10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf Eksistensialis

Bikin kamu makin sadar eksistensi hidup!

Jean-Paul Sartre, seorang filsuf, penulis, dan dramawan Prancis, telah meninggalkan jejak mendalam dalam dunia pemikiran melalui karya-karyanya yang mendalam dan provokatif. Sebagai tokoh utama dalam aliran eksistensialisme, Sartre mengeksplorasi tema kebebasan, tanggung jawab, dan makna hidup, menghadapi dilema-dilema yang dihadapi manusia dalam kondisi eksistensial yang sering kali absurd.

Dari novel yang mengungkap konflik batin hingga esai yang membahas ide-ide filsafat, setiap buku menawarkan perspektif unik tentang eksistensi manusia. Melalui eksplorasi ini, pembaca diajak untuk merenungkan kebebasan dan tanggung jawab individu dalam menghadapi tantangan hidup.

Selain itu, pembaca juga diajak untuk memahami tentang bagaimana pemikiran Sartre terus mempengaruhi dunia sastra dan filsafat hingga saat ini. Berikut adalah 10 karya Jean Paul Sartre yang menarik untuk dibaca.

1. Being and Nothingness (L'Être et le Néant)

10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf EksistensialisBeing and Nothingness. x.com/@ProfDNgong

Being and Nothingness oleh Jean-Paul Sartre adalah karya filsafat eksistensialis yang kompleks, yang menjelaskan konsep-konsep utama tentang eksistensi manusia, kebebasan, dan kesadaran. Diterbitkan pada tahun 1943, buku ini berusaha menjawab pertanyaan tentang hakikat "ada" (being) dan bagaimana manusia berinteraksi dengan realitas di sekitarnya.

Sartre memulai dengan gagasan bahwa "eksistensi mendahului esensi," yang berarti bahwa manusia pertama-tama ada di dunia dan kemudian mendefinisikan dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan.

Tidak ada sifat atau tujuan dasar yang menentukan kehidupan manusia sejak awal, dan karena itu, setiap orang sepenuhnya bebas. Kebebasan ini membawa tanggung jawab yang besar, karena manusia harus terus-menerus membuat keputusan yang membentuk siapa mereka.

Sartre membedakan antara dua bentuk eksistensi, yang pertama adalah being-in-itself (keberadaan benda mati tanpa kesadaran) dan yang kedua adalah being-for-itself (keberadaan manusia yang sadar akan dirinya sendiri).

Kesadaran manusia memungkinkan mereka mengalami dunia, tetapi juga menciptakan perasaan ketiadaan (nothingness), yakni kekosongan di dalam diri yang mendorong individu untuk bertindak dan memberi makna pada hidup.

Tema ketiadaan dalam buku ini juga memiliki porsi penting, karena Sartre melihat manusia sebagai entitas yang terus-menerus merasakan kekurangan, yang mendorong mereka untuk bertindak dan mengambil keputusan. Namun, kebebasan ini sering kali menimbulkan rasa cemas, karena manusia tidak bisa menghindari tanggung jawab atas semua tindakan dan pilihan mereka.

Baca Juga: 8 Buku Psikologi Karya Sigmund Freud, Yuk Baca!

2. Nausea (La Nausée)

10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf EksistensialisNausea.instagram.com/@serbasastra

Nausea atau La Nausée adalah novel eksistensialis pertama Jean-Paul Sartre yang diterbitkan pada tahun 1938. Cerita ini mengikuti kehidupan seorang pria bernama Antoine Roquentin, seorang sejarawan yang tinggal di kota kecil fiktif Bouville. Novel ini ditulis dalam bentuk catatan harian Roquentin, yang mencatat pengalamannya tentang kehidupan sehari-hari serta pergumulan filosofisnya.

Roquentin mengalami perasaan yang semakin intens tentang kebosanan, ketidaknyamanan, dan keterasingan dari dunia di sekitarnya. Ia mulai merasakan apa yang disebut sebagai nausea atau "mual"—sebuah perasaan eksistensial yang muncul ketika ia menyadari absurditas dan ketiadaan makna dari keberadaan.

Seiring waktu, Roquentin merasa bahwa benda-benda sehari-hari yang dulunya tampak biasa sekarang menjadi aneh dan tidak berarti. Realitas yang dihadapinya mulai tampak rapuh, dan ia merasa terlepas dari dunia yang dahulu akrab.

Melalui pengalaman-pengalaman ini, Roquentin menyadari bahwa keberadaan (being) tidak memiliki makna inheren, dan manusia harus memberi makna pada kehidupannya sendiri melalui tindakan dan pilihan.

Nausea adalah perasaan akibat konfrontasi dengan absurditas dunia, di mana tidak ada tujuan atau esensi yang pasti. Dalam menghadapi hal ini, Roquentin harus memutuskan bagaimana ia akan menjalani hidupnya, mengatasi mual eksistensialnya, dan menerima kebebasan untuk menentukan makna hidupnya sendiri.

3. No Exit (Huis Clos)

10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf EksistensialisNo Exit (Huis Clos)/etsy.com

No Exit adalah drama satu babak karya Jean-Paul Sartre yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1944. Cerita ini berpusat pada tiga karakter yakni Garcin, Inez, dan Estelle, yang terjebak di sebuah ruangan tanpa jendela dan pintu, yang mereka segera sadari sebagai representasi neraka.

Tidak ada api atau penyiksaan fisik di neraka ini; sebaliknya, penderitaan mereka berasal dari hubungan interpersonal dan ketidakmampuan untuk melarikan diri dari pandangan satu sama lain.

Ketiga karakter ini dihadapkan dengan kenyataan bahwa mereka harus hidup dalam kekekalan bersama, menghadapi kepribadian, tindakan, dan masa lalu masing-masing. Sepanjang drama, mereka saling menghukum dengan mengungkapkan kebohongan, kelemahan, dan dosa-dosa mereka.

Garcin adalah seorang jurnalis yang dianggap pengecut, Inez adalah seorang manipulatif yang kejam, dan Estelle adalah seorang wanita yang egois dan narsistik.

Tema utama drama ini adalah eksplorasi konsep kebebasan, rasa bersalah, dan tanggung jawab. Sartre mengemukakan bahwa neraka adalah orang lain, karena pandangan dan penilaian orang lain mengunci seseorang dalam peran tertentu yang tidak bisa dihindari.

Karakter-karakter ini terjebak dalam lingkaran penderitaan batin, di mana mereka saling menghancurkan secara emosional tanpa bisa menghindar atau melarikan diri dari penghakiman.

4. The Words (Les Mots)

10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf EksistensialisThe Words (Les Mots)/lalibrairieonline.com

The Words (Les Mots) adalah karya otobiografi Jean-Paul Sartre yang diterbitkan pada tahun 1964. Buku ini menceritakan tentang masa kecil Sartre dan bagaimana ia menemukan dunianya melalui sastra dan tulisan. The Words dibagi menjadi dua bagian besar yang menggambarkan evolusi kehidupannya, yakni membaca dan menulis.

Di bagian membaca, Sartre menjelaskan bagaimana ia tumbuh dalam keluarga kelas menengah Prancis yang sangat terpelajar. Ia hidup di bawah pengaruh kuat kakeknya, yang menanamkan kecintaan pada literatur dan membaca. Buku menjadi pelarian Sartre dari realitas, dunia imajinasi tempat ia merasa lebih hidup dan bebas.

Bagian menulis, menggambarkan Sartre sebagai seorang anak yang mulai menyadari hasratnya untuk menulis dan menjadi seorang penulis besar. Ia mengeksplorasi bagaimana sastra dan menulis menjadi cara baginya untuk memberi makna pada hidupnya dan untuk mengatasi ketidakpastian serta kecemasan eksistensial.

Namun, Sartre juga secara kritis merefleksikan keyakinannya bahwa menulis awalnya merupakan cara untuk membangun ilusi akan kepentingan diri sendiri.

5. Existentialism is a Humanism (L'Existentialisme est un Humanisme)

10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf EksistensialisExistentialism is a Humanism. instagram.com/@serbasastra

Existentialism is a Humanism (L'Existentialisme est un Humanisme) adalah sebuah esai dan ceramah terkenal oleh Jean-Paul Sartre yang pertama kali disampaikan pada tahun 1945. Dalam karya ini, Sartre berusaha menjelaskan dan mempertahankan filsafat eksistensialisme dari kritik yang menyebutnya sebagai pandangan pesimistis, nihilistis, dan amoral.

Sartre menekankan bahwa eksistensialisme adalah filsafat yang menempatkan manusia pada pusat keberadaannya sendiri, dengan kebebasan penuh untuk menentukan makna hidupnya.

Ungkapan terkenal "eksistensi mendahului esensi" menjadi inti dari pandangannya, di mana manusia pertama-tama eksis di dunia tanpa tujuan atau sifat bawaan, dan hanya melalui tindakan-tindakannya, ia menciptakan dan menentukan esensi atau makna hidupnya.

Dalam esai ini, Sartre menolak gagasan bahwa manusia sudah memiliki sifat dasar sejak lahir yang harus diikuti. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab penuh atas tindakannya. Kebebasan ini, meskipun bisa menimbulkan kecemasan atau ketakutan, juga menjadi sumber potensi kreatif dan positif.

Sartre juga menegaskan bahwa meskipun eksistensialisme mengakui absurditas kehidupan, itu tidak berarti bahwa hidup tidak bisa bermakna. Justru, manusia harus bertanggung jawab untuk menciptakan nilai-nilai dan makna mereka sendiri.

6. The Age of Reason (L'Âge de raison)

10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf EksistensialisThe Age of Reason (L'Âge de raison)/carousell.com

The Age of Reason (L'Âge de raison) adalah novel karya Jean-Paul Sartre yang diterbitkan pada tahun 1945. Novel ini adalah bagian pertama dari trilogi Les Chemins de la liberté (Jalan Kebebasan), yang mengeksplorasi tema kebebasan, tanggung jawab, dan eksistensi manusia dalam konteks pra-Perang Dunia II di Prancis.

Kisah ini berpusat pada Mathieu Delarue, seorang dosen filsafat berusia 34 tahun yang sedang menghadapi krisis eksistensial. Dalam kehidupan sehari-harinya, Mathieu berjuang dengan berbagai aspek kebebasan pribadi, terutama dalam hubungan cinta dan kehamilan kekasihnya, Marcelle.

Kehamilan ini membuat Mathieu merasa tertekan, karena ia percaya bahwa memiliki anak akan membatasi kebebasannya dan membuatnya terikat pada tanggung jawab yang tidak ia inginkan.

Sepanjang novel, Mathieu berusaha mendapatkan uang untuk membayar aborsi bagi Marcelle, sambil bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan moral dan filosofis tentang pilihan dan kebebasan. Dia merasa terperangkap antara keinginan untuk hidup bebas dari tanggung jawab sosial dan kebutuhan untuk mengambil keputusan yang tepat dalam situasi sulit.

7. The Reprieve (Le Sursis)

10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf EksistensialisThe Reprieve (Le Sursis). instagram.com/@rasiabandoeng

The Reprieve (Le Sursis) adalah novel kedua dalam trilogi Les Chemins de la liberté (Jalan Kebebasan) karya Jean-Paul Sartre, diterbitkan pada tahun 1945. Novel ini berlatar belakang selama periode ketegangan politik dan ketidakpastian sebelum pecahnya Perang Dunia II, tepatnya pada September 1938, ketika krisis Cekoslowakia memuncak dan kesepakatan Munich ditandatangani.

Cerita ini mengikuti beberapa karakter yang terpisah, yang masing-masing berhadapan dengan kegelisahan, ketakutan, dan dilema eksistensial mereka seiring ancaman perang yang semakin dekat.

Di antara mereka adalah Mathieu Delarue, karakter utama dari novel pertama The Age of Reason, yang terus bergulat dengan pertanyaan tentang kebebasan dan tanggung jawab pribadi.

Selain Mathieu, novel ini juga mengikuti berbagai karakter lainnya—seorang prajurit, aktivis politik, dan warga sipil—yang semuanya mencoba menemukan cara untuk hidup di tengah ketidakpastian yang menyelimuti masa depan Eropa.

Alih-alih mengikuti satu plot utama, The Reprieve menyajikan serangkaian peristiwa yang saling bersinggungan, menunjukkan ketakutan kolektif masyarakat Eropa terhadap perang yang tak terhindarkan. Gaya penceritaan yang terfragmentasi, berpindah-pindah antar karakter dan situasi, mencerminkan kekacauan psikologis yang dialami oleh para protagonis.

Tema kebebasan, penundaan, dan tanggung jawab menjadi inti dari novel ini. Sartre menggambarkan betapa krisis politik tidak hanya memengaruhi kehidupan individu, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendalam tentang makna hidup di saat-saat kritis.

8. Troubled Sleep (La Mort dans l'âme)

10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf EksistensialisTroubled Sleep (La Mort dans l'âme). instagram.com/@thepapercastle_

Troubled Sleep (La Mort dans l'âme), yang diterbitkan pada tahun 1949, adalah novel ketiga dan terakhir dalam trilogi Les Chemins de la liberté (Jalan Kebebasan) karya Jean-Paul Sartre. Novel ini melanjutkan tema kebebasan dan tanggung jawab di tengah latar belakang Perang Dunia II, khususnya invasi Nazi ke Prancis pada tahun 1940.

Seperti dua novel sebelumnya, Troubled Sleep mengeksplorasi dilema eksistensial yang dihadapi oleh karakter-karakter utamanya. Cerita ini berfokus pada Mathieu Delarue, yang kali ini tidak lagi hanya berhadapan dengan masalah-masalah pribadi, tetapi dengan kehancuran dan kekacauan akibat perang.

Di tengah kekalahan tentara Prancis, Mathieu dan teman-temannya harus menghadapi kenyataan brutal dari invasi Nazi, membuat mereka semakin terjebak dalam pilihan-pilihan hidup yang sulit. Mathieu, yang selama ini mencari kebebasan pribadi, kini dihadapkan pada pertanyaan tentang pengorbanan, solidaritas, dan arti dari keberanian.

Novel ini juga menampilkan beberapa perspektif karakter lain, termasuk tentara dan warga sipil yang berusaha memahami peran mereka di tengah kekalahan yang tampaknya tak terhindarkan. Mereka bergulat dengan rasa takut, ketidakberdayaan, dan ketidakpastian tentang masa depan.

9. Critique of Dialectical Reason (Critique de la raison dialectique)

10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf EksistensialisCritique of Dialectical Reason/press.uchicago.edu

Critique of Dialectical Reason (Critique de la raison dialectique) adalah salah satu karya filsafat paling kompleks dan penting dari Jean-Paul Sartre, pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Buku ini merupakan upaya untuk menyintesiskan filsafat eksistensialisme Sartre dengan marxisme, dua aliran pemikiran yang dominan di abad ke-20.

Dalam karya ini, Sartre mengembangkan analisis kritis tentang sejarah, masyarakat, dan hubungan antarindividu, serta mengeksplorasi konsep dialektika dalam konteks sosial dan material.

Sartre berusaha menjawab pertanyaan tentang bagaimana individu yang bebas dapat berhubungan dengan struktur sosial yang lebih besar, khususnya dalam hal penindasan, konflik kelas, dan sejarah.

Ia meneliti bagaimana individu berperan dalam membentuk sejarah melalui tindakan kolektif, sambil juga terikat oleh kondisi material dan sosial yang sering kali di luar kendali mereka. Salah satu tema utama dalam buku ini adalah ketegangan antara kebebasan individu dan determinisme sosial.

Konsep praxis, sebuah tindakan yang dimotivasi oleh kebutuhan materi dan seriality, suatu  keadaan di mana individu terjebak dalam kelompok yang homogen dan tidak berinteraksi secara bebas menjadi kunci dalam pemikiran Sartre. Ia berpendapat bahwa meskipun individu terjebak dalam keadaan serial yang mengasingkan, ada momen-momen dalam sejarah di mana individu dapat bangkit bersama dalam aksi kolektif, menciptakan perubahan revolusioner.

Buku ini juga mengkritik dialektika Hegelian dan marxisme ortodoks, terutama dalam bagaimana sejarah dilihat sebagai proses mekanistik yang tak terhindarkan. Sartre berargumen bahwa sejarah lebih kompleks dan melibatkan peran aktif manusia sebagai agen yang bebas, meskipun mereka tetap dibatasi oleh kondisi material.

10. The Transcendence of the Ego (La Transcendance de l'Ego)

10 Buku Karya Jean Paul Sartre, Sang Filsuf EksistensialisThe Transcendence of the Ego. instagram.com/@parnassusbookstore

The Transcendence of the Ego (La Transcendance de l'Ego) adalah karya filsafat Jean-Paul Sartre yang diterbitkan pada tahun 1936. Dalam buku ini, Sartre menjelaskan pandangannya tentang kesadaran, identitas, dan hubungan antara individu dan dunia. Karya ini merupakan salah satu fondasi pemikiran eksistensialisnya.

Sartre berargumen bahwa kesadaran bukanlah substansi yang terpisah atau inti dari identitas individu, melainkan suatu proses yang aktif dan dinamis. Ia menolak gagasan bahwa ada "ego" tetap yang menjadi pusat dari pengalaman.

Sebaliknya, ia mengemukakan bahwa kesadaran bersifat "transendental"—artinya, ia selalu berhubungan dengan objek-objek di luar dirinya dan tidak bisa dipisahkan dari dunia di sekitarnya.

Sartre juga membedakan antara dua jenis keberadaan yakni being-in-itself (keberadaan benda-benda yang tidak sadar) dan being-for-itself (keberadaan manusia yang sadar). Keberadaan manusia ditandai oleh kesadaran akan diri dan kemampuan untuk merefleksikan serta mengarahkan dirinya sendiri. Namun, kesadaran ini juga membawa serta ketidakpastian dan kecemasan, karena manusia harus terus-menerus menentukan makna hidup mereka sendiri.

Buku ini menekankan pentingnya pengalaman subjektif dan bagaimana individu membangun identitasnya melalui interaksi dengan dunia. Sartre menggambarkan bagaimana pengalaman-pengalaman ini membentuk kesadaran dan membangun rasa diri, tanpa merujuk pada ego yang tetap.

Baca Juga: 7 Buku Filsafat Karl Marx untuk Mengasah Nalar Kritis

Rachmaddani Rizki Saputra Photo Community Writer Rachmaddani Rizki Saputra

Jurnalis magang katanya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Zumrotul Abidin
  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya