Kari Kambing Surabaya, Cerita Para Penjaga Rasa

Surabaya, IDN Times - Surabaya adalah surga bagi pencinta olahan daging kambing. Deretan restoran hingga warung kaki lima siap memanjakan lidah para penikmatnya. Dari sekian banyak sajian kuliner kambing yang ada, Kari Kambing menjadi yang teramat spesial. Beda dengan gulai dengan kuah santan yang gurih dan kental, kari kambing memiliki kuah lebih ringan namun tetap gurih. Rasa itu muncul dari perpaduan rempah yang kuat dan aroma daun kari sebagai pembeda.
Sudah begitu, penjualnya pun kian jarang. Mereka yang berjumlah sedikit itu pun tak sekadar menjajakan makanan. Para pedagang bekerja keras menjaga warisan sembari menawarkan nostalgia.

Setelah kian dikenal, Hajah Sani pun memilih berjualan secara menetap di sebuah tenda kaki lima di daerah Jalan Semarang, Surabaya. Kondisi ini ia jalani puluhan tahun sebelum, Cak Adek yang menjadi penerus memutuskan membuka cabang di Jalan Semarang No.146. Ia khawatir suatu hari nanti, kedai pertamanya itu akan digusur. ‘’Karena letaknya ada di trotoar, takutnya ada pelebaran jalan.’’
Upayanya menyelamatkan usaha warisan sang ibu tak cuma menyelamatkan fisik warungnya, Cak Adek mengaku terus menjaga resep turun-temurun yang ia miliki. Tanpa ada bumbu rahasia, ia percaya kunci kelezatan terletak pada kesetiaan menjaga resep asli. Daging kambing yang diolah sendiri langsung dari rumah potong hewan, dimanfaatkan seluruh bagiannya, kecuali kaki. “Semua bagian tubuh kambing dipakai, mulai dari otak, mata, jeroan, semuanya bahkan jadi favorit dan cepat habis. Istilahnya kalau dalam bahasa Jawa prei kandang,” tambahnya.
Hal-hal inilah yang ia yakini membuat para pelanggannya, bahkan yang sudah puluhan tahun tak mau berpaling. “Pelanggan saya ada dari semua kalangan, dari yang biasa saja, menengah, hingga menengah atas ada. Sering juga ada pesanan dari kantor untuk makan bersama,” cerita Cak Adek. Dalam sehari, kata dia, warung ini bisa menjual hingga 400 porsi kari dengan harga Rp22 ribu per porsi. Cak Adek mengaku bisa mencatatkan omzet mingguan hingga Rp12 juta.

Salah satu yang masih menyajikan menu Kari Kambing di Surabaya adalah Warung Hajah Sani. Warung yang terletak di Jalan Semarang No.146 Kota Surabaya ini sudah berdiri sejak 1960an. Pemiliknya saat ini, Sunardi, atau kerap disapa Cak Adek, adalah generasi ketiga. Pria 45 tahun ini sebenarnya adalah putra dari Hajah Sani. Namun, warung ini didirikan oleh orangtua dari Hajah Sani.
‘’Dulu yang membuat itu Mbah saya di Gresik. Tetapi kemudian dilanjutkan oleh ibu dan dibawa ke Surabaya,’’ kata Cak Adek, kepada IDN Times, Selasa (11/3/2025).
Orang saat ini mungkin melihat warungnya tak pernah sepi pembeli. Tapi, di balik rasa autentik Kari Kambing miliknya ada lika-liku cerita. Bahkan, kata Cak Adek, sang ibu mulanya merantau ke Surabaya untuk menjajakan Kari Kambing keliling. ‘’Jadi awalnya jualan dengan dipikul,’’ ujarnya.

Setali tiga uang, perjuangan mempertahankan rasa autentik Kari Kambing legendaris juga dilakukan sepasang suami istri, Wito dan Hardik. Keduanya menjalankan usaha warung kari kambing legendaris di daerah Petemon, Surabaya. Bedanya, jika Warung Hajah Sani adalah warisan dari orangtua, kedai ini mereka rintis dari awal.
Jika mengingat kali awal menjalankan usaha, Hardik hanya bisa tersenyum dan menerawang jauh ke tahun 2004. Berbekal resep dari sang ibu serta keahlian memasak yang ia miliki, mulanya mereka harus mendorong gerobak menyusuri daerah Pacuan Kuda hingga Jalan Arjuno. ‘’Dulu tidak semudah sekarang yang sudah ada tempatnya. Dulu kami keliling. Alhamdulillah kok ternyata banyak yang suka, katanya kok kari kambingnya lebih enak,” kenang perempuan berusia 47 tahun itu.
Kini, warungnya yang bertempat di Jalan Petemon II, Surabaya tersebut jadi langganan warga dari warga Surabaya dan sekitarnya. Hardik dan Wito biasanya membuka warung mereka mulai pukul 8 pagi. Kurang dari 10 menit sejak dibuka, pengunjung sudah akan memadati warung tersebut.
“Semua pelanggan kami layani. Cepat sekali habisnya. Kadang ada yang beli kuahnya saja banyak, saya sih tidak mempermasalahkan. Dalam dua jam saja biasanya sudah ludes,’’ ujar Hardik.
Warung Kari Kambing Cak Wito bahkan punya julukan unik, yakni Kari Kambing Lansia. Bukan tanpa alasan. Setiap hari, pelanggan yang datang kebanyakan merupakan para warga Lansia atau Lanjut Usia. Kata Hardik, daging yang empuk dan tidak berbau jadi alasan utama mereka menggemarinya. Ia mendapatkan cita rasa daging tersebut dengan cara memisahkan lemak dari daging. Lalu, sebelum direbus selama tiga jam, daging dan isian kambing akan digoreng terlebih dahulu.
“Pintar-pintarnya saja gimana ketika memilih dan membersihkan daging. Semua bagian tubuh kambing dipakai. Bahkan kepalanya ini yang jadi favorit orang-orang. Otak kambing itu yang paling cepet habis,” ucapnya.
Kunci lain adalah sedikit sentuhan daun kari untuk menghilangkan rasa apek. “Bumbunya ya biasa saja, bawang merah, bawang putih, cabai. Kalau mau lebih enak, saya kasih daun kari atau daun korokeling,” tambahnya.

Di antara para pelanggan setia, ada satu sosok yang tak pernah absen. Dialah Sugiyono, atau akrab disapa Mbah Sugi. Di usianya yang menginjak 69 tahun, hampir setiap hari, Mbah Sugi datang kemari setiap pagi. Tepat pukul 8 pagi, ia akan menaiki sepeda dari rumahnya menuju warung Cak Wito dan memesan semangkuk kari kambing, sesekali dengan tambahan otak kambing sebelum habis dibeli pelanggan yang lain.
“Saya suka kari di sini tidak bau kambing. Orang-orang juga suka, makanya selalu ramai,” ujarnya sambil menikmati seporsi kari kambing.

Bukan sekadar kebiasaan, apa yang sudah ia lakukan bertahun-tahun itu juga Mbah Sugi lakukan juga untuk menjaga kondisi tubuhnya. Mbah Sugi mengaku sebagai pendonor darah aktif. Setidaknya, setiap 3 atau 4 bulan sekali ia akan menyumbangkan darahnya. Dia meyakini bahwa mengonsumsi kari kambing akan membuatnya memiliki stamina lebih dan baik untuk kesehatan darahnya.
Keinginannya sederhana, ia hanya ingin menikmati hidupnya kini dengan hal yang ia suka, sesederhana dengan duduk di meja warung Kari Kambing Cak Wito, menikmati seporsi kari kambing yang rasanya tak pernah berubah. “Kalau sudah di umur segini, semua saya niatkan untuk ibadah. Selama saya masih bisa melihat pagi setiap hari, saya akan ke sini,” ucapnya.