Pasar Dari, Oleh dan Untuk Rakyat: Diciptakan Sendiri, Dikelola Anak Negeri

Fenomena munculnya pasar tematik di tengah krisis

Surabaya, IDN Times – “Parkir-parkir-parkir-parkir…”. Teriakan itu saling bersahutan seolah menawari kendaraan bermotor yang melintas di kawasan Lidah Wetan Gang XI, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, Sabtu (24/2/2024) sore itu. Pemandangan yang tak biasa, karena tetiba menjamur tempat parkir di sepanjang jalan selebar enam meter ini.

Para juru parkir tampak cekatan mengarahkan kendaraan yang mayoritas sepeda motor untuk masuk ke lahan-lahan kosong yang telah disediakan. Setelah memarkir sepeda motornya, mereka yang datang berpasangan, maupun sendirian kompak berjalan kaki searah. Menuju gang yang lebih sempit. Yang juga di pinggir jalan gang Lidah Wetan.

Belum masuk ke gang, telah bergerombol banyak orang. Ternyata mereka sedang mengantre. Secara sabar dan bergiliran, mereka menukarkan uang tunai menjadi kepingan kayu. Satu keping kayu itu senilai Rp2 ribu. Nantinya kepingan kayu itu dipakai untuk bertransaksi di pasar dadakan yang ada di balik gang sempit itu.

Pintu masuk gang terdapat gapura bertuliskan Pasar Lidah Ndonowati. Nuansa jadul sangat terasa ketika melangkahkan kaki masuk ke batas gapura. Bagi yang datang, mereka bakal lupa kalau sedang di Surabaya. Kota metropolitan yang identik dengan pohon-pohon beton, orkes jahanam perpaduan mesin dan umpatan. Semua sirna di pasar ini. Tembang jawa “Nyidam Sari” mengiringi keriuhan pengunjung yang asyik memilih makanan, minuman, mainan hingga kerajinan tangan.

Pasar ini berdiri di lahan yang cukup luas. Ukurannya 30 x 80 meter. Di sana berjajar 35 gerai yang terbuat dari gubuk kayu. Tiap gerainya seluas 1,5 x 2 meter. Sementara di tengah ada kursi dan meja yang terbuat dari bambu. Banyak pohon yang dibiarkan tetap tumbuh. Tidak ditebas. Ada pohon mangga maupun pohon pisang yang membuat suasana kian asri.

Pasar Lidah Ndonowati berdiri di atas lahan terbatas dengan biaya patungan

Pasar Dari, Oleh dan Untuk Rakyat: Diciptakan Sendiri, Dikelola Anak NegeriPara pengunjung yang menikmati Pasar Lidah Ndonowati. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Di sudut pasar tampak seorang pria yang sedang mengamati ramainya pengunjung. Sesekali, ia mengecek catatan kecil yang dibawanya. Pakaiannya yang sederhana—berkaus lengan panjang dan celana training—tak melihatkan bahwa dialah orang penting di pasar ini. Dia adalah Budi Kiswono. Pria asli Lidah Wetan yang merupakan satu dari tujuh orang pendiri Pasar Lidah Ndonowati.

Pasar ini digagas oleh Budi karena jengah melihat kondisi perekonomian di kawasan rumahnya. Banyak tetangga sekitarnya yang mengeluh akan pekerjaannya. Begitu juga yang berdagang, banyak dari mereka yang lesu. Di satu sisi, ada lahan bekas penyimpanan batu kumbung yang tidak dipakai. Dari sinilah, ia melirik peluang emas.

"Banyak orang gak kerja, ekonomi di sini juga agak turun, kita ada tujuh orang menggagas bagaimana caranya bikin suatu tempat yang bisa menghasilkan uang tapi kita tidak mengasih uang ke orang," ujarnya kepada IDN Times. Sejumlah usulan pun didiskusikan. Alhasil disepakati untuk membuat pasar dengan konsep jadul atau tempo dulu.

Tak menunggu waktu lama, pasar jadul ini mulai dikerjakan pada November 2023. Hanya butuh waktu tak kurang dari satu bulan, Budi dan enam temannya mampu mendirikan tempat perekenomian baru yang dinamai Pasar Lidah Ndonowati. Nama yang diambil dari sejarah panjang daerah tempatnya lahir. Dulu kawasan ini memang bernama Lidah Ndonowati, sebelum akhirnya dipecah menjadi Lidah Wetan dan Lidah Kulon.

Terlepas dari itu semua, Budi bersama enam temannya benar-benar mewujudkan pasar secara swadaya. Menggunakan uang pribadinya masing-masing, meski belum tahu pasarnya ini nanti akan diminati atau tidak. "Tujuh orang ini swadaya, tidak ada bantuan sama sekali. Kita bikin tempat dulu. Ketika sudah jadi, kita tawarkan ke warga sekitar untuk berjualan di sini," kata dia.

Tim pendiri pasar mematok target ada sebanyak 30 pedagang yang berjualan. Akan tetapi warga setempat masih ragu untuk jualan di pasar tersebut. Budi mengaku melakukan sosialisasi dari rumah ke rumah sampai tiga kali. "Dari pertama kita menargetkan 30 orang, yang mau cuman 10 orang saja yang jualan. Terus kita coba dengan simulasi video, kita share, bertambah total 21 orang," ungkap Budi.

Bersama 21 pedagang yang mau untuk berjualan, Budi yang mempunyai jiwa Bonek—Bondo dan Nekat- pun tetap membuka Pasar Lidah Ndonowati pada Sabtu (16/12/2023). Saat pembukaan, ia mengundang Camat Lakarsantri dan Lurah Lidah Wetan Surabaya. Ternyata pembukaan berlangsung meriah. Pengunjung yang datang juga membludak.

"Alhamdulillah ramai, yang ditawari sebelumnya akhirnya sekarang ikut jualan. Sampai saat ini sudah ada 35 pedagang di sini dan masih ada antre yang mau jualan. Tapi memang stannya belum tersedia lagi," terang Budi.

Baca Juga: Makna Sakral Coblosan di Rabu Legi Menurut Keyakinan Jawa 

Aneka makanan tradisional dan kerajinan tangan dengan kemasan ramah lingkungan

Pasar Dari, Oleh dan Untuk Rakyat: Diciptakan Sendiri, Dikelola Anak NegeriKerajinan tangan yang dijual di Pasar Lidah Ndonowati. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Para pedagang di Pasar Ndonowati ini mayoritas memang berjualan makanan dan minuman. Menariknya, mereka tidak menjual menu yang sama. Ada gulali, puli, cenil, klanting, klepon, gethuk, wingko, kue thok, kucur, pilus, martabak usus, nasi bakar, nasi pecel, nasi rames, soto ayam lontong kikil, nasi bakar, nasi gudeg, mainan anak-anak hingga kerajinan tangan abrak-abrak dari anyaman bambu dan kayu.

"Jualannya harus berkonsep jadul, setiap pedagang tidak boleh jualannya sama. Harga jualnya tidak boleh terlalu mahal, porsinya tidak boleh terlalu banyak, sedikit tapi bisa merasakan semua,” terang Budi.

Para pedagang tidak perlu membayar uang sewa untuk bisa berjualan di pasar yang didirikan oleh Budi beserta enam temannya ini. Ia mematok sistem bagi hasil untuk biaya operasional ketika pasar ini dibuka. Nah, Pasar Lidah Ndonowati ini hanya buka pada akhir pekan. Hari Sabtu pukul 15.00 – 22.00 WIB, sedangkan Minggu pukul 06.00 – 12.00 WIB. Dua hari ini dipilih supaya masyarakat tidak bosan, bahkan rindu menantikan pasar ini buka.

Untuk menjalankan operasional pasar, Budi hanya memotong lima persen hasil penjualan para pedagang. "Hanya lima persen, itu untuk biaya operasional saja. Operasional ini mulai dari bayar listrik, listrik kan ikut rumah saya. Kemudian kasih uang konsumsi, karena jujur saja, tim tidak ada gajinya. Hanya setiap gelar dikasih uang konsumsi Rp10 ribu untuk jajan di pasar," jelasnya.

Meski tak digaji, Budi memastikan tetap memberi perhatian kepada para pedagang. Mereka tidak dilepas begitu saja. Jika ada yang mengeluh dagangannya sepi, maka akan dianalisis bersama penyebabnya. Nanti akan dicari solusinya supaya bisa menggenjot penghasilannya. 'Nanti kita evaluasi yang sepi, misal makanan kurang enak, ada tim bagian memperbaiki rasa," kata dia.

Selain itu, para pedagang di Pasar Lidah Ndonowati dilarang menggunakan plastik termasuk tas kresek. Mangkok, piring maupun gelas yang dipakai serba ramah lingkungan. Ada yang memakai mangkok bathok kelapa, ada yang menggunakan piring daun pisang hingga gelas dari bambu. “Kami memang sejak awal komitmen tidak menggunakan plastik, semuanya memang dikonsep serba alami dan nuansa tempo dulu,” kata Budi.

Konsep inilah, kata Budi, yang sejauh ini sangat digandrungi oleh para pengunjung yang datang. Ia berharap semua terjaga. Sehingga ekonomi kerakyatan yang digagasnya ini tidak menjadi tren sesaat. "Karena pedagang yang gelar sudah merasakan manfaatnya, meski hanya gelar dua hari saja, hasilnya bisa dipakai untuk satu minggu, ada yang biasa jual keliling karena ada ini cukup buka lapak dua hari saja. Bahkan suruh libur juga gak mau," ungkapnya.

Budi sendiri mengaku bahwa model ekonomi kerakyatan dengan membuat pasar tematik seperti ini bukanlah barang baru. Ia sebelumnya juga pernah mampir untuk berkunjung ke Pasar Keramat di kawasan Pacet, Mojokerto.

Pasar Keramat muncul di lahan eks pembuangan sampah, didirikan guru SD dengan biaya tabungan pribadinya

Pasar Dari, Oleh dan Untuk Rakyat: Diciptakan Sendiri, Dikelola Anak NegeriSuasana di Pasar Keramat Pacet Mojokerto. Dok. Official Pasar Keramat.

Kisah pasar tematik yang mengusung misi ekonomi kerakyatan juga datang dari kawasan Pacet, Mojokerto. Penggagasnya ialah seorang guru Sekolah Dasar (SD) Budiharjo, Ia mampu menyulap lahan terbengkalai yang dianggap angker menjadi sebuah pasar. Kini, pasar tersebut menampung ratusan pedagang desa setempat.

Suara musik terdengar sayup dari balik barongan—kebun bambu- di kawasan Kramajetak, Dusun Pong Boto, Warugunung, Kecamatan Pacet, Mojokerto. Ternyata di dalamnya ada seni pertunjukan musik lengkap dengan lapak jualan. Nah, tempat inilah yang didirikan oleh Budiharjo. Namanya, Pasar Keramat.

Konsep Pasar Keramat ini sudah muncul jauh hari di benak Budi—panggilan karib Budiharjo-. Dulu, sekitar tahun 2016, Budi yang sedang bersantai sembari menonton televisi menampilkan sebuah pasar tematik yang menonjolkan nuansa tempo dulu dipadukan seni dan budaya. Pasar itu ada di Temanggung, Jawa Tengah.

Namun, ketika itu Budi belum tahu angan-angannya diaplikasikan di mana. Pria yang juga pegiat seni itu pun pulang ke kampung halamannya di Kramajetak. Tiba-tiba ada tetangganya yang pinjam uang untuk biaya sekolah anaknya. Nah, kebetulan Budi sendiri tidak sedang memegang uang yang cukup.

Dari sinilah, Budi mengetahui kalau di kampung halamannya banyak masyarakat yang ekonominya susah. Padahal, desanya tak jauh dari area wisata Pacet, Mojokerto. Tak mau tinggal diam, Budi mulai survei lokasi untuk mewujudkan angan-angannya pada tahun 2016 lalu. Ia melirik satu lahan tempat yang lama tidak dipakai pada tahun 2022. Tempat itu sangat kotor, dianggap angker serta dibuat untuk pembuangan sampah, padahal di dekat situ ada situs purbakalanya.

"Saya jatuh cinta dengan tempat tersebut ketika tahu ada situs purbakalanya," kata Budi kepada IDN Times. "Tapi waktu itu, 1,3 hektare luasnya itu penuh dengan sampah, hampir tiap tahun warga sekitar kena demam berdarah akibat timbunan sampah di situ," ungkap Budi menambahkan.

Budi mengajak teman-temannya untuk mengelola lahan tersebut. Ia sempat dicap orang gila oleh sekitar karena mau mengelola lahan yang dianggap angker itu. banyak yang meragukannya waktu itu, mengingat depan rumah Budi sendiri sedang rusak. “Mau roboh depan rumah saya, tapi saya memilih untuk mengelola lahan yang waktu itu dianggap tidak jelas, bahkan biaya renovasi rumah saya pakai untuk membuat pasar ini,” katanya.

Usaha memang tak menghianati hasil, Budi akhirnya dapat mewujudkan Pasar Keramat yang mempunyai arti mendalam, keramut ben manfaat (terawat biar manfaat). Pasar ini pertama kali dibuka pada 25 Desember 2022. Tantangan besar menghadang ketika pembukaan. Sebelum membuka, Budi sudah bergerak melakukan promosi besar-besaran. Via daring dan luring.

Tapi ternyata ketika persiapan sore hari, tepatnya 24 Desember 2022 turun hujan dengan intensitas deras. Nah, hujan ini tak kunjung reda. Hingga pagi hari yang merupakan hari pembukaan. “Yang percaya untuk berdagang hanya 32 orang, pedagangnya langsung bilang kalau gak habis buat bancakan saja. Mereka sudah pesimis pagi itu,” ungkap Budi.

"Pagi itu sepi, pedagang pucet. Teman saya yang ikut saya, yang mati-matian meyakinkan pedagang, gak berani ke pasar, karena lihat wajahnya pedagang itu pucet. Alhamdulillah sekitar jam 9 saya kembali ke pasar kok terang, setelahnya pengunjung membludak. Jam 10 dagangan habis," imbuh Budi menceritakan.

Kendati ramai, Budi tak mau membuka pasar ini setiap hari. Ia memilih buka pada hari tertentu saja. Yakni Minggu Kliwon dan Minggu Wage. Dua hari pasaran dalam sebulan ini dipilih untuk berbagi dengan destinasi wisata yang ada. "Karena kalau kita buka, wisata di atas seperti pemandian air di Pacet itu sepi, di samping itu juga dulu ada Pasar Kliwon di Pacet yang ramai, tapi sekarang sudah tidak ada. Saya kangen menghidupkan kliwonan itu lagi," kata dia.

"Kita juga menghindari Legi. Karena Legi ada itu ada Pasar Legi di Padan. Jadi Legian itu ramai-ramainya Pasar Legi, pasar hewan. Kita menghindari itu, biar tingkat keramaiannya terbagi. Jadi ketemunya Minggu Kliwon dan Minggu Wage," imbuh Budi.

Meski hanya buka di hari tertentu saja, Budi bersyukur Pasar Keramat tetap ramai dan diminati pengunjung. Pedagang yang ingin jualan pun terus bertambah. "Sekarang masih banyak daftar, kita gak cukup lokasinya karena sudah ada 100 lebih yang jualan. Di sini dagangannya gak boleh sama, ada kriterianya, makanan nusantara yang jadul dan tradisional. Terus sehat tanpa MSG atau pengawet, kita bagi ada dagangan telesan, garingan, nasi-nasian," terang dia.

Konsep yang dipertahankan ini membuat Pasar Keramat sampai sekarang tetap eksis. Pengunjungnya tidak hanya dari Mojokerto saja, tapi juga ada yang dari luar negeri. "Ada pengunjung dari New York (Amerika Serikat), Korea Selatan, Belanda. Turis-turis mancanegara itu ke sini berkat rekomendasi dari teman-teman pegiat wisata di Malang," beber Budi. Sementara pengunjung lokal yang mampir ialah mereka yang sekalian menikmati wisata di Pacet. "Ada dari Madura, Tuban, Bojonegoro, Kediri, Blitar, Nganjuk dan banyak lainnya," ucap dia.

Banyaknya pengunjung yang ke Pasar Keramat ini, Budi menatap optimistis bahwa ekonomi masyarakat akan naik kelas. Ia kini punya angan-angan agar homestay di sekitar lokasi juga turut bergeliat. Tak hanya itu saja, ekonomi kerakyatan juga harus diikuti dengan industri rumahan yang perlu dikembangkan. Ketika pasar tidak beroperasi, para pedagang ini tidak berdiam diri. Tapi bisa berjualan secara daring memanfaatkan marketplace yang ada.

"Ke depan diharapkan bisa menjadi desa wisata bernama Kampung Jawa, karena sudah ada sanggar tari dan musik. Jadi kalau pengin belajar kesenian tradisional ya di Keramajetak. Itu harapan saya," kata Budi.

Fenomena penciptaan pasar dari kegelisahan masyarakat

Pasar Dari, Oleh dan Untuk Rakyat: Diciptakan Sendiri, Dikelola Anak NegeriRamainya Pasar Lidah Ndonowati Surabaya. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Munculnya fenomena pasar tematik yang secara swadaya didirikan oleh masyarakat itu sendiri merupakan bentuk respons dari kondisi yang ada. Baik Pasar Lidah Ndonowati maupun Pasar Keramat, semua menitikberatkan pada permasalahan ekonomi. Sehingga terwujud pasar seperti yang ada sekarang ini.

Pasar Keramat yang berdiri lebih dulu memang muncul setelah badai pandemik COVID-19. Ketika ekonomi sedang ditata ulang, Budiharjo melirik peluang itu. Pasar tersebut masih ada hingga hari ini. Sementara Pasar Lidah Ndonowati muncul di tengah tahun politik. Tahun yang sulit. Banyak godaan untuk dipolitisasi, tapi Budi dan teman-temannya tetap tegak berdiri di atas pendiriannya untuk mengelola pasar ini secara mandiri.

Budiharjo dan Budi Kiswono bukanlah saudara. Kebetulan nama mereka sama, kebetulan juga punya inisiatif sama untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan. Pasar tematik yang mengusung konsep tempo dulu ini sangat membantu geliat ekonomi pedagang kelas bawah. Mereka yang jauh dari sokongan pemerintah di tengah sembako yang tak lagi murah.

Kekreatifan atau ide keratif itu muncul kerap untuk ekonomi. John Howkins dalam bukunya The Creative Economoy: How People Make Money From Ideas mengulas bagaimana ekonomi kreatif memposisikan dirinya di persimpangan ekonomi , inovasi, nilai sosial serta keberlanjutan. Singkatnya, ekonomi kreatif ini membahas hal-hal penting mengenai kebutuhan sosial dan budaya termasuk budaya representasi dan kohesi sosial.

Nah, dalam konsep Pasar Keramat dan Pasar Lidah Ndonowati ini, Ekonom Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Hendry Cahyono menerangkan kepada IDN Times bahwa keduanya merupakan wujud nyata ekonomi kreatif itu sendiri. Pasar ini mengkombinasikan pasar tradisional sebagai tempat transaksi tatap muka langsung dengan wisata nostalgia sejarah.

"Sekaligus menawarkan suasana yang tidak bisa didapatkan konsumen di e-commerce manapun," kata Hendry.

Jika dikaitkan dengan susahnya mencari pekerjaan di tengah harga kebutuhan pokok yang sedang naik signifikan, Hendry mengamini kalau munculnya pasar tematik merupakan salah satu solusi. "Pasar ini bisa saja menjadi alternatif munculnya tempat berusaha bagi wirausaha baru. Namun kegiatan pasar ini tidak regular, ada waktu tertentu pasar ini dibuka. Kalau dijadikan pekerjaan utama maka pendapatan yang dihasilkan akan relatif kecil. Economic of scale minim," katanya.

Supaya pasar ini bisa tetap eksis, bahkan menghasilkan pendapatan yang lebih besar lagi, Hendry menyarankan ke depannya harus adaptif terhadap pola perubahan selera konsumen yang semakin dinamis. Pertama, fasilitas pendukung pasar harus lengkap. Mulai dari parkiran, toilet bagi pengunjung, area permainan tradisional dan sarana pendukung lainnya.

Kedua, lanjut Hendry, barang yang ditawarkan harus memiliki karakter tersendiri yang tidak bisa didapat di pasar lainnya. Ketiga, fasilitas pembayaran juga harus memudahkan konsumen. Seperti ketersediaan e-payment untuk transaksi sekarang sudah menjadi keharusan. Tapi jika ada alternatif pembayaran nontunai, maka konsumsi pengunjung bisa saja meningkat karena adanya kemudahan pembayaran.

Keempat, hospitality pasar tempo dulu juga harus berbeda dengan pasar biasa. Karena pasar ini juga pasar wisata. Keramahan, pelayanan, hiburan tambahan dan pola komunikasi pengelola maupun pedagang harus selalu ditingkatkan. "Konsumen akan rela banyak menghabiskan waktu di pasar dan akan kembali lagi jika sudah menikmati kenyamanan dan keramahan," kata Hendry.

"Harapannya dalam satu pasar tempo dulu, pengunjung dari berbagai kalangan usia bisa menikmati belanja, wisata nostalgia dan wisata edukasi dalam satu tempat," imbuhnya.

Tapi yang jelas pasar-pasar ini memang diciptakan mandiri. Untuk membangkitkan ekonomi. Seperti lirik lagu Efek Rumah Kaca: “Bermukim pada belantara sendiri, pasar bisa diciptakan. Membangun kota dan peradaban sendiri, pasar bisa diciptakan”.

Baca Juga: Beras Bulog Sudah Sebulan Hilang di Pasar Malang

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya