Alasan Tradisi Ulur-Ulur di Tulungagung Tetap Digelar
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tulungagung, IDN Times - Belum diketahui pasti tahun berapa upacara tradisi ulur-ulur di Telaga Buret, Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung bermula. Belum ada sumber literatur yang menjelaskan terkait ritual tersebut. Namun masyarakat setempat meyakini upacara ini sudah berlangsung sejak masa lalu. Adanya peristiwa 65 membuat pelaksanaan upacara ini berhenti selama 31 tahun, dan diadakan lagi pada tahun 1996.
1. Sejak tahun 1996 upacara diadakan kembali
Pamuji, salah seorang anggota Paguyuban Sendang Tirto Mulyo menuturkan pelaksanaan upacara tradisi ulur-ulur ini dahulu dilakukan secara bergiliran tiap desa. Warga tiga desa yakni Ngentrong, Sawo dan Gamping bergiliran mendatangi Telaga Buret pada bulan Selo untuk menggelar tradisi ini. Sebelumnya hanya tiga desa saja yang memanfaatkan air di telaga tersebut untuk keperluan irigasi. Desa Gedangan mulai ikut bergabung pada tahun 1996.
"Sejak tahun 1996 akhirnya konsep upacara dirubah seperti saat ini, tapi kalau yang memandikan patung itu sejak dulu," ujarnya, Jumat (09/7/2021).
2. Patung yang dimandikan dipercaya pernah hidup di masa lalu
Editor’s picks
Patung yang dimandikan dalam upacara tradisi ini adalah perwujudan dari Dewi Sri dan Joko Sedono. Tak hanya sekedar simbol sandang dan pangan, sosok kedua nya ini juga diyakini oleh masyarakat sekitar pernah hidup di wilayah tersebut. Patung yang digunakan upacara saat ini terbilang masih baru dan dibuat sekitar tahun 1996. Sedangkan untuk patung yang asli sudah hilang saat peristiwa 65 lalu. "Dulu patungnya masih asli dan berada di kawasan telaga buret, tapi saat peristiwa 65 patungnya hilang, dan patung yang ada saat ini dibawa pulang setelah acara upacara selesai," jelasnya.
3. Bencana alam selalu ada saat upacara tidak dilakukan
Selama upacara tradisi ulur-ulur ini ditiadakan, beberapa bencana kerap terjadi di desa tersebut. Bencana seperti puting beliung sering terjadi saat musim kemarau. Sesepuh desa kemudian berkumpul dan membahas kejadian bencana ini. Mereka kemudian sepakat untuk menggelar kembali upacara tradisi ulur-ulur, sebagai bentuk terimakasih dan syukur atas limpahan berkah. "Akhirnya setelah upacara kembali dilakukan bencana mulai jarang terjadi," pungkasnya.
Baca Juga: Sambut Ramadan, Komunitas ODHA di Tulungagung Gelar Tradisi Megengan
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.