[OPINI] Huda, Dicaci Tak Tumbang, Dipuji Tak Terbang

Selamat jalan, Kapten!

Saya masih ingat sebuah peristiwa yang terjadi sekitar tahun 2005 lalu. Saat itu, Persela menelan kekalahan di kandang sendiri, Surajaya Lamongan. Kemarahan pendukung pun tertuju pada satu sosok. Dialah seorang Choirul Huda.

Wajar jika mereka meluapkan emosi pada Huda. Sore itu dia memang tampil di bawah performa terbaiknya. Bahkan, Huda beberapa kali melakukan kesalahan. 

Saking marahnya, seorang pendukung bahkan berdiri di atas sebuah sepeda motor yang terparkir di sebelah bus pemain Persela. Sambil menggerutu, dia mencaci habis Huda dengan berbagai makian.  Kebetulan bus tersebut memang belum beranjak dari halaman stadion.

Lalu, apa yang dilakukan Huda? Dia hanya membalasnya dengan sebuah senyum. Tak ada amarah atau cacian balik dari sang kiper. Selebihnya, dia hanya mencoba mengalihkan pandangannya ke sudut lain.

Saat melihat kejadian itu, saya sempat menduga bahwa karir Huda tak akan lama. Dugaan saya waktu itu, mental Huda turun, performanya merosot, kemudian manajemen akan mencari ganti. Terlebih, namanya memang belum setenar sekarang.

Dicaci tak tumbang, dipuji tak terbang.

[OPINI]  Huda, Dicaci Tak Tumbang, Dipuji Tak Terbangliputan6.com

Tapi Huda tetaplah Huda. Cacian dari para pendukung dibalasnya dengan prestasi. Dia menjawab kritikan dengan penampilan yang kian membaik. Bahkan, sosoknya nyaris tak terganti di bawah mistar. Beberapa kiper yang masuk ke skuad Persela dipastikan hanya numpang lewat. Siapapun pelatihnya, bagaimanapun strateginya, Huda tetap menjadi pilihan utama. Bahkan, dia sempat beberapa kali dipanggil tim nasional meski hanya sebagai pemanas bangku cadangan.

Ketika namanya kian melambung dan dianggap legenda hidup, laku Huda masih sama. Bukannya jumawa, dia lebih memilih merendah. Huda tak pernah mau disebut sebagai seorang legenda. Sikap inilah yang seolah menahbiskannya sebagai idola. Publik Lamongan makin mencintainya ketika dia berikrar akan menghabiskan karirnya bersama Persela.

Huda bukan nama baru di kancah sepak bola Lamongan. Dia berkarir bersama Joko Tingkir saat Persela baru bangun dari tidur panjangnya. Ya, Persela yang didirikan pada tahun 1967 memang baru berkompetisi secara profesional sejak tahun 1999.

Oleh karena itu, wajar jika warga Lamongan justru mengenal Huda pertama kali dari siaran radio. Maklum, kala itu hanya pertandingan kasta tertinggi yang mendapat jatah siaran langsung di televisi. Pendukung klub gurem seperti Persela yang tak bisa datang ke stadion harus puas “menyaksikan” klubnya bermain lewat siaran radio.

Berangkatlah dengan tenang.

[OPINI]  Huda, Dicaci Tak Tumbang, Dipuji Tak Terbangkompas.com

Kini, sang kapten telah pulang. Merasa kehilangan adalah sebuah kepastian. Tapi ada rasa bangga yang tak terkira. Huda benar-benar menepati janjinya untuk pensiun bersama korps biru muda. Yang lebih istimewa, dia menghembuskan nafas terakhir dengan cara yang sangat terhormat: memakai jersey di hadapan ribuan pendukung. Jika dia pernah mengatakan ingin bermain layaknya Buffon, maka saya berani bilang bahwa dia sudah melampauinya.

Bagi kami, Huda adalah nama lain dari kesetiaan. Dia seolah memberi tahu kepada kita bahwa setia sampai akhir hayat benar adanya. Berangkatlah dengan tenang, bawa sebersit senyuman, Huda!

Kuncoro Photo Verified Writer Kuncoro

Penikmat tanggal muda

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya