seorang maestro dalang asal Banyuwangi, Ki Asmoro Sampir memiliki ceritanya tersendiri soal dongeng. Sejak muda, dia sudah akrab dengan dunia dongeng dan anak-anak. Namun di usianya yang 70 tahun saat ini, dia sudah tak lagi seaktif dulu mengkaryakan dongeng anak. Ki Asmoro Sampir, mengaku punya cara sendiri bagaimana anak-anak bisa duduk tenang dan hanyut dalam mendengarkan dongeng. Menurutnya, pendongeng harus bisa memanipulasi atau kreatif dalam bercerita. 

"Anak sekarang itu kalau disajikan cerita biasa mereka cenderung bosan. Maka harus dipoles, dibumbui. Dongeng itu bisa diciptakan, yang penting adalah nilai dan moral yang bisa dipetik oleh anak," ungkapnya.

Dulu, pada awal tahun 2000 Ki Asmoro Sampir bisa dibilang cukup aktif dalam mendongeng. Bahkan dia sempat diminta untuk mengajarkan ilmu Bahasa Jawa dan "Kaweruh Jawa" di sekolah. Saat itu dia punya segudang cerita pewayangan yang sudah dimodifikasinya dengan kehidupan untuk memotivasi anak-anak. Karakter andalan yang kerap digunakan dalam dongengnya adalah kelompok Punokawan. Yakni karakter pewayangan versi Jawa yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.

"Punokawan ini kan karakter ciptaan orang Jawa, berbeda dengan cerita wayang versi Mahabarata. Cerita-cerita tentang mereka bisa dibuat, dipoles untuk dapat diambil petuah dan motivasinya bagi anak-anak," ungkapnya.

Dia menilai, selain teknologi, faktor yang membuat anak-anak tidak berminat dengan kisah dongeng adalah karena dongeng itu sendiri. Menurutnya, para pendongeng lebih sering mengambil kisah-kisah yang mainstream. Dengan nalar anak zaman sekarang, mereka akan menolak tentang hal-hal yang tidak relevan.

"Beberapa cerita dongeng klasik mungkin bagi anak-anak secara makro tidak lagi relevan. Anak lebih suka dengan cerita-cerita yang lebih terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari dan pengalaman yang mereka alami. Pendongeng harus meneliti dulu dan membuat cerita baru," ungkapnya.

Baca Juga: Dongeng Menjadi Jembatan Ajaran Sastra Agama Untuk Anak

Verified Writer

Agung Sedana

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya