Komunitas Selapanan Sastra, Saat Satpam hingga Pedagang Es Berpuisi

Cara pemuda Muncar Banyuwangi ekspresikan diri

Banyuwangi, IDN Times - Puluhan pemuda berkumpul di Pendopo Kantor Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Satu per satu, pemuda yang biasa hanya menghabiskan waktu untuk nongkrong, kali ini membaca puisi dan diskusi kesusastraan bersama.

Para pemuda ini membaca di hadapan puluhan orang, muda sampai yang tua di Pendopo Kantor Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi.

1. Jadi pelopor pertunjukan karya sastra di desa

Komunitas Selapanan Sastra, Saat Satpam hingga Pedagang Es BerpuisiIDN Times/Mohamad Ulil Albab

 

Kegiatan baca puisi tersebut, dipelopori sejumlah pemuda di Kecamatan Muncar yang ingin membuat gerakan produktif menulis dan membaca puisi di desanya. Mereka menamakan diri dalam kegiatan Selapanan Sastra; Ngopi, Baca Puisi dan Gesah.

"Waktu itu kami berfikir, gimana kalau membuat acara baca puisi rutin di daerah sendiri (Muncar). Karena selama ini kalau kita ingin melihat pertunjukan sastra, entah itu teater, baca puisi, kan kebanyakan hanya ada di kota Banyuwangi," kata Ketua Selapanan Sastra, Mohamad Syahrul Munir (27), usai kegiatan Selapanan Sastra, Selasa (15/1).

2. Selapanan Sastra, setiap 41 hari sekali

Komunitas Selapanan Sastra, Saat Satpam hingga Pedagang Es BerpuisiIDN Times/Mohamad Ulil Albab

 


Komunitas Selapanan Sastra terbentuk pada November 2018. Berawal dari obrolan warung kopi antar pemuda, komunitas ini terdiri dari para pemuda yang berlatar belakang berbeda. Ada yang menjadi guru, pedagang es keliling, satpam, jualan sembako, dan pelajar.

"Pertama kali kami gelar baca puisi di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Blambangan, dan kedua di Balai Desa Kedungrejo kemarin. Anggota komunitas kami sampai sekarang ada 7 orang. Dan sifatnya terbuka untuk semu orang. Termasuk petani dan nelayan yang ada di sekitar desa kami," ujarnya.

Nama Selapanan, dalam istilah Jawa berarti 41 hari sekali, mereka bakal berkumpul untuk sharing dan membaca karya puisinya masing-masing.

"Dan kegiatan ini murni swadaya dari pemuda. Dan ini sifatnya akan terus berpindah pindah tempatnya. Kegiatan selanjutnya rencana di Desa Wringinputih, Muncar, tanggal 16 Februari," terangnya.

Tidak hanya di kantor desa, ke depan, Selapanan Sastra akan terus keliling di tempat-tempat pusat kegiatan masyarakat seperti, RTH, kedai kopi dan pelabuhan nelayan Muncar.

3. Pemuda antusias baca puisi

Komunitas Selapanan Sastra, Saat Satpam hingga Pedagang Es BerpuisiIDN Times/Mohamad Ulil Albab

 


Saat kegiatan Selapanan Sastra berlangsung untuk kali kedua, banyak pemuda yang antusias ingin membaca karya puisi. Ada yang membaca karya soal potensi laut, ketokohan kyai dari sudut pandang santri, rumitnya birokrasi pemerintahan hingga soal korupsi.

"Dan banyak spontanitas ingin baca karya puisi sendiri maupun orang lain. Dan akhirnya banyak yang enggak kebagian baca puisi. Kemarin yang baca puisi lebih dari 25 orang. Ada yang tampil musikalisasi juga," paparnya.

Saat puisi-puisi dibacakan, penonton merespons dengan tepukan, tawa dan sesekali mengernyitkan dahi, ketika sajak mengajak perpikir tentang persoalan sekitarnya.

4. Ingin mengarahkan kegiatan pemuda lebih positif

Komunitas Selapanan Sastra, Saat Satpam hingga Pedagang Es BerpuisiIDN Time/Mohamad Ulil Albab

 

Selapanan Sastra, kata Munir, ibarat sesama teman sebaya yang saling mengingatkan. Kesan pemuda Muncar yang identik dengan suka minum alkohol, penyalahgunaan obat, hingga tawuran, dinilai sebagai bentuk protes yang tidak tersampaikan.

Selapanan Sastra akhirnya sebagai alternatif untuk wadah menyampaikan protes maupun pesan melalui karya sastra.

"Anak-anak yang punya potensi kami anggap hanya meluapkan protes lewat minum minum, narkoba, dan sejumlah kenakalan remaja, keinginan kami Selapanan Sastra bisa jadi wadah untuk protes anak-anak muda lewat puisi. Ke depan kami juga ingin mengembangkan teater," ujar Munir.

Baca Juga: [PUISI] Titip Rindu Untuk Ibu

5. Mendapat apresiasi sastrawan dan DKB

Komunitas Selapanan Sastra, Saat Satpam hingga Pedagang Es BerpuisiIDN Times/Mohamad Ulil Albab

 

Meski usia Selapanan Sastra baru seumur jagung, namun kegiatan ini juga mendapatkan respons dari sejumlah kalangan seniman dan sastrawan di Banyuwangi. Termasuk beberapa anggota Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) juga tampak hadir.

Salah satu sastrawan asal Muncar, Taufik WR Hidayat mengapresiasi komunitas pemuda Selapanan Sastra yang lahir di daerahnya. Sebagai bentuk penghargaan, dia melaunching buku puisinya berjudul "Kitab Iblis" dalam kegiatan tersebut. Sebuah kkumpulan karya sastranya yang sudah dipublikasikan di facebook.

"Kitab tidak harus dalam bentuk bacaan. Dalam karya ini saya beri judul Kita Iblis, sebagai manifestasi, metafora, sifat sifat iblis yang sebenarnya ada di dalam manusia, dalam perilakunya yang kadang tidak disadari manusia," terangnya.

Taufik sendiri yang juga menjadi pembina Selapanan Sastra ingin memberikan semangat menulis kepada kalangan pemuda.

"Saya menulis tidak pernah mendefinisikan sebagai apa, tapi karena puitis, kasih nama saja puisi. Seolah saya tidak punya kehendak untuk nulis. Kalaupun saya ingin menulis, ya menulis saja. Sehari-hari kerja jualan angkut beras, jualan sembako, jualan tanaman, disela- sela itu saya menulis," katanya.

Baca Juga: Ikuti Kebijakan INACA,Tarif Pesawat Rute Jakarta-Banyuwangi Diturunkan

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya