Setahun COVID-19 di Jatim, Apa Iya Trennya Sudah Benar-benar Turun?

Semoga gak ada anniversary yang kedua ya...

Surabaya, IDN Times – Banyak yang memprediksi COVID-19 akan menjadi bom waktu jika masuk ke Indonesia. Prediksi itu pun menjadi nyata. Sejak dua kasus pertama di Depok, Jawa Barat yang diumumkan pada 2 Maret 2020, korban yang terinfeksi virus SARS CoV-2 terus meluas sampai ke Jawa Timur (Jatim).

Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa mengumumkan kasus pertama pada 17 Maret 2020. Tak hanya satu kasus, tapi enam sekaligus. Keenam kasus itu dipastikan di Surabaya. Semua yang terkonfirmasi positif langsung dirawat di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA). Angkanya pun terus naik, bahkan berkali-kali lipat. Hingga Selasa, (16/3/2021), sudah ada 135.143 pasien yang terpapar COVID-19 di Jatim. Dari jumlah itu, 123.385 dinyatakan sembuh, 2.235 dirawat, sementara 9.523 pasien meninggal dunia. Pemprov pun menyebut tren kasus mulai melandai didasarkan pada jumlah kasus harian. 

Setahun berjalan, COVID-19 belum kendur. Padahal pelbagai upaya dilakukan untuk memukul mundur. Mulai dari kebijakan pembatasan, imbauan protokol kesehatan hingga yang sedang berjalan saat ini, vaksinasi. Belum berhasilnya mengusir corona ternyata dipengaruhi beberapa faktor.

1. Sejak awal harusnya lockdown Jabodetabek dan Surabaya

Setahun COVID-19 di Jatim, Apa Iya Trennya Sudah Benar-benar Turun?Ilustrasi Virus Corona. IDN Times/Mardya Shakti

Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga, dr. Muhammad Atoillah Isfandiari membaginya menjadi empat periode. Periode pertama, kurangnya kesiapan menghadapi awal masuknya COVID-19 ke Jatim khususnya Surabaya. Faktor utama yang mempengaruhi adalah tidak tegasnya pemerintah pusat mengambil kebijakan yang berdampak ke pemerintah daerah.

Terlebih, pemerintah mulanya terkesan menggampangkan COVID-19. Menurut Atoillah, kebijakan yang diambil tidak berpijak pada sains. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mewanti-wanti bahwa virus ini bisa menjadi pandemik.

Epidemiolog, kata dia, juga memberikan masukan agar pemerintah segera mengimbau masyarakat untuk mencegah penularan dengan cara menghindari kerumunan sementara waktu. “Tapi pemerintah malah mengambil kebijakan ambigu, mendahulukan kepentingan ekonomi atau kesehatan. Ini malah tidak dapat dua-duanya,” ujarnya saat ditelepon, Sabtu (13/3/2021).

“Bagaimana pun juga kita tidak bisa mencapai kedua-duanya dalam kondisi seperti ini,” dia menambahkan.

Jika boleh berandai-andai, kata Atoillah, harusnya pemerintah berani lockdown Jabodetabek dan Surabaya pada awal pandemik COVID-19. Karena langkah itu masih sangat visible dilakukan. Dia memberi contoh penanganan di Tiongkok, di sana yang lockdown tidak semuanya, hanya wilayah-wilayah yang terjangkit utamanya di Wuhan saat pertama pandemik.

“Beijing tidak di-lockdown, Shanghai tidak lockdown, artinya hanya Wuhan saja yang lockdown. Kita punya kesempatan itu ketika kasus masih dilaporkan di Jakarta dan Surabaya. Dibanding lockdown Jatim atau Pulau Jawa yang saat itu belum ada laporan,” terangnya.

2. Data antara pusat dan daerah tidak sinkron

Setahun COVID-19 di Jatim, Apa Iya Trennya Sudah Benar-benar Turun?Rapid test massal yang dilakukan di terminal Keputih, Sukolilo Kamis (4/6). IDN Times/Radiktya Catur

Periode kedua, lanjut Atoillah, pemerintah daerah mulai menerapkan rekomendasi dari epidemiolog. Seperti menerapkan 3T yakni testing, tracing, treatment (pengetesan, pelacakan dan perawatan). Sayangnya, implementasi di lapangan tidak integratif dan cenderung ada keterlibatan unsur politis.

“Dalam hal ini bukan polarisasi (politik) tapi penanganan COVID-19 dianggap sebagai rapor bagi pemerintah daerah masing-masing. Sehingga yang menonjol tidak sinkronnya data kabupaten/kota dengan provinsi,” ungkap Atoillah.

Padahal, kebijakan akan tepat jika data yang dirujuk juga tepat. Sebaliknya, apabila data yang dirujuk tidak tepat, maka kebijakan yang diambil juga akan salah kaprah. “Hasilnya, imbauan dari provinsi tidak terimplementasi dengan baik di daerah (kabupaten/kota),” beber Atoillah. Tidak sinkronnya data juga berimbas pada upaya 3 T. “Padahal kunci penanganan COVID-19 tergantung pada 3T,” imbuhnya.

Atoillah mencontohkan, sempat terjadi pelaporan kasus harian yang berbeda antara data pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Yang dilaporkan kabupaten/kota lebih kecil dari kasus sesungguhnya. “Karena COVID-19 dianggap sebagai rapor. Kalau terlalu banyak kasusnya di suatu daerah, maka daerah itu dianggap kurang berhasil,” katanya.

Justru, orang-orang yang tidak terdeteksi menjadi sumber penularan di daerah tersebut. Akhirnya menjadi berlarut-larut. Menurut Atoillah, seharusnya basis data untuk penganganan pandemik dilakukan secara sentralisasi bukan desentralisasi. Sehingga tidak ada perbedaan data antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

3. Testing dan tracing sangat kurang

Setahun COVID-19 di Jatim, Apa Iya Trennya Sudah Benar-benar Turun?Rapid test massal yang dilakukan di terminal Keputih, Sukolilo Kamis (4/6). IDN Times/Radiktya Catur

Memasuki periode ketiga, Atoillah menyebutnya sebagai periode puncak. Dia mencatat, ada empat kali lonjakan kasus dalam grafik epidemiologis. Fenomena itu terjadi dua minggu pascalibur panjang. Grafik lonjakan kasus kedua dengan pertama selalu lebih tinggi. “Lonjakan ketiga lebih tinggi daripada kedua, terakhir kemarin (lonjakan keempat) tembus sampai 15 ribu pascalibur akhir tahun,” bebernya.

Meski begitu, lonjakan tersebut menurut Atoillah bukanlah puncak pandemik COVID-19 di Jatim maupun Indonesia. Sampai sekarang, belum ada gelombang dua seperti negara-negara lain yang sudah mengendalikan penularan.

“Karena kita tidak pernah betul-betul selesai dengan gelombang satu ini,” tegasnya.

Atoillah membeberkan bahwa berkurangnya angka infeksi bukan karena kasusnya yang turun, melainkan pelaporannya yang turun. Dia menyebut kalau pelaporan kasus COVID-19 yang berjalan berbasis  kunjungan ke fasilitas kesehatan, bukan berbasis 3T. “Ketika kasus turun tidak bisa dikatakan akhir gelombang tetapi penurunan upaya 3T. Kasus aslinya masih tinggi tapi tidak terdeteksi,” ungkapnya.

Sebenarnya, lanjut dia, membaca reproduksi virus SARS CoV-2 sangat mudah. Untuk mengetahui puncaknya tentu juga mudah. Dari data yang disetor kemudian dihitung, otomatis keluar ratingnya. “Masalahnya apakah itu angka kondisi sesungguhnya. Jadi Rt (Rate of Transmission) itu Rt yang berbasis angka yang dilaporkan, kalau angka yang dilaporkan tidak valid, angka penularannya juga tidak valid,” jelasnya.

“Betul (Rt terbaca berdasar testing). Satu kasus di-testing 20-25 kontak (tracing) standar WHO. Sementara di Jatim antara 2-6 kontak,” dia melanjutkan.

Melihat fenomena ini, Atoillah menilai 3T sampai saat ini berjalan stagnan. Dia merujuk pada data awal Januari tahun ini bahwa tidak ada peningkatan upaya 3T. Sebenarnya 3T dapat ditingkatkan ketika Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro berjalan.

4. Vaksinasi masih terkendala distribusi

Setahun COVID-19 di Jatim, Apa Iya Trennya Sudah Benar-benar Turun?Vaksinasi sopir dan driver ojek online di Tangerang (ANTARA FOTO/Fauzan)

Pada periode keempat yaitu vaksinasi, Atoillah masih memberi catatan-catatan penting. Secara umum, kampanye pemerintah sangat masih. Respons masyarakat juga positif terhadap vaksin COVID-19. Hanya saja, masih ada kendala dengan distribusi. “Ini yang menurut saya berjalan lambat,” katanya.

Dia mengkhawatirkan dengan lambatnya distribusi vaksin COVID-19. Mengingat, tahapan vaksin sendiri baru selesai uji klinis pada Januari 2021. Menunjukkan keamanan yang bagus dan efikasi 65,3 persen. Tapi ada yang belum diketahui yakni estimasi kekebalan tubuh yang dibentuk.

“Normalnya vaksin harus dilakukan 6 bulan pascauji klinisi fase 3. Ini kan selesai uji klinis fase 3 langsung kita gunakan. Kita tidak punya evaluasi seberapa kekebalan yang bisa diberikan oleh vaksin ini,” katanya.

“Bisa saja kita sedang berkejaran dengan waktu, bisa jadi kekebalan vaksin hanya 6 bulan. Jika 6 bulan ke depan masih sangat sedikit tervaksinasi, maka yang di awal sudah masuk golongan rentan lagi. Sehingga kita tidak benar-benar memutus mata rantai penularan ini. Herd imunity tidak tercapai,” ungkap Atoillah.

5. Tak ada data soal berapa lama vaksin bisa jadi tameng bagi masyarakat

Setahun COVID-19 di Jatim, Apa Iya Trennya Sudah Benar-benar Turun?Ilustrasi Penyuntikan Vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Selain soal uji vaksin, Atoillah juga mengkritisi tidak adanya data pasti tentang durasi keampuhan vaksin. Sementara, vaksin memiliki masa kedaluwarsa. Logistik yang sudah ada jika tidak terdistribusi optimal maka bisa sia-sia.

“Dengan melihat perjalanan periode 1,2,3,4 di mana masih ada potensi penularan, vaksinasi tidak optimal sehingga sulit mencapai herd imunity maka secara epidemiologi boleh jadi pandemik ini berakhir. Tetapi COVID-19 masih bersama kita secara sporadis. Dengan kata lain pandemik bisa dicabut mungkin tetap endemik,” dia menjelaskan.

6. Satgas klaim testing sudah di atas standar WHO, BOR tinggi, lakukan percepatan vaksinasi

Setahun COVID-19 di Jatim, Apa Iya Trennya Sudah Benar-benar Turun?Juru Bicara Satgas COVID-19 Jatim dr Makhyan Jibril. IDN Times/ Dok. Istimewa

Sementara Juru Bicara Rumpun Kuratif Satgas Penanganan COVID-19 Jatim, dr. Makhyan Jibril Al-Farabi mengatakan pengangan kasus terus dievalusi dan mengalami perbaikan secara perlahan. Terbukti, dari 38 kabupaten/kota tidak ada lagi zona merah. 22 daerah berstatus zona oranye dan 16 berstatus zona kuning.

“Kasus harian rata-rata yang sempat capai ribuan sekarang di angka 300-400, meninggal harian dulu capai 60-80 sekarang 20-30 (orang),” katanya saat ditelepon.

Turunnya kasus secara otomatis mempengaruhi ketersediaan kamar atau Bed Occupancy Rate (BOR) di rumah-rumah sakit rujukan. Sebelum PPKM 1, BOR isolasi biasa 79 persen, saat ini BOR 33 persen. Untuk BOR ICU sempat 72 persen, sekarang 48 persen.

“Artinya sudah sesuai standar WHO di bawah 60 persen. Di rumah sakit sudah tidak ada laporan kalau penuh,” tukasnya.

Ihwal testing, lanjut Jibril, positivity rate hanya 6 persen selama 1-7 Maret 2021. Dengan jumlah tes melibihi standar WHO. Dia menyebut standarnya 40 ribu tiap pekan, Jatim capai 45 ribu lebih.

“Kasus harian sudah turun, rumah sakit juga. Tapi harus tetap waspada, kita pernah mengalami Oktober 2020 ada 62 persen zona kuning, akhir tahun liburan terus banyak lagi. Akhirnya naik lagi. Jadi tidak boleh lengah dan euphoria berlebihan,” katanya.

Terkait vaksinasi, Jibril memastikan berjalan masif di kabupaten/kota. Bahkan, Jatim sempat menjadi terbanyak yang divaksin pada 3 Maret lalu yakni tembus 500 ribu orang. Nah, untuk saat ini angkanya mencapai 760 ribu terdiri dari SDM Kesehatan, pelayan publik dan lansia, per 13 Maret 2021.

Satgas COVID-19 Jatim pun mempunyai target yang sama seperti instruksi Presiden Jokowi yakni 1,5 tahun untuk percepatan vaksinasi. Intrumen-instrumen percepatan sudah disiapkan. Seperti digelarnya pencanangan vaksinasi massal.

“Vaksin kita sudah cepat, problemnya stok vaksin mau habis.ini tinggal 200-300 ribu, sudah menyebar di kota/kabupaten di Jatim,” ungkapnya.

7. Ajak tak khawatirkan campuran vaksin, karena hasil akhirnya suci

Setahun COVID-19 di Jatim, Apa Iya Trennya Sudah Benar-benar Turun?Bahtsul Masail PWNU Jatim sampaikan hasil kajian vaksin COVID-19 di Kantor PWNU Jatim, Rabu (10/3/2021). Dokumentasi Istimewa

Vaksinasi di Jatim sendiri juga mendapat dukungan dari berbagai organisasi massa. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim misalnya, mereka turut mengkaji vaksin COVID-19 di Jatim. Beberapa kiai pun diajak untuk menelaah lebih jauh melalui Bahtsul Masail. Hasilnya, semua vaksin berbagai merek yang didatangkan ke Indonesia dipastikan kehalalannya.

“Kami sudah mengkaji mendalam bahwa semua vaksin yang ada unsur babi karena ada zat galetin atau sejenisnya itu ternyata tidak dicampur,” ujar Katib Suriyah PWNU Jatim, KH Safrudin Syarif.

Safrudin-panggilan karibnya—menyampaikan bahwa zat galetin hanya digunakan untuk merangsang pertumbuhan bakteri yang dibutuhkan. “Karena hasil akhirnya suci maka kemudian halal,” katanya. Dicontohkan ada ayam makan kotoran. Maka daging ayam tersebut masih halal jika diolah dan dimakan manusia. “Dalam Bahasa fiqih itu disebut istihalah, sudah ada perubahan dari sesuatu yang najis menjadi tidak,” jelasnya.

Untuk memperkuat unsur halalnya vaksin COVID-19, Safrudin juga sempat merujuk pada kajian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ternyata vaksin-vaksin yang akan disuntikan terlebih dahulu dicek untuk keamanannya.

“Bahwa semua merek vaksin, endingnya itu halal dan boleh dipakai juga aman menurut BPOM,” tegasnya.

Pihaknya pun mengimbau masyarakat supaya tenang dan mengikuti program vaksinasi COVID-19 oleh pemerintah. Pencanganan ini sebagai salah satu ikhitar untuk memulihkan kondisi pandemik COVID-19 yang sudah berjalan satu tahun ini.

Baca Juga: Setahun COVID-19, Surabaya Masih Konsisten Sumbang Angka Kematian

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya