Menengok Usaha Clay Art Bernilai Ekspor di Kota Malang
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Malang, IDN Times - Sejumlah pekerja tampak tengah sibuk menyelesaikan berbagai aksesoris berbahan clay atau sejenis tanah liat sintetis. Ada yang sedang membentuk bulatan-bulatan kecil, kemudian ada juga yang tengah merangkai beberapa potongan clay tersebut menjadi sebuah accesoris.
Aktivitas itulah yang setiap hari dilakukan para karyawan Momclay Art kawasan Perumahan Puncak dieng LL3A No.9, Sumberjo, Kalisongo, Kec. Dau, Malang. Sudah tiga setengah tahun terakhir, usaha aksesoris yang digeluti oleh Ika Dewi itu berkembang dan terus berproduksi membuat aksesoris berbahan clay atau sejenis tanah liat yang akan mengeras setelah didiamkan atau dioven.
1. Tertarik menggeluti usaha Clay art setelah diajak adik
Ika bercerita bahwa awalnya yang memulai usaha Clay Art tersebut adalah adalah adiknya yang berdomisili di Banjarmasin. Setelah 6 tahun berjalan, tepatnya pada tahun 2018 lalu, sang adik mengajak dirinya untuk turut menggeluti seni Clay Art. Awalnya Ika menolak lantaran dia berpedoman bahwa dalam satu keluarga tidak boleh ada dua usaha yang sama. Ia menilai hal itu bisa memicu perpecahan saudara.
"Tetapi adik terus meyakinkan saya untuk mau menggeluti seni Clay Art. Dia bilang katanya tidak mampu memenuhi permintaan konsumen yang terus meningkat. Makanya dia meminta saya untuk belajar dan membuka usaha yang sama. Setelah saya pikir-pikir akhirnya tahun 2018 saya mulai membuka usaha ini," katanya Sabtu (4/12/2021).
2. Langsung sasar pasar ekspor
Uniknya, Ika langsung menyasar pasar ekspor sebagai tempat untuk memasarkan produk clay art yang ia buat. Amerika, Eropa dan Australia merupakan pasar ekspor yang ia tuju untuk menjual produknya. Menurutnya, pasar lokal saat itu masih belum terlalu menjanjikan. Lalu, clay art sendiri memang belum banyak mendapat pasar. Makanya, sejak awal dirinya langsung menyasar pasar ekspor.
"Paling banyak memang ke Amerika Serikat, yakni sekitar 70 persen. Sisanya sebesar 25 persen ke Eropa dan 5 persen ke Australia," tambahnya.
3. Proses pembuatan sendiri cukup mudah
Ika sendiri menyebut bahwa proses pembuatan Clay Art tersebut tidaklah terlalu sulit. Bahan utama yang diperlukan berupa clay atau tanah liat yang bisa dibuat dari campuran tepung maizena dengan lem kayu. Setelah adonan jadi, maka bisa dibentuk sesuai dengan aksesori yang ingin dibuat.
Setelah itu, aksesoris yang sudah jadi hanya perlu didiamkan saja sampai mengeras sebelum nantinya dikemas. Tetapi untuk yang berbahan polymer perlu dioven terlebih dahulu agar bisa mengeras.
"Memang tidak semua orang bisa. Karena untuk membuat clay art itu juga perlu ketelatenan, keuletan dan jiwa seni yang tinggi," sambungnya.
Baca Juga: Kerajinan Cosplay dari Spon di Jombang Tembus Pasar Luar Negeri
4. Fokus untuk aksesoris fashion
Sejauh ini, Ika menyebut bahwa produk clay art yang ia buat lebih berfokus apda aksesoris fashion, terutama untuk tambahan kalung, topi maupun fashion lainnya. Hal itu juga tak lepas dari permintaan pasar yang memang lebih banyak untuk aksesoris tersebut. Terlebih di tiga wilayah tujuan ekspor tersebut memang sangat sering melakukan perayaan mulai dari Hallowen, thanksgiving, hingga valentine. Saat momen inilah banyak masyarakat yang ingin tampil beda.
"Sebenarnya, produk yang kami buat ini masih setengah jadi. Karena nantinya saat sampai di sana masih bisa diolah lagi menjadi aksesoris yang lebih lengkap dengan dijadikan jepit rambut atau hiasan baju lainnya," jelasnya.
5. Omset tembus ratusan juta
Setiap bulannya, Ika bisa memproduksi hingga 5000 pieces clay art dengan berbagai variasi. Harga jual yang ditetapkan oleh Ika sendiri adalah paling murah adalah Rp 100 ribu untuk satu lusin dan paling mahal adalah Rp 331 ribu.
"Untuk omsetnya dalam sebulan bisa mencapai Rp 300 juta," tandasnya.
Baca Juga: Titik Winarti, Bisnis Kerajinan Tangan Meroket Berkat Gandeng Difabel