Mimpi dari Balik Jeruji Shelter Surabaya

Cerita Anak Bermasalah dengan Hukum di Surabaya

Surabaya, IDN Times –Tujuh orang anak berkepala plontos penghuni shelter Surabaya itu duduk sambil menengok. Mereka penasaran siapa yang datang. Wajah polos mereka celingukan, kedatangan tamu bukanlah hal yang biasa bagi mereka. Sepintas, mereka memang tak terlihat seperti anak-anak pada umumnya. Apalagi, ada beberapa di antara mereka ada yang bertato.

Namun, kesan itu seketika hilang saat mereka membuka percakapan. Mereka adalah anak-anak dengan status Anak Bermasalah dengan Hukum atau ABH. Di shelter itu mereka tinggal sementara untuk menunggu proses selanjutnya.

Dari tujuh anak itu, R (18) terlihat paling aktif. Maklum, ia adalah anak paling tua. R sudah tinggal di shelter sejak November 2021 lalu karena terlibat kasus pencurian.

“Di sini kegiatan kami ibadah, salat, main karambol, main catur,” ujar R.

Mei ini, R akan keluar dari shelter. Ia mengaku tak bisa membendung lagi rasa rindu terhadap anaknya. Meski usianya masih muda, R sudah memiliki anak dan istri. “Iya aku kangen anakku,” ujar R.

Setelah keluar dari shelter, keinginannya sederhana. R hanya ingin mencari uang untuk menghidupi anak istrinya. Ia ingin membuka usaha kecil-kecilan. “Aku pingin dodolan, dodolan opo ae sak ono modal (aku ingin jualan, jualan apa saja seadanya modal),” ujar R.

Penghuni lain adalah T (13). Ia penghuni shelter paling muda. T berada di shelter karena terlibat kasus pelecehan. Tubuhnya yang kurus itu, duduk nyempil di antara 6 orang lainnya.

Meski masih berusia anak, T sudah tidak lagi mengenyam pendidikan. “Aku pingin sekolah (aku ingin sekolah),” ujar T saat ditanya tentang rencana setelah keluar dari shelter. Meski berada di shelter dan terlibat kasus hukum, R, T dan 5 orang lainnya tetaplah anak-anak. Mereka memiliki hak yang sama dengan anak-anak seusianya.

1. Di shelter, hak-hak anak tetap terpenuhi

Mimpi dari Balik Jeruji Shelter Surabayailustrasi anak-anak (freepik.com/jcomp)

Koordinator Shelter, Agus Adi menuturkan, tujuh anak penghuni shelter tersebut sudah putus sekolah. Pihak shelter berusaha untuk tetap memberikan hak-hak mereka sebagai seorang anak. “Kami tetap berupaya memberikan hak-hak mereka sebagai seorang anak, meskipun bermasalah dengan hukum,” kata Agus.

Salah satu hak yang dipenuhi adalah memberikan pendidikan kepada anak-anak. Setelah keluar dari shelter, mereka akan mendapat pendidikan kejar paket.

“Kami sedang berupaya memberikan hak-hak pendidikan anak berhubungan dengan hukum ini dengan cara kejar paket sesuai jenjang pendidikan masing-masing,” tuturnya.

Bukan hanya itu, pihak shelter juga memberikan hak-hak lainnya, seperti hak bermain. Selama di shelter, anak-anak dibebaskan untuk bermain apa saja, seperti bermain bola, karambol dan catur. “Nantinya juga akan ada Playstation,” imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A PPKB) Kota Surabaya, Tomi Ardiyanto mengatakan, shelter tersebut adalah tempat penitipan sementara ABH, sebelum akhirnya mereka divonis jaksa dan dipindahkan di Lapas Anak.

“Mereka dititipkan di sini agar tidak tercampur dengan tahanan dewasa, Kepolisian atau Kejaksaan tidak punya tempat untuk anak-anak akhirnya dititipkan di shelter,” ujar Tomi.

Selama berada di shelter, anak-anak mendapat berbagai kegiatan, utamanya adalah pendidikan dan pelatihan.

“Kalau nantinya mereka lepas dari sini, mereka akan mendapat keterampilan, sehingga mereka tidak terjerat kasus lagi,” sebut Tomi. 

Untuk, membantu anak-anak agar tak melakukan kejahatan, pihaknya melakukan pembinaan secara religi. Karena hanya dengan pembinaan secara religi akan membantu anak-anak sadar bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan.

“Kita bantu memberikan pembinaan dari sisi religi,” tuturnya.

Setidaknya selama tahun 2022, pada periode Januari hingga Maret 2022 ada 10 anak yang berstatus ABH di Kota Surabaya. Di bulan Januari ada 6 orang dan bulan Maret ada 4 orang. Paling banyak terlibat kasus pencurian, yakni 7 anak, 2 anak kasus tawuran dan 1 anak kasus pelecehan seksual.

2. Penanganan hukum atas mereka berbeda

Mimpi dari Balik Jeruji Shelter SurabayaIlustrasi hukum (IDN Times/Sukma Shakti)

Tak cuma hak-hak anak seperti bermain dan pendidikan yang dipenuhi, polisi memastikan bahwa penanganan hukum terhadap mereka harus dibedakan. Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya, Ipda  Tri Wulandari menjelaskan ada banyak perbedaan antara proses hukum yang dilalui pelaku anak dengan pelaku dewasa.

“Pelaku anak mendapatkan perlakuan khusus selama proses hukum, tapi biasanya anak-anak lebih bisa dipercaya dari orang dewasa,” ujar Wulan saat ditemui IDN Times.

Selama proses pemeriksaan misalnya, pelaku anak harus didampingi kuasa hukum dan orangtua. “Semua pertanyaan yang diajukan penyidik harus dijjawab oleh pelaku anak, itu harus ada pendampingan dari orang tua,” tuturnya.

Kepolisian juga akan bekerjasama dengan Balai Permasyarakatan (Bapas) untuk mengidentifikasi apa yang menjadi penyebab anak menjadi pelaku. “Bapas akan turun ke masyarakat, lingkungan anak tersebut tinggal hingga sekolah, apa sih yang membuat anak demikian,” sebut Wulan.

Bukan hanya itu, waktu penahanan pelaku anak dengan pelaku dewasa juga berbeda. Jika waktu penahanan dewasa adalah 20 hari dan masa perpanjangan 40 hari. Sementara waktu penahanan anak hanya 7 hari dan perpanjangan 8 hari.

“Jadi cuma 15 hari penahanan, setelah itu  kita harus melimpahkan ke Kejaksaan,” ungkapnya. Selama proses penahanan, anak-anak pun dititipkan di shelter. “Kalau kita biasa menitipkan di shelter milik Provinsi Jatim, kalau shelter Surabaya kita jarang,” ujar Wulan.

Selama dua tahun terakhir ini sejak awal 2021 hingga pertengahan 2022, Kanit PPA juga mencatat ada tiga orang pelaku kekerasan seksual yang masih berusia anak dan sudah melalui proses hukum. “Kasus tahun 2021, pelaku berumur 10 tahun dan kasus di tahun 2022 pelaku berumur 13 dan 15 tahun,” jelasnya.

3. Faktor lingkungan mendominasi anak-anak melakukan tindakan kriminal

Mimpi dari Balik Jeruji Shelter Surabayailustrasi borgol (IDN Times/Mardya Shakti)

Agar jumlah ABH tak terus bertambah, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim pun memberikan sarannya. Menurut mereka lingkungan tempat anak tinggal harus diperhatikan.  Sekretaris LPA Jawa Timur, Isa Ansori mengatakan anak-anak berstatus ABH atau yang pernah menjadi pelaku kriminalitas biasanya tinggal di lingkungan kelas menengah bawah. Mereka diasuh oleh lingkungan yang keras, bahkan Jauh dari nilai-nilai rumah.

"Dampak dari pengasuhan yang tidak maksimal ini kemudian mereka tidak tahu mana yang baik dan tidak. Bahkan lingkungan juga tidak melarang. Dan ini (tindakan kriminal) menjadi benar bagi mereka. Akhirnya mereka terjerumus tindakan-tindakan kriminal itu tadi," ujarnya.

Faktor berikutnya mengapa anak-anak bisa menjadi pelaku kriminal adalah karena butuh aktualisasi diri untuk dapat diakui. Sayangnya, rumah dan lingkungan sering kali tidak mendukung anak untuk mendapat pengakuan.

"Apalagi lingkungan sekolah, sering kali di sekolah hanya anak-anak yang berprestasi mendapatkan ruang. Sementara anak-anak yang lain tidak. Karena dia tidak mendapatkan ruang maka dia mencari tempat untuk menunjukkan dirinya," jelas Isa.

Tanpa pengakuan yang maksimal dari lingkungan dan rumah, maka yang dilakukan adalah dengan cara berbuat kriminal, misalnya mencuri untuk memenuhi kebutuhannya agar bisa eksis. "Nah sekolah kita ini kan kejam hal seperti itu dianggap memalukan kalau perlu kemudian dikeluarkan dari sekolah," tuturnya.

Baca Juga: Bandel Banget, Polisi Kembali Tangkap Pelaku Tawuran di Surabaya

4. Negara harus hadir memberikan ruang anak untuk berekspresi

Mimpi dari Balik Jeruji Shelter Surabayailustrasi anak-anak (freepik.com/jcomp)

Isa mengatakan semua pihak, terutama pemerintah harus terlibat aktif dalam penanganan ABH. Pemerintah harus hadir untuk memberikan ruang bagi anak untuk berekspresi. Misalnya untuk mencegah adanya tawuran di jalan, maka negara bisa memfasilitasinya dengan kegiatan lain seperti menyediakan sasana tinju.

"Agar tidak ada balap sepeda liar, maka pemerintah menghadirkan sirkuit yang bisa digunakan anak-anak," kata Isa.

Selain itu, RT dan RW setempat juga diminta untuk mengawasi anak-anak agar anak-anak tersebut tidak terlibat kriminalitas. Kemudian, Satpol PP dan Kepolisian melakukan tugasnya untuk menindak dan menyisir wilayah-wilayah yang rawan terhadap tindakan kriminalitas yang dilakukan anak.

" Menurut undang-undang anak, anak ini adalah korban, korban dari perlakuan yang salah, sistem yang salah yang kemudian terjadi yang kita saksikan sekarang ini," terangnya.

Selain itu, Isa menjelaskan ketika anak sudah pernah menjalani proses hukum, maka yang perlu dilakukan agar anak tersebut tidak kembali melakukan tindakan kriminal adalah membangun komunikasi yang efektif kepada anak. Apa yang menjadi keinginan anak harus digali.

"Maunya apa, dengan komunikasi maka akan tau penyebabnya apa sih, sehingga tau penangannya seperti apa, kita ini, negara ini menempatkan diri sebagai pendengar dan memberikan solusi atas apa yang didapat dari proses komunikasi tadi," pungkasnya.

Ketika ada keterbukaan, dan komunikasi terbangun dengan baik maka anak-anak yang berhubungan dengan hukum atau telah melalui proses hukum, akan memiliki kesadaran akan hal itu. Kriminalitas pada anak pun dapat dicegah.

Baca Juga: Setitik Senyum Anak Korban Kekerasan di Shelter Surabaya

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya