[OPINI] Pentingnya Redesain Rumah Sakit di Era Pandemik COVID-19

Ternyata salah desain juga bisa pengaruhi penyebaran virus

Transisi New Normal diwacanakan oleh pemerintah Indonesia baru-baru ini. Kebijakan new normal di era pandemi COVID-19 ini memiliki beberapa syarat sebagaimana yang dianjurkan oleh badan kesehatan dunia atau WHO. Poin penting dari syarat tersebut yakni salah satunya berkaitan persiapan fasilitas kesehatan.   

Pemerintah menunjuk beberapa rumah sakit baik rumah sakit milik pemda maupun swasta  sebagai rumah sakit rujukan COVID-19 dari Aceh hingga Papua. Tentu beban yang ditanggung rumah sakit rujukan sangat berat dengan adanya tugas tambahan untuk menangani COVID-19. Karena instruksi dari presiden atau kementrian kesehatan, mau tidak mau semua harus siap.

Sudah dua bulan waktu berjalan, kita bisa mengamati banyak rumah sakit rujukan "kewalahan" dengan banyak temuan kasus COVID-19 datang ke Instalasi Gawat Darurat IGD. Sementara kapasitas ruang perawatan isolasi tidak cukup. kondisi demikian sangat tidak ideal bagi tenaga kesehatan dan tentu pasien lain.

Berangkat dari kasus meninggalnya tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas. Dugaan yang beredar disebabkan oleh Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak sesuai standar, cara memakai dan melepas APD yang masih keliru. Namun ada faktor lain yang jarang dibicarakan yakni terkait bagaimana standar ruangan, manajemen ruangan perawatan, dan kecepatan diagnosis apakah tidak menentukan risiko paparan infeksi.

Rumah sakit rujukan COVID-19 biasanya melakukan prosedur pemeriksaan screening apakah pasien menderita COVID-19 atau bukan. Pemeriksaan yang biasanya dilakukan yakni pemeriksaan darah lengkap, rapid test COVID-19, dan rontgen dada. Selanjutnya, pasien dengan dugaan besar COVID-19 dari tiga pemeriksaan ini akan dilanjutkan pemeriksan swab PCR . Screening ini biasanya dilakukan di ruang triage IGD, biasanya berada di paling depan dari pelayanan IGD. Fatalnya, kebanyakan dari ruang triage IGD hanya memiliki kapasitas ruang transit isolasi sementara dengan kapasitas minimal.

Bahkan, salah satu rumah sakit rujukan COVID-19 di Jawa Timur hanya memiliki satu ruang isolasi dengan kapasitas satu bed saja. Kebijakan Rumah sakit saat ini pada umumnya melakukan screening ke semua pasien dengan memegang prinsip semua dianggap COVID-19 sampai terbukti COVID-19 atau bukan. Prosedur ini tentu memakan waktu, apalagi bila berlanjut hingga pemeriksaan lebih kompleks swab PCR yang memakan waktu lama.

Kebanyakan pasien yang menunggu kepastian screening ini dirawat sementara di ruang isolasi IGD (bila ada tempat). Namun akibat tidak seimbang antara kapasitas ruangan dan jumlah pasien yang IGD makan kebanyakan pasien diletakkan di ruang selasar yang masih diragukan standar keamanannya.

Periode menunggu screening COVID-19 yang tidak bisa cepat ditambah manajemen ruangan IGD yang kurang baik akan berakibat fatal. Bisa jadi pasien yang menunggu kejelasan status ini ternyata satu di antaranya positif COVID-19. Inilah yang menjadi rasa khawatir tenaga kesehatan yang bertugas di IGD meskipun dalam status memakai APD level 2 atau 3.  Kondisi demikian akan memicu udara polutan yang infeksius bila ventilasi
tekanan negatif tidak difasilitasi di ruang IGD. Akan menyebabkan peningkatan risiko infeksi nosokomial kepada pasien lain. Menurut literatur infeksi nosokomial ini bisa terjadi pada 7-10 pasien diantara 10 pasien.

Kondisi akan diperparah bila banyak tindakan yang memicu aerosol di IGD seperti intubasi, scution, dan sebagainya.  Hal tersebut harus menjadi perhatian serius para pemangku kebijakan, para direksi rumah sakit, karena cukup banyak data penularan COVID-19 yang terjadi di IGD.

Redesain ruangan IGD dan ruangan lain sangat diperlukan, menjadi sesuatu yang urgent dilakukan. Ruang resusitasi, kamar bersalin merupakan contoh ruangan yang harus menjadi perhatian khusus karena karakter pasien yang datang merupakan pasien gawat dan memerlukan tindakan secepatnya dan terkadang prosedur skrining dilakukan
belakangan.

Italia dan beberapa negara di eropa sudah melakukan redesain rumah sakit mereka menyesuaikan kondisi Covid-19 terutama ruangan di IGD. Dan pasca dilakukan perombakan ini sudah menunjukkan hasil yang lebih baik. Kapasitas ideal tempat tidur untuk pasien yang menunggu kejelasan status di IGD yakni minimal 50-100 tempat tidur, dengan dukungan ventilasi tekanan negatif. Tentu perombakan ini memakan biaya tidak sedikit. 

Saya rasa redesain Rumah Sakit di Indonesia di era COVID-19 sangat diperlukan. Rumah sakit harus tetap dalam kondisi yang "sehat" karena merupakan tempat bagi yang sakit untuk sembuh menjadi orang sehat. Bila rumah sakit sendiri jatuh dalam kondisi "sakit", lalu bagaimana nasib pasien dan tenaga kesehatan di dalamnya?.

 

dr. Sonny Fadli
Residen Obstetri dan Ginekologi FK Unair/RSUD dr. Soetomo Surabaya

Baca Juga: [OPINI] Jenazah COVID-19 Jadi Bisnis Tenaga Medis, Betulkah?

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya