Rapat Raksasa Surabaya, Peristiwa Sejarah yang Kerap Terlupa

Tak kalah heroik dari rapat akbar di lapangan IKADA

Surabaya, IDN Times - Sebutan Kota Pahlawan bagi Kota Surabaya bukanlah tanpa sebab. Peristiwa heroik yang dilakukan oleh para arek-arek Suroboyo amat berarti bagi sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Sayangnya, tak semua peristiwa tercatat dengan baik dalam sejarah. Salah satunya yaitu Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari Surabaya pada September 1945.

1. Rapat Raksasa Surabaya tempat berkumpulnya ratusan ribu arek Suroboyo

Rapat Raksasa Surabaya, Peristiwa Sejarah yang Kerap TerlupaGelora 10 Nopember Surabaya. IDN Times/Fitria Madia

Peneliti sejarah dari komunitas Roode Brug Soerabaia, Ady Setyawan menggambarkan bagaimana suasana Rapat Raksasa yang menggugah nasionalisme bangsa. Berdasarkan dokumentasi surat kabar Soeara Merdeka pada tanggal 20 September 1945, pertemuan akbar arek-arek Suroboyo itu menggelorakan semangat nasionalisme.

Ady menjelaskan, saat itu para penjajah dari Jepang masih berkeliaran dan petatang-peteteng meski Sukarno sudah menyatakan proklamasi kemerdekaan. Arek-arek Suroboyo tak gentar. Mereka kemudian berkumpul menjadi satu dalam jumlah ratusan ribu orang di Lapangan Tambaksari (yang kini jadi Stadion Gelora 10 November) untuk membulatkan tekad kemerdekaan.

Beberapa tokoh yang hadir menjadi pembicara dan membakar semangat rakyat Surabaya yaitu Sudirman, Doel Arnowo, dan Bambang Soeparto.

"Semangat rakjat jang hadir meloeap-loeap. Sang Merah Putih melambai-lambai di segenap pelosok dengan gagahnja, menoendjoekkan isi hati rakjat mempertahankan Kemerdekaan Tanah Airnja," sebut surat kabar itu seperti yang dikutip dalam buku Ady yang berjudul Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?.

2. Semangat kemerdekaan menggebu di Rapat Raksasa Surabaya

Rapat Raksasa Surabaya, Peristiwa Sejarah yang Kerap TerlupaStadion Gelora 10 November. IDN Times/Istimewa

Ady menuturkan bahwa Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari ini menggambarkan semangat juang rakyat Surabaya kala itu. Tak salah disebut sebagai Kota Pahlawan, cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia mengalir di setiap nadi warga Surabaya.

"Suasana kemerdekaan di sini sangat terasa, berbeda dengan Batavia. Itu bisa kita saksikan di memoarnya Bung Tomo. Di Surabaya orang sudah berjalan tegak. Di Batavia, orang kalau ketemu orang Jepang masih nunduk-nunduk. Apalagi ketika rapat raksasa itu diadakan, semangat yang sangat menggelegar dan membara dijadikan satu. Semakin disulut dibakar lagi," ujar Ady kepada IDN Times, Senin (16/8/2021).

Bahkan, di akhir Rapat Raksasa itu terdapat pengucapan sumpah yang semakin menyulut semangat arek-arek Suroboyo. Sumpah ini dipercaya menjadi cikal bakal "medeka atau mati" yang menjadi slogan utama selama Perang Surabaya.

Baca Juga: Tak Banyak Dikisahkan, Inilah Sosok Para Pahlawan Tanpa Gelar

3. Berbagai versi tanggal pelaksanaan Rapat Raksasa Surabaya

Rapat Raksasa Surabaya, Peristiwa Sejarah yang Kerap TerlupaProses penanaman rumput di Stadion Gelora 10 November beberapa waktu lalu. Dok Humas Pemkot Surabaya

Sayangnya, peristiwa bersejarah ini tak banyak dikenal oleh warga Kota Surabaya. Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari ini tak banyak dibicarakan dibanding Rapat Raksasa di Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) Jakarta.

Salah satu polemiknya adalah kepastian tanggal terjadinya Rapat Raksasa Surabaya ini. Berdasarkan hasil triangulasi data yang dilakukan Ady, ia mempercayai bahwa Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari terjadi pada 13 September 1945. Hal ini berdasarkan hasil penyocokan data surat kabar Soeara Asia dan Soeara Merdeka. Pada Soeara Merdeka tanggal 20 September 1945 tertulis bahwa Rapat Raksasa Surabaya telah terlaksana.

"Surat kabar itu lebih bisa dipercaya karena ada bukti cetaknya. Sementara memoar itu kan berdasarkan ingatan. Ingatan orang ini bisa salah. Makanya banyak versi dari tanggal Rapat Raksasa ini," ungkapnya.

Versi Ady ini paling memungkinkan jika Rapat Raksasa benar-benar merupakan penyulut semangat arek-arek Suroboyo sebelum kejadian perobekan bendera merah-putih-biru di Hotel Yamato dan pecahnya perang Surabaya. Bahkan, dalam memoarnya, Hario Kecik mengatakan bahwa ia merasakan akan ada momentum besar di Kota Surabaya.

"Sebuah momen yang bersejarah. Saya rasakan itu! Saya mendengarkan semua pidato dari tempat saya di baris depan. Kami semua pulang dengan keyakinan sesuatu yang besar akan terjadi."

Sementara itu, di versi lain, peniliti asal Australia Frank Palmos dalam bukunya Surabaya 1945: Sakral Tanahku mempercayai bahwa Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari terjadi pada 23 September 1945.

“Memang ada ketidaksepakatan tentang tanggal pasti kedua rapat tersebut. Tapi disimpulkan bahwa versi Soehario dan Abdulgani yang menyebutkan 17 September untuk Rapat Pasar Turi lebih kecil dibanding 23 September di Tambaksari adalah yang paling tepat. Beberapa artikel lain menyebut rapat-rapat ini diadakan 11 dan 17 September. Yang disepakati semua pihak adalah ada jeda 6 hari antara kedua rapat tersebut,” ungkap Palmos seperti yang dikutip majalah sejarah daring Historia.id.

Sementara di versi lain, pemimpin Pemuda Republik Indonesia (PRI) Soemarsono bersaksi bahwa Rapat Raksasa Surabaya di Lapangan Tambaksari terlaksana pada 21 September 1945. Dalam memoarnya "Pemimpin Perlawan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan", Soemarsono menggambarkan suasana rapat kala itu.

"Kaum buruh, pemuda, pelajar, tukang becak, kaum perempuan, seluruh rakyat, di mana-mana menyambut ajakan menghadiri Rapat Samudera di Tambaksari jam 4 sore 21 September 1945 dengan pekik merdeka," tulisnya.

4. Semangat Rapat Raksasa harus diteladani seterusnya

Rapat Raksasa Surabaya, Peristiwa Sejarah yang Kerap TerlupaProses penanaman rumput di Stadion Gelora 10 November beberapa waktu lalu. Dok Humas Pemkot Surabaya

Di samping kesimpangsiuran tanggal pelaksanaan Rapat Raksasa, Ady menekankan pentingnya pelestarian makna rapat akbar itu hingga ke generasi muda. Ia mengingatkan bahwa sejatinya arek-arek Suroboyo merupakan pejuang yang tak takut mati demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia.

"Kenapa orang-orang rela mati? Mereka gak mau lagi dijajah. Mereka gak mau lagi ada sistem segregasi, rasisme. Di jalanan itu ditempel-tempel tulisan dilarang masuk untuk pribumi dan anjing. Akhirnya ini berdampak ke berbagai sektor seperti ekonomi hingga pendidikan," tuturnya.

Sayangnya, Ady menganggap bahwa saat ini banyak warga Surabaya bahkan bangsa Indonesia sudah melupakan semangat menggebu-gebu kemerdekaan. Alhasil, kini banyak pihak yang mengkhianati bangsanya sendiri salah satunya melalui korupsi.

"Kalau generasi sekarang paham kalau orang-orang hidup berkorban untuk itu, mereka akan mikir berpuluh-puluh kali lipat untuk mau korupsi. Itu pengkhianatan betul. Nilai-nilai kepahlawanan, kemanusiaan, ini yang penting banget. Nilai-nilai ini yang tampak banget di era 45," pungkasnya.

Baca Juga: Stadion Gelora 10 November Siap Sambut Piala Dunia U-20

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya