Catatan Dugaan Kekerasan Polisi Pada Aksi Tolak Omnibus Law di Grahadi

Mereka mengaku dipukul, ditendang, dipecut oleh para polisi

Surabaya, IDN Times - Pagi itu, Kamis (8/10/2020), seorang mahasiswa semester 3 berpamitan kepada kedua orangtuanya untuk mengikuti demonstrasi penolakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja di Gedung Negara Grahadi. Sesuai nama yang diberikan kepada anaknya, Bintang Keadilan, kedua orangtuanya pun memberikan izin sang anak turut andil membela kedilan di negeri pertiwi. Mereka hanya berpesan agar Bintang menjaga diri dan tidak berbuat anarkis. Bintang setuju dan meninggalkan rumah dengan tenang.

Sayangnya, pagi yang indah itu berakhir dengan muram. Bintang tak kunjung pulang hingga keesokan harinya tanpa ada kabar. Ternyata, ia ditangkap oleh kepolisian. Tak hanya itu, Bintang juga pulang dengan sejumlah luka dan darah yang melumuri pakaiannya.

Kulit tangan kanannya terluka lebar hingga membutuhkan jahitan, lima luka ada di kepala hingga membuatnya berdarah, lebam-lebam bekas pecutan juga mewarnai punggung Bintang yang bekasnya tak hilang sampai saat ini. Bintang mengatakan bahwa luka-luka itu ia dapatkan bukan dari kerusuhan demonstrasi, melainkan dari aparat kepolisian.

“Saya tidak terima. Saya sangat kecewa sekali rasanya,” ujar Pakapur, ayah Bintang.

Bintang hanya salah satu dari sekian korban yang mengaku mendapatkan kekerasan dari kepolisian saat mengikuti aksi tolak omnibus law saat itu. Demonstrasi yang berujung ricuh hingga hujan gas air mata tersebut membuat polisi menangkap setidaknya 509 orang massa demonstrasi. Mereka menginap di Mapolrestabes Surabaya dan Mapolda Jatim. Namun, penangkapan tersebut diwarnai dengan kekerasan terhadap sejumlah orang hingga menyisakan bekas luka fisik dan batin.

1. Bintang digeret dan dipukuli saat terluka

Bintang menceritakan, saat memasuki sore hari sekitar pukul 16.00 WIB ketika gas air mata pertama kali ditembakkan, ia sibuk membantu paramedis untuk mengevakuasi massa aksi yang terjatuh dan lemas di dalam kerumunan. Ia menggotong mereka menuju posko Paramedis Jalanan yang terletak di depan sekretariat PMKRI, sekitar 100 meter dari titik aksi.

“Ngelihat kondisi orang-orang yang butuh bantuan jadi saya bantu. Manusiawi saja. Saya cuma bantu-bantu bukan termasuk paramedis,” tutur Bintang kepada IDN Times.

Setelah beberapa kali bolak-balik menuju kerumunan dan posko medis, Bintang akhirnya turut terluka. Telinganya terkena selongsong gas air mata yang ditembakkan ke arah massa aksi. Ia pun beristirahat di posko medis saat menjelang malam. Namun tiba-tiba, sejumlah aparat kepolisian menerobos masuk ke posko tersebut. Beberapa orang pun ditarik paksa keluar tanpa alasan yang jelas. Padahal, mereka adalah relawan paramedis atau orang yang sedang terluka seperti Bintang.

“Ayo kamu keluar,” ujar Bintang menirukan ucapan polisi kepadanya.

Bintang pun berjalan tertatih saat digeret sambil menahan sakit di telinganya. Tapi ia malah mendapat tambahan luka dari pipa besi yang dihantamkan ke kepala dan tangannya. Ia juga mendapat tendangan di bagian kemaluan. Ketika dibawa ke Mapolda Jatim, ia juga mendapat pecutan dari benda sejenis rotan di bagian punggung. Bintang hanya bertanya-tanya, kenapa ia mendapatkan semua perlakuan ini?

“Kalau saya memang perusuh, atau anarkis, saya pasti sekarang ditahan. Tidak dibebaskan. Tapi buktinya kan tidak. Saya sibuk membantu paramedis waktu itu sebelum telinga saya ikut sakit juga,” ungkapnya.

2. Alfin dan Shafa ditangkap saat meliput

Catatan Dugaan Kekerasan Polisi Pada Aksi Tolak Omnibus Law di GrahadiKondisi Edwin Alfiansyah saat keluar dari Mapolda Jatim, Jumat (9/10/2020). Ia masih mengenakan seragam Persmanya namun dengan wajah lebam bekas tendangan. Dokumentasi Istimewa

Jika Bintang digeret paksa saat sedang terluka, berbeda kisah dengan Edwin Alfiansyah. Saat itu sekitar pukul 15.30 WIB, Alfin, panggilan akrabnya, tengah sibuk membidik gambar dengan kamera di tangannya. Ia menjalankan tugas sebagai seorang pers mahasiswa dari Universitas Negeri Surabaya untuk melakukan peliputan di aksi tersebut.

Kala itu, massa di sebelah timur tiba-tiba mengamuk setelah kondisi sempat tenang sejenak. Alfin pun sontak berlari ke arah timur di dekat kerumunan massa untuk mengambil gambar. Namun ternyata, kameranya juga menangkap adegan polisi menyeret paksa beberapa orang ke dalam Grahadi dengan sejumlah tindak kekerasan.

“Terus saya didatangi polisi. Disuruh hapus gambarnya. Saya hapus. Tapi ada satu polisi lain yang bilang suruh bawa ke belakang. Akhirnya saya ikut digeret,” jelas Alfin.

Saat itu, Alfin sudah menjelaskan bahwa ia adalah pers mahasiswa yang sedang meliput. Ia juga menunjukkan kartu pers serta seragam Persma yang ia tengah kenakan. Alfin pun tidak terlibat kerusuhan atau pengerusakan apa pun. Tapi ia malah ikut digeret ke serambi Grahadi, tempat di mana massa aksi lain yang ditangkap berkumpul.

Tak hanya pemaksaan untuk menghapus gambar dan penangkapan, Alfin pun turut mendapatkan kekerasan fisik. Setibanya di depan Grahadi, wajahnya ditendang oleh polisi dengan sepatunya yang keras itu. Alhasil, bibir bawah Alfin sobek. Masker yang ia kenakan saat itu pun basah terkena rembesan darah. Tak cukup sampai di situ, Alfin juga mendapat pecutan sejak berangkat dari Grahadi hingga di Mapolda Jatim.

Perlakuan serupa juga didapatkan oleh Shafa Winardy, seorang jurnalis mahasiswa dari Politeknik Negeri Malang. Jauh-jauh dari kota lain, Shafa malah mendapatkan siksaan. Hasil liputannya diminta dihapus, kamera dan handphonenya disita, serta beberapa kekerasan fisik lainnya.

“Pas saya ditangkap perjalanan di bawa ke dalam grahadi kepala saya dikeplak. Terus pas mau ke Polda itu pas jalan jongkok disepak. Pada saat turun dari truk di Polda dipecut. Kalau disepak sama dikeplak sekarang sudah gak apa-apa. Tapi yang dipecut itu masih perih sampai sekarang,” ungkapnya.

3. Para jurnalis tak luput dari aksi kekerasan

Catatan Dugaan Kekerasan Polisi Pada Aksi Tolak Omnibus Law di GrahadiSuasana demo menolak Omnibus Law di Gedung Grahadi, Kamis (8/10/2020). IDN Times/Fitria Madia

Tak hanya massa aksi yang mendapatkan kekerasan dari aparat kepolisian, jurnalis pun tak luput dari sasaran mereka. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mencatat setidaknya ada enam jurnalis yang dipaksa menghapus gambar hasil liputannya. Beberapa dari mereka juga mendapatkan kekerasan fisik maupun verbal seperti bentakan. Salah satunya adalah Jurnalis cnnindonesia.com Farid Miftah Rahma. Polisi berusaha merebut telepon genggam dari tangan Farid dan mengeluarkan ancaman kekerasan.

“Seorang polisi mengancam Farid dengan kalimat ‘Mas, mau saya pentung?’. Farid sudah mengaku sebagai jurnalis saat ancaman itu ia dapatkan. Sementara Miftah Faridl ditantang berkelahi seorang polisi yang melarangnya mengambil gambar. Farid sudah mengaku sebagai jurnalis saat polisi mengintimidasinya,” jelas Ketua AJI Surabaya Miftah Faridl dalam keterangan persnya.

Sementara jurnalis IDN Times menyaksikan sendiri bagaimana seorang anggota polisi membentak dan mendorong tubuh jurnalis detik.com, Esti Widyana. Saat itu Esti merekam proses penangkapan massa aksi di dalam Gedung Negara Grahadi. Seorang anggota polisi yang sempat turut menggeret peserta aksi itu datang menghampiri Esti, membentak dan berusaha merebut telepon genggam milik Esti. Bahkan Esti mengalami kejadian ini tak hanya sekali, melainkan tiga kali selama meliput demo di hari tersebut.

“Alih-alih melindungi kerja-kerja jurnalis, aparat keamanan malah menjadi salah satu pelaku. Intimidasi dan upaya penyensoran, sering kali terjadi dan tidak satu pun kasus tersebut yang diselesaikan sesuai undang-undang. Impunitas dilestarikan sehingga kasus penyerangan, intimidasi dan penyensoran terus berulang,” lanjut Miftah Faridl.

4. LBH dan KontraS Surabaya berusaha mengadvokasi para korban

Catatan Dugaan Kekerasan Polisi Pada Aksi Tolak Omnibus Law di GrahadiBekas luka milik Shafa Wardany, persma Polinema yang ditangkap oleh polisi saat meliput demo Omnibus Law di Grahadi, Kamis (8/10/2020).

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang bekerja sama dalam Tim Advokasi Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) pun mengumpulkan sejumlah aduan dari para massa aksi yang mendapatkan kekerasa. Kepala Bidang Kasus Buruh dan Miskin Kota LBH Surabaya, Habibus Sholihin menyampaikan, sejak pembebasan para demonstran pada Jumat (9/10/2020), hingga kini pihaknya sudah menerima beberapa aduan terkait kekerasan yang dilakukan polisi.

Namun, Habibus tak menyebut secara rinci jumlah pasti laporan yang masuk ke LBH. Para demonstran yang mayoritas masih berusia di bawah 18 tahun tersebut mengaku mendapatkan tindak kekerasan dari aparat kepolisian. Kekerasan ini terjadi sejak proses penangkapan para demonstran seperti pemukulan dengan tangan dan benda tumpul.

“Para korban sudah kami minta untuk melakukan visum sebagai bukti tindak kekerasan. Hingga saat ini kami masih kaji tindak lanjutnya akan seperti apa,” tutur Habibus.

Sebagai salah satu orangtua korban, Pakapur juga turut mengadu ke LBH Surabaya. Ia tidak terima anaknya yang berangkat dari rumah sehat wal afiat malah pulang dalam keadaan luka-luka tanpa alasan yang jelas. Ia dan orangtua lainnya bersama-sama mencari keadilan bagi anak mereka.

“Saya tidak terima. Mereka sudah salah tangkap. Saya mau mencari keadilan untuk anak saya,” ungkap Pakapur berapi-api.

Sementara itu, KontraS sudah menjadi kuasa hukum atas tiga orang anak yang saat ini berstatus sebagai tersangka perusakan saat demonstrasi tersebut. Tiga orang anak ini mengeluh tulang rusuknya sakit lantaran mendapat tendangan dan pemukulan dari aparat kepolisian saat proses penangkapan. Sedangkan satu anak mengalami trauma psikis.

“Polisi dalam melakukan penangkapan secara semena-mena. Dan tidak hanya secara semena-mena juga melalukan kekerasan. Orang yang ditangkap saat itu tidak melakukan perlawanan, tidak membawa senjata, mereka menyerah saja tapi tetap dipukul. Itu sudah dikonfirmasi oleh 3 orang anak yang kita dampingi,” tutur Koordinator KontraS Surabaya, Rahmat Faisal .

Baca Juga: Massa Ricuh di Grahadi Lempar Molotov, Polisi Balas Gas Air Mata

5. KontraS catat beberapa pelanggaran polisi

Catatan Dugaan Kekerasan Polisi Pada Aksi Tolak Omnibus Law di GrahadiSuasana demo menolak Omnibus Law di Gedung Grahadi, Kamis (8/10/2020). IDN Times/Fitria Madia

Dengan adanya temuan kekerasan-kekerasan ini, KontraS menilai bahwa Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya telah melakukan beberapa pelanggaran. Setidaknya mereka telah melanggar Perkap No. 8 tahun 2009, pasal 11 huruf (b) yang menyatakan; setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan, dan huruf (d) yang menyatakan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia.

Serta melanggar pasal 33 ayat (1) dalam UU No. 39 th 1999 yang mengatakan bahwa, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

Oleh karena itu, KontraS mendesak Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya untuk mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada para korban. Mereka juga meminta agar kepolisian melakukan evaluasi internal dan menindak aparatnya yang terbukti melakukan kekerasan tersebut. Selain itu, KontraS meminta agar kepolisian memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban.

“Model" pelanggaran ini akan terus berulang jika kemudian kepolisian tidak serius mengimplementasikan HAM dalam tindakan-tindakan kepolisiannya. "Saya rasa ini sekaligus bentuk menunjukkan bahwa reformasi kepolisian masih jauh dari harapan publik. Menciptakan kepolisian yg akuntabel dan profesional masih jauh dari harapan,” tegas Faisal.

6. Polisi mengelak sudah melakukan kekerasan

Catatan Dugaan Kekerasan Polisi Pada Aksi Tolak Omnibus Law di GrahadiAksi menolak Omnibus Law di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis, (8/10/2020). IDN Times/Fitria Madia

Aduan para korban pun buru-buru dibantah oleh Polrestabes Surabaya dan Polda Jatim. Mereka sama-sama mengelak telah melakukan kekerasan kepada para peserta demonstrasi yang mereka tangkap. Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Jhonny Isir mengatakan bahwa tidak ada tindak kekerasan dan penerobosan serta penangkapan paksa di posko medis peserta aksi.

“Kami tidak ada (yang melakukan itu),” ujarnya Jumat (9/10/2020) saat konferensi pers di Mapolrestabes Surabaya.

Ketika ditanyai terkait tindakan kekerasan, upaya perampasan dan pemaksaan untuk menghapus dokumentasi para jurlanis, Isir juga mengelak. Ia malah menyalahkan jurnalis yang disebut tidak mengenakan identitas pers selama peliputan demonstrasi. Namun yang perlu diketahui, masyarakat sipil non pers pun juga tak pantas mendapatkan tindakan tersebut.

“Kita harus memahami kondisi di lapangan. Ya, saya pikir itu. Karena kawan-kawan juga kalau memakai kartu pers dan sebagainya. Nah, sekarang mana? Siapa yang memakai kartu pers? Ada yang pakai? artinya ayo mari kita sama-sama, karena ini situasi di lapangan,” ujar Isir. Dalam konteks ini, konferensi pers memang hanya diikuti oleh jurnalis saja.

Selain itu Kassubag Humas Polrestabes Surabaya, AKP M Akhyar juga menampik data aduan yang dimiliki oleh LBH Surabaya. Menurutnya polisi tetap menghormati para massa demonstrasi meski mereka melakukan pengerusakan fasilitas umum.

"Gak ada yang begitu. Bonek saja satu kemarin terluka matanya kena gas air mata dirawat di RSUD Soewandhie. Itu yang menanggung biaya Pak Kapolres," ungkapnya.

Senada dengan Isir dan Akhyar, Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan bahwa tidak ada tindak kekerasan yang dilakukukan aparatnya kepada peserta aksi yang sempat ditahan di sana. Saat ini Truno memilih untuk fokus ke penyidikan dua tersangka yang sudah ditetapkan dari ratusan orang yang ditangkap.

“Tidak, tidak ada,” sebutnya.

Baca Juga: Polisi dan Pemkot Surabaya Kejar Perusak CCTV Grahadi

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya