[OPINI] Pusing dengan Kebijakan Pemerintah tentang Halal Bi Halal

Gimana caranya ketemuan tapi gak pake makan?

Indonesia merupakan negara yang memiliki budaya bernama mudik, atau dalam bahasa Jawa kerap disebut sebagai kepanjangan mulih dilik yang artinya pulang ke kampung halaman. Momen ini biasanya digunakan untuk bersilaturahim dengan saudara-saudara. Mudik juga bisa memiliki arti panjang ke udik atau pulang kampung sambil bersilaturahim di hari raya Idul Fitri.

Di momen ini pula  saudara-saudara di kampung halaman akan menyiapkan berbagai suguhan hidangan lebaran. Sayangnya, pertemuan yang banyak didambakan para perantau ini sempat terhenti dua tahun karena pemerintah melarang kegiatan mudik untuk memutus penyebaran COVID-19.

Selain mudik, pemerintah juga memberikan beberapa aturan yang selalu diikuti oleh masyarakat seperti selalu menggunakan masker, mencuci tangan dan handsanitizer, serta selalu menjaga jarak. Bahkan, imbauan pemerintah soal vaksin dari pertama sampai dengan vaksin kelima, dan entah ke berapa lagi juga selalu diikuti.

Kebijakan merupakan suatu konsep yang selalu dipikirkan dengan matang untuk kepentingan rakyat. Adapun contoh terkait kebijakan, yakni larangan mudik untuk memutus mata rantai COVID-19. Kebijakan tersebut sangat membantu masyarakat.

Namun, pemerintah baru-baru ini mengeluarkan kebijakan Halal Bi Halal tanpa makan dan minum. Kebijakan atau imbauan pemerintah tersebut kurang atau tidak masuk akal. Karena tanpa adanya makan dan minum saat Lebaran sama halnya sayur tanpa garam dan gula, alias hambar.

Masyarakat sejatinya merupakan makhluk sosial yang memiliki salah. Adanya rasa cinta dan menghargai akan membuat masyarakat menjadi manusia yang kembali pada jiwanya, yakni mahkluk sosial saat lebaran atau hari raya keagamaan lainnya. Masyarakat sudah pintar dan patuh terkait arahan pemerintah, seharusnya Lebaran atau Halal Bi Halal tetap diperbolehkan adanya makan dan minuman

Yang harus dilakukan pemerintah adalah memastikan panitia penyelenggara memiliki tim protokol kesehatan untuk acara Halal Bi Halal. Dengan begitu, tidak akan mengurangi esensi dari perayaan Lebaran atau Idul Fitri. Alasannya jelas, merayakan hari raya keagamaan merupakan hak masyarakat.

 

Raditya Feda Rifandhana
Dosen FH Unmer Malang

Baca Juga: Sejarah Halal Bi Halal, Alat Politik Soekarno untuk Menyatukan Bangsa

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya