TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Indonesia dalam Perang Dunia II, Berulang Kali Diberi Janji Palsu

Jepang menjanjikan kemerdekaan hanya untuk menarik simpati

Presiden RI pertama, Soekarno, dalam parade pengibaran bendera Indonesia dan bendera Jepang pada 1944. (Nederlands Instituut voor Militaire Historie)

Di bawah cengkeraman penjajah, Indonesia sudah mengalami penderitaan begitu lama. Belanda bahkan sudah menduduki Indonesia selama tiga abad. Perlakuan sebagai budak dan perintah kerja paksa sudah menjadi makanan sehari-hari.

Suatu waktu, ketika Jepang mulai memasuki Indonesia, rakyat Indonesia menggantungkan harapannya kepada pasukan Negeri Sakura itu. Mereka menganggap bahwa Jepang lah yang akan membebaskan Indonesia.

Muak dengan janji-janji palsu Jepang, rakyat Indonesia memutuskan berjuang dengan caranya sendiri. Mereka sangat gigih, hingga akhirnya bisa membuktikan kepada dunia tentang kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman penjajah dengan jerih payah sendiri. Lalu, bagaimana situasi di Indonesia selama Perang Dunia II? Dari pada penasaran, yuk simak artikel berikut yang disarikan dari buku berjudul 10 November 1945 Gelora Kepahlawanan Indonesia (1991) karya Barlan Setiadijaya.

1. Situasi sebelum perang

Indonesia yang sudah lama menjadi jajahan Belanda merasa tak sabar untuk segera meloloskan diri dari cengkeraman kolonial itu. Indonesia melakukan langkah demi langkah kecil, mulai dari Kebangkitan Nasional tahun 1908 melalui partai-partai politik seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. 

Ditambah politik divide et impera yang memecah belah bangsa, Indonesia berusaha tidak terpengaruh. Pemuda Indonesia pada tahun 1928 bahkan berhasil menyatakan Sumpah Pemuda, yaitu ikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Inilah senjata untuk melawan politik adu domba. 

Karena kegigihan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan, Belanda sampai-sampai melakukan pengawasan bernama Politieke Inlichtingen Dienst (PID) untuk memata-matai kegiatan kaum nasionalis. Pihak Belanda bahkan sampai melangsungkan penangkapan dan pembuangan ke Boven Digoel atau Tanah Merah.

Sementara Belanda terus-terusan mencekik Indonesia, Jepang muncul seolah-olah sebagai penyelamat. Mereka merayu-rayu penduduk pribumi di daerah Selatan.  Mereka mengatakan bahwa bangsa Asia tidak perlu harus kalah dari bangsa-bangsa Eropa. Kalau Belanda selalu melarang pemutaran lagu Indonesia Raya, Jepang malah mengumandangkannya setiap malam lewat Radio Tokyo. Karena bujuk rayu inilah, Jepang menjadi tumpuan harapan kaum nasionalis untuk membantu memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajahan.  

Baca Juga: Jejak Sejarah Perbudakan di Surabaya pada Tahun 1930-1960

2. Ketika Perang Asia Pasifik atau Perang Asia Timur Raya (ATR) meletus

Dengan pecahnya Perang Pasifik pada 8 Desember 1941, Jepang bergegas memanfaatkan ramalan Jayabaya dengan menyebarkan pamflet yang dijatuhkan dari udara. Mengutip buku 10 November 1945 Gelora Kepahlawanan Indonesia (1991) karya Barlan Setiadijaya, sekiranya di pamflet itu tertulis demikian.

"Kami mengumumkan kedatangan tentara Jepang. Tentara Jepang akan mendarat di Indonesia untuk memenuhi janji Yang Mulia Jayabaya. Ingat: Yang Mulia Jayabaya menyatakan bahwa orang kulit kuning dari utara akan datang untuk membebaskan rakyat Indonesia dari pendudukan Belanda."

Jelaslah bahwa ini merupakan tipu muslihat Jepang agar mendapat simpati dari rakyat Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di Pulau Jawa.

Dengan meletusnya Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya (ATR) yang diawali serangan mendadak ke Pearl Harbour, Pemerintah Hindia Belanda menyatakan dirinya sedang dalam keadaan perang dengan Jepang. 

Sayangnya, Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) atau tentara kerajaan Hindia Belanda tidak disiapkan untuk melawan tentara asing seperti Jepang. Mereka hanya dilatih untuk aktivitas pengamanan dalam negeri, misalnya menangani penduduk pribumi. Akhirnya, pada 8 Maret 1942, Letnan Jenderal H. Ter Poorten atas nama seluruh Angkatan Perang Sekutu di Indonesia menyerah tanpa syarat kepada Balatentara Jepang yang saat itu dinaungi oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. 

3. Belanda menyerah dan Indonesia diduduki Jepang

Kedatangan Jepang di Indonesia disambut hangat oleh rakyat Indonesia. Rakyat berharap, Jepang bisa memberikan kemerdekaan seperti yang diharapkannya selama ini.

Ibarat peribahasa sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga, rakyat Indonesia mulai mengendus perilaku aneh Jepang. Mereka semena-mena dalam mengeluarkan peraturan, hingga rakyat Indonesia kecewa berat. Beberapa waktu silam, Jepang berjanji tidak akan memperbudak rakyat seperti yang dilakukan Belanda. Tapi, pada kenyataannya Romusha atau kerja paksa ternyata tetap terjadi.

Yang paling menyakitkan bagi Indonesia adalah ketika Jepang melarang rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera merah putih dan memutar lagu Indonesia Raya. Hanya bendera Hinomaru dan lagu kebangsaan Kimigayo yang boleh eksis.      

4. Pengelolaan pemerintahan balatentara Dai Nippon

Jepang ingin agar rakyat Indonesia membantunya dalam perang ATR. Karena keinginannya inilah, mereka membentuk Hari Tenchosetsu "Gerakan Tiga A" pada 29 April 1942 yang diketuai oleh Mr. Syamsudin. Propaganda itu berbunyi demikian.

"Alhamdoelillah! Asia kembali kepada bangsa Asia! Nippon Tjahaja Asia, Nippon Pelindoeng Asia, Nippon Pemimpin Asia!"

Gerakan Tiga A ini semakin menyadarkan Indonesia bahwa Jepang bukanlah pembebas Asia. Tak ayal, Jepang sama saja seperti Belanda yang datang untuk menjajah Indonesia. Tak lama, Gerakan Tiga A segera dibubarkan pada September 1942 karena dianggap menyebabkan konflik antara Gunseikanbu dan Sendenbu.      

Pada 9 Maret 1943, muncullah Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dipimpin langsung oleh empat serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Moh. Hatta, K.H. Mas Mansoer, dan Ki Hadjar Dewantoro. Di era ini, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dihidupkan kembali. Bahkan, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia dibentuk pada Oktober 1943.  

Di era yang sama, kaum Muslimin membentuk barisan-barisan semimiliter, seperti Kaikyo Seinen Teishintai pada 15 Desember 1944 yang lebih dikenal dengan nama Barisan Hizbullah. Ada juga barisan Suishintai, Jibakutai, Seinendan, Keibodan, Gakutotai, dan lain-lain. Sayangnya, Putera pun tidak berlangsung lama karena dirasa kurang efektif untuk membantu Jepang dalam mengatasi Perang ATR.  

5. Titik balik pertempuran

Pertempuran terus berlangsung. Jepang tampak mulai kendor, sedangkan pihak Sekutu mulai menunjukkan kegagahannya. Titik balik pertempuran antara Jepang dan Belanda terjadi di semua front. 

Dalam keadaan terdesak, Jepang harus mengubah cara politiknya terhadap rakyat Indonesia agar mereka tetap mau membantu Jepang dan tidak main mata dengan musuh.

Jepang lantas bertindak lunak terhadap Indonesia. Secara bertahap, Jepang bahkan membentuk suatu Dewan Pertimbangan Agung (Chuo Sangi In) dan Dewan Pertimbangan Daerah (Shu Sangi Kai) pada 5 September 1943 untuk mendengarkan keinginan rakyat secara langsung.

6. Dokuritsu, sebuah janji palsu untuk memerdekakan Indonesia

Dengan bertambah buruknya situasi di semua front, Jepang sungguh kewalahan. Ia semakin getol dalam merayu bangsa Indonesia, salah satunya dengan janji manis untuk memerdekakan Indonesia di kemudian hari.

Pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Kuniaki Koiso dalam sidang ke-85 parlemen Jepang menjanjikan "to indo no dokuritsu" yang berarti Kemerdekaan Hindia Timur di kemudian hari. 

Lewat keputusan ini, Ir. Soekarno selaku ketua Chuo Sangi In pada 17 November 1944 menyampaikan mosi terima kasih kepada Pemerintah Jepang yang berisi Pancadarma berdasarkan semangat Hakko Ichiu. Hakko Ichiu berarti delapan benang dalam satu atap, yang merujuk pada keadaan delapan penjuru dunia di bawah Kekaisaran Jepang.    

7. Persiapan kemerdekaan

Karena semakin terdesak, Panglima Tentara ke-16, Saiko Syikikan Letjen Kumakichi Harada mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Badan ini bertujuan untuk mengetahui, mempelajari, dan menyelidiki berbagai hal agar negara dan bangsa bisa terselamatkan. 

Jepang lagi-lagi berbuat curang. Mereka bahkan menyisipkan sesuatu yang fatal di luar hasil rapat yang sudah disepakati. Hal ini tentu bertujuan untuk menguntungkan pihaknya sendiri dan merugikan rakyat Indonesia.

Sementara Jepang terus berkelit, pada 6 Agustus 1945, tentara Sekutu menjatuhkan bom atom di Kota Hiroshima. Selang tiga hari, bom kembali dijatuhkan di Kota Nagasaki pada 9 Agustus. Akibat bom itu, Jepang luluh lantak, hingga akhirnya mereka menyerah dan menyatakan kekalahan.

Itulah tadi situasi bangsa Indonesia selama Perang Dunia II. Pemberian janji-janji palsu yang dilakukan Jepang ternyata bisa melecut semangat rakyat Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan seutuhnya.

Baca Juga: 7 Kerajaan Kuno di Nusantara, Sebagian Mendiami Pulau Jawa

Verified Writer

Talita Hariyanto

Manusia hina sebagai makhluk mulia

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya