Perempuan Ini Dipaksa Mengaku Jika Ibunya Meninggal karena COVID-19
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jombang, IDN Times - Seorang perempuan bernama Listy Nur Khafifah (32), asal Kecamatan Peterongan, Jombang mencurahkan kekesalannya atas carut marutnya kabijakan karantina COVID-19 di Kabupaten Jombang. Listy juga mengaku sempat dibujuk oknum aparat desa agar mendapatkan bantuan.
Ia menyampaikan itu saat mengikuti hearing atau rapat dengar pendapat (RDP) di gedung DPRD Jombang, Jumat (17/7/2020). Hearing dihadiri Dinas Kesehatan (Dinkes), RSUD Ploso, dan belasan keluarga pasien COVID-19.
1. Diminta mengakui ibunya meninggal karena COVID-19
Di hadapan para wakil rakyat dan sejumlah pejabat yang hadir, Listy menceritakan saat ibunya, SZ (52), meninggal pada akhir Juni lalu. Saat itu SZ baru satu hari dirawat di rumah sakit. SZ kemudian meninggal dunia dengan diagnosis sakit jantung dan diabetes.
Beberapa saat kemudian, Listy mengaku didatangi oknum aparat desa yang meminta supaya SZ dimasukkan ke dalam kategori pasien COVID-19. Listy juga mengatakan sempat diiming-imingi akan mendapat sejumlah bantuan jika keluarganya mau mengakui kematian ibunya sebagai pasien COVID-19.
"'Mbak Listy, sampean purun ta tanda tangan mengakui bahwa ibu sampean itu meninggal karena COVID-19? (Mbak Listy, anda apakah mau tanda tangan bahwa ibu anda itu meninggal karena COVID-19?)" ujar Listy menirukan ucapan oknum perangkat desa tersebut.
"Nanti semua biaya diganti, biaya rumah sakit ibu saya itu diganti. Ada aparat desa yang bilang begitu. Saya tolak mentah-mentah," ungkap Listy.
2. Ayah dan kakaknya dinyatakan reaktif rapid test
Listy juga mengeluhkan kebijakan karantina yang dianggapnya tidak jelas. Ia melanjutkan, sejak ibunya meninggal, seluruh anggota keluarganya harus menjalani rapid test.
Setelah menjalani rapid test dua kali pada akhir Mei dan awal Juni lalu, dua anggota keluarganya yakni ayahnya, FR (66) dan kakaknya, ZM (37) dinyatakan reaktif. Saat itu pula keduanya dikarantina di gedung Tennis Indoor, Kecamatan Jombang.
“Saya sendiri di-rapid test, namun hasilnya nonreaktif. Yang saya tanyakan, kenapa hasil rapid test ini cukup lama pemberitahuan lewat telepon bidan tanggal 9 Juli,” ujarnya.
Kakaknya, ZM yang sudah sekitar satu bulan diisolasi merupakan janda dengan 5 anak yang masih kecil. Sehingga, beban keluarganya semakin bertambah setelah kelima anaknya itu terpisah dari ibunya karena diisolasi.
“Ini anak kakak saya yang lima ini sekarang semua jadi tanggungan saya, Bu. Kakak dan bapak saya sudah satu bulan diisolasi, tapi belum ada kejelasan,” keluhnya.
Baca Juga: Aliansi Santri Desak Polda Jatim Tahan Anak Kiai Jombang yang Cabul
3. Dinkes sebut jika rapid test dilakukan sesuai protokol
Di tempat yang sama, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jombang Subandriyah menyebut jika hasil rapid test keluarga Listy sudah sesuai dengan protokol. Ia mengaku tidak bisa menunjukkan hasil diagnosis tersebut, sesuai permintaan keluarga pasien selama ini.
"Terkait dengan rapid itu memang protokol kami saat itu. Apabila dia kontak PDP (Pasien Dalam Pengawasan), itu baru beberapa hari dia nonreaktif, maka diulang 10 hari lagi," kata Subandriyah.
"Apabila reaktif, maka akan lakukan swab. Memang protokolnya seperti itu. Sehingga beda dengan yang sekarang. Kalau kami ditanya begini ini seperti apa, ya maaf memang kami menjalaninya sesuai dengan pedoman yang ada," lanjutnya.
Mantan direktur RSUD Jombang itu kembali memastikan bahwa seluruh pasien yang diisolasi, baik di Gedung Tennis Indoor maupun Gedung Stikes Pemkab, akan segera dipulangkan. Sepulang isolasi mereka akan mendapat surat keterangan selesai menjalani masa karantina.
“Semua yang diisolasi lebih dari dua minggu akan kami pulangkan dengan surat keterangan selesai menjalani karantina. Jadi bukan surat sehat lho,” ucapnya.
Baca Juga: Dihantam Corona, Pengusaha Sandal di Jombang Sukses Bikin Kripik Tahu