Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Wacana PPN Sembako hingga Pendidikan, Pakar Ekonomi Beri Alternatifnya

Ilustrasi pasar tradisional. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww)

Surabaya, IDN Times - Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ke sembako, pendidikan hingga biaya kelahiran. Wacana ini pun membuat publik resah. Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Dr. Wisnu Wibowo turut angkat bicara.

1. Boleh jadi objek pajak tapi jangan dikenakan tarif pajak

Ilustrasi toko sembako (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Kepala Prodi Magister Ilmu Ekonomi Unair ini menegaskan kalau tidak setuju apabila objek PPN diberlakukan ke sembako hingga pendidikan. Kalau pun kebijakan ini dipaksakan ke dalam kerangka pembaharuan perpajakan, dia menyarankan supaya dimasukkan ke sektor-sektor yang dikecualikan saja.

"Dia tetap jadi objek pajak tapi tetap dikecualikan diberikan pajak nol persen. Dalam konteks administrasi perpajakannya itu masuk dalam salah satu bentuk objek pajak. Namun tidak dikenai tarif pajak," ujarnya saat ditelepon IDN Times, Senin (14/6/2021) malam.

Intinya, lanjut Wisnu, secara ekonomi tidak akan ada dampak pengaruh perpajakan itu terhadap peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul dalam menjamin kebutuhan dasar masyarakat.

2. Apabila dikenakan tarif pajak maka akan memperburuk ekonomi

BPS RI 2018- TW I 2020, warna merah perkiraan

Jika nantinya PPN sembako masuk objek pajak dan dikenakan tarif pajak meski pun hanya 0,5 persen atau satu persen, Wisnu menilai hal tersebut bertentangan dengan rasa keadilan. Kemudian justru akan memberikan sentimen negatif terhadap perbaikan ekonomi.

"Sehingga dampaknya secara ekonomi tidak akan berdampak atau malah merugikan," tegas dia.

"Karena kepatuhan terhadap pajak juga dipengaruhi oleh pemenuhan rasa keadilan. Kalau PPN akhirnya yang dikenakan pajak ini masyarakat yang konsumsi barang atau jasa itu," dia menambahkan.

3. Harusnya pemerintah tingkatkan konsumsi dan investasi untuk geliatkan ekonomi

Ilustrasi pengunjung pasar memakai masker. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Apabila pemerintah ingin menggenjot ekonomi, Wisnu berpandangan bahwa pemberlakuan PPN terhadap kebutuhan pokok bukanlah solusi. Karena secara konsep, menggerakan perekonomian ada dua cara yaitu dengan konsumsi dan investasi.

"Kalau mengandalkan anggaran pemerintah itu terbatas apalagi situasi fiskal seperti ini. Kemampuan pemerintah untuk terus membiayai pengeluaran semakin lama semakin berkurang," ungkapnya.

Oleh karena itu yang harus dilakukan yakni dengan memanfaatkan potensi daya beli kelompok menengah ke atas. Dia meyakini, mereka-mereka sebenarnya punya uang. Tapi menahan uangnya karena melihat ada potensi keuntungan dari cara lain.

"Misalnya berkembangknya crypto, e-wallet dan seterusnya. Kemudian instrumen yang ada di pasar modal, ada surat berharga itu dianggap menguntungkan, mereka menahan untuk dialihkan ke aktivitas investasi yang sebenarnya tidak berkaitan dengan sektor ril," bebernya.

Terbukti, pertumbuhan kredit perbankan masih sangat kecil. Hanya sekitar 3,5-4 persen. Dari situlah harusnya mengoptimalkan ke daya beli ril untuk melakukan transaksi. PPN harusnya dikurangi. Seperti yang diterapkan sekarang pajak pertambahan barang mewah untuk mobil diperpanjang kemudian properti juga harus perpanjang.

Kemudian dari sisi investasi, pemerintah masih belum bisa mengurai. Seperti halnya suku bunga diturunkan tapi penyaluran kredit perbankan masih relatif terbatas. Ini berpengaruh ke optimisme pelaku usaha. "Kuncinya ada di situ, kalau konsumsi dan investasi oke, ekonomi bisa lancar," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Zumrotul Abidin
EditorZumrotul Abidin
Follow Us