Wacana PPKM Mikro, Pakar Epidemiologi: Kita Seperti Punya Peta Buta

Kebanyakan istilah, padahal yang paling penting testing rate

Surabaya, IDN Times - Pakar Epidemiologi Univeristas Airlangga (Unair), dr. Windhu Purnomo angkat bicara soal wacana adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro. Menurutnya, PPKM Mikro tak jauh beda dengan Kampung Tangguh, hanya beda istilah. PPKM Mikro juga bisa diartikan sebagai karantina wilayah skala kecil.

1. Karantina wilayah secara mikro akan susah diterapkan

Wacana PPKM Mikro, Pakar Epidemiologi: Kita Seperti Punya Peta ButaTim Kajian Epidemiologi FKM Unair Dr. Windhu Purnomo saat konferensi pers di Gedung Negara Grahadi, Jumat (8/5). Dok Istimewa

Nah, apabila yang dimaksud karantina wilayah skala mikro, Windhu mengatakan, berarti ada wilayah RT/RW/Desa-Kelurahan yang dikarantina dan tidak dikarantina. Dia menaksir, penerapannya akan rancu dan sulit dilakukan.

"Apa indikator penetapan wilayah-wilayah mikro yang akan dikarantina dan yang tidak? Bukan kah dalam kondisi testing rate dan contact tracing yang sangat kecil. Tidak robust di Indonesia, tiga persen populasi saja belum sampai. Kita seperti punya peta buta, sehingga tidak bisa menetapkan wilayah mikro yang berisiko tinggi dan rendah," ujarnya, Minggu (7/2/2021).

"Apakah wilayah mikro yang dianggap berisiko rendah karena tidak ada kasus atau kasusnya sedikit, memang benar-benar tidak ada kasus atau kasus sedikit? Itu bisa sangat menyesatkan, karena bisa saja itu semua tidak mampu mendeteksinya akibat testing yang sangat lemah," dia melanjutkan.

2. Harusnya diutamakan testing rate

Wacana PPKM Mikro, Pakar Epidemiologi: Kita Seperti Punya Peta ButaIlustrasi Tes Usap/PCR Test. IDN Times/Hana Adi Perdana

Sesungguhnya, lanjut Windhu, jika testing rate makin lemah, karantina wilayah yang diberlakukan harus semakin makro. Sedikitnya tingkat kota/kabupaten atau tingkat provinsi, pulau atau nasional.

"Makin tinggi testing rate maka makin bisa dilakukan karantina wilayah yang mikro, bahkan sampai tingkat RT-RW," tegasnya.

Dia memberi contoh yang dilakukan di Hongkong. Pemerintahnya bisa melakukan lockdown tingkat mikro yaitu blok-blok karena testing rate-nya mencapai lebih dari 85 persen populasinya.

Baca Juga: Pakar Mikrobiologi Unair Peringatkan Potensi Pandemik dari Virus Nipah

3. Jangan cuma main istilah

Wacana PPKM Mikro, Pakar Epidemiologi: Kita Seperti Punya Peta ButaIlustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Namun kalau yang dimaksud seperti Kampung Tangguh, Windhu menilai kalau selama ini konsep Kampung Tangguh belum banyak diimplementasikan dengan benar.

"Berarti (Kampung Tangguh) hanya nama doang," ucapnya.

Windhu mengkritisi banyaknya istilah yang dipakai pemerintah selama pandemik COVID-19 berlangsung. Padahal, yang paling penting dilakukan adalah memutus mata rantai penularan virus corona.

"Seharusnya kita tidak hanya suka bermain istilah, tapi substansinya harus sesuai dengan prinsip pemutusan rantai penularan berdasarkan keilmuan public health/epidemiologi. Yaitu betul-betul membatasi mobilitas dan interaksi warga. Mobilitas hanya boleh untuk kepentingan yang sangat esensial dan itu pun harus 100 persen menjalankan protokol kesehatan," tukasnya.

Baca Juga: Pilkada Jalan Terus? Ahli Epidemiologi Unair Soroti Potensi Bahayanya

Topik:

  • Dida Tenola

Berita Terkini Lainnya