Ki Madiro, Potret Penghayat Sapta Darma di Tengah Kota Metropolitan

Tuhan itu nomor dua, hidup nomor satu

Surabaya, IDN Times - Orang-orang memanggilnya Ki Diro, pria 60 tahun itu bernama lengkap Ki Madiro. Di tengah gemerlapnya kota Metropolitan ini, Ki Diro masih berpegang teguh pada penghayat kepercayaan, Sapta Darma. Berdasarkan beberapa literatur seperti situs resmi UIN Surabaya, ajaran Sapta Darma mulanya diperkenalkan oleh Hardjosapoero, seorang juru pangkas rambut dari Pare, Kediri. Ia mengaku mendapat sebuah wahyu pada dini hari, Jumat Wage, 27 Desember 1952. Ia mengaku didorong untuk bersujud ke arah timur oleh kekuatan yang tak bisa dilawannya.

IDN Times pun bertemu dengan Ki Diro di Sanggar Candi Busana, tempat komunitas ini beribadah, Rabu (7/9/2022). Letaknya tak jauh dari gedung-gedung bertingkat di jalan Darmo Permai Selatan, Surabaya barat. Saat ditemui IDN Times, Ki Diro menunggu jam sembilan malam untuk melakukan ibadah yang disebutnya sebagai sujud. 

“Kita memang untuk sampurnane urip (kesempuraan hidup). Tuhan itu nomor dua, kita bekerja dulu baru ibadah. Menurut saya Sapta Darma ini untuk menyongsong di era jaman maju,” kata ki Diro. Orang-orang Sapta Darma, kata dia, hidup untuk mencari kebahagiaan dan kedamaian dalam dirinya. Masalah akhirat adalah nomor dua.

Sembari menunggu sujud, Diro menunjuk kain putih di samping kami. Kain itu adalah media untuk Orang-orang Sapta Darma beribadah. Serta gambar Semar di depannya sebagai simbol gambaran roh suci manusia.

“Sujud itu kami menghadap ke arah timur dengan kain putih kalau di Islam namanya sajadah.  Lalu kami duduk sendakep atau melipat tanagn dan menata hati sambil memejamkan mata. Sampai dirasa kita hening, baru kita mengucap asma Tuhan. Allah yang maha agung, Allah yang maha rahim dan Allah yang maha adil, itu kita menyebut asmo tigo,” ujar Ki Diro.

Ki Diro menyebut, pedoman hidup yang di jalankan Sapta Darma adalah Wewarah Sapta Darmo yang terdiri dari Tujuh pedoman. Tujuh pedoman tersebut harus dijalankan Orang-orang Sapta Darma, antara lain:

  1. Setyo tuhu marang ananing Pancasila,  yang berarti setia menjaga Pancasila.
  2. Kanthi jujur lan sucining ati netepi angger-angger ing negara, yang berarti dengan jujur dan kesucian hati mematuhi aturan hukum yang ada di negara.
  3. Melu cawe-cawe jogo adeging bangsa lan negarane, artinya ikut berjuang menjaga kemerdekaan bangsa dan negaranya.
  4. Tetulung nang sopo bae yen perlu, kanthi ora duwe pamrih kejobo mergo roso welas lan asih, yang artinya membantu kepada siapa saja yang membutuhkan, tanpa pamrih kecuali berdasarkan rasa kasih sayang.
  5. Wani urip kanthi kapitayan soko kekuatane dewe, yang artinya berani hidup dengan percaya pada kekuatan kita sendiri.
  6. Tanduke nang bebrayan kanthi alusing budi pekerti tansah gawe pepadang lan mareme liyan yang artinya sikap bersosialisasi dengan kehalusan budi pekerti. Selalu membawa kebahagian dan pencerahan bagi manusia lainnya.
  7. Percoyo yen kahanan dunyo kui owah gingsir, yang artinya percaya jika keadaan dunia itu seperti roda yang berputar.

Baca Juga: Mbah Guno, Penghayat Kejawen yang Menolak Menjadi Kapitalis Pahala

Ki Madiro, Potret Penghayat Sapta Darma di Tengah Kota MetropolitanSalah satu penganut Sapta Darma sedang beribadah, Rabu (7/9/2022). IDN Times Khusnul Hasana.

Karena telah mengamalkan tujuh perintah itu, Ki Diro tak malu mengakui dirinya sebagai seorang penganut Sapta Darma. Di tempat dia tinggal misalnya, ia merasa sangat diterima tanpa ada diskriminasi. Menurutnya ini jadi gambaran bahwa kaum urban ternyata bisa menerima pilihan berkeyakinan seseorang.

"Diskriminasi gak ada. Dulu kalau ada istighosah, saya diundang, terus saya bilang, saya bukan Islam, ya akhirnya saya gak diundang lagi. Tapi kalau ada acara kematian, saya tetap ikut, menghormati," ungkap Diro. 

Dirinya, juga mengaku tak segan membantu para tetangga saat ada kegiatan keagamaan. "Sound system saya biasanya untuk istighosah di kampung," tutur Diro. 

Meski demikian, Ki Diro mengaku masih ber-KTP Islam. Ia masih belum mengganti status KTP-nya menjadi penghayat kepercayaan. "Ya tidak takut sih, hanya sedikit khawatir saja, minder tidak," sebut Diro. Sebaliknya, ia tak mempersoal status agama di KTP-nya. Baginya, status agama tersebut hanya sebagai tulisan belaka. "Saya tidak masalah, yang penting jiwa tetap penganut Sapta Darma," tutur Diro

Suatu saat nanti, kata Diro, status agama di KTP-nya itu akan ia ubah menjadi penghayat kepercayaan. Tentu itu juga bagian dari yang ia inginkan. "Mau nanti mengurus (KTP Kepercayaan), saya juga dimintai bantuan untuk mengurus anggota yang lain," pungkasnya.

Baca Juga: 450 Penganut Sapta Darma di Semarang Sudah Dapat e-KTP Penghayat

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya