September Berdarah dan Pelajaran dari Kota Pecel

Madiun menjadi saksi peristiwa berdarah pada 1948 dan 1965

Madiun, IDN Times - Berjarak 160 km dari Ibu Kota Provinsi Jawa Timur Surabaya, Madiun mempunyai segudang kisah masa lampau yang pelik. Cap merah masih melekat di kota yang berjarak lebih dekat dari Surakarta Jawa Tengah ini. Pasalnya, kota pecel ini pernah menjadi tempat saling bunuh anak bangsa karena isu komunis.

Peristiwa itu terjadi dua kali. Pertama pada tahun 1948, ketika anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) bersama Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Partai Sosialis Indonesia dan Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI) mencoba menguasai Madiun. Tokohnya ialah Moeso, Amir Sjarifuddin, dan Sumarsono. Usaha mereka membuat aparat, tokoh, dan ulama terbunuh. 

Sejarawan Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Aminuddin Kasdi mengatakan bahwa latar belakang peristiwa ini adalah jatuhnya kabinet Amir akibat kegagalannya pada perundingan Renville. Kecewa karena digulingkan, ia bersama Moeso pun memproklamasikan berdirinya pemerintahan Uni Soviet Indonesia di Madiun.

"Amir sudah membentuk tentara masyarakat di tahun 1946 sebelum menjabat Perdana Menteri. Tentara tersebut terdiri dari Pemuda Sosial Indonesia (Pesindo)," ujarnya.

Kejadian kedua tentu adalah pembersihan orang-orang yang dituduh terlibat sebagai anggota PKI pada 1965. Tak ada catatan pasti soal berapa jumlah korban. Diduga ada ratusan ribu orang yang dibantai, termasuk warga sipil di Madiun yang sempat dikuasai oleh PKI. 

Dua peristiwa ini pun menuntun tim IDN Times untuk mengunjungi Madiun dan menggali potret Madiun pada peristiwa berdarah itu. Bersama pegiat sejarah dari Komunitas Historia van Madioen (HvM), IDN Times menelusuri beberapa bangunan bersejarah. Kami juga menemui pelaku maupun saksi sejarah.

1. Bangunan lawas di Jalan Yos Sudarso jadi saksi awal gerakan PKI Madiun

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Rosa Folia

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB, Senin (17/9). Sore itu, IDN Times singgah ke markas komando di Jalan Yos Sudarso Madiun. Markas ini dulunya tempat pertahanan Tentara Republik Indonesia di Madiun. Namun pada 18 September 1948, direbut oleh PKI.

Markas komando ini sudah terlihat sangat tua. Dinding dari papan serta ubin kuno menambah kesan lawas. Meski begitu, bangunan masih di tempati keluarga militer TNI yang berjaga di tempat tersebut. Beberapa bangunan di bagian belakang terbengkalai. Tidak dirawat penuh lebih tepatnya. Markas ini menjadi titik awal PKI yang tergabung dalam FDR menguasai Madiun.

"Sumarsono, Kolonel Djokosujono dan Supardi memplokamirkan Pemerintah Front Demokrasi Nasional pukul 02.00 WIB, di sini, semua sudah berkumpul pasukannya," ujar Founder Historia van Madioen, Widodo kepada IDN Times.

Bergeser sedikit dari Markas Komando, masih berada di Jalan Yos Sudarso Madiun, terdapat markas militer Brimob. Dulunya juga sempat direbut oleh pasukan FDR bersama PKI. Mereka pun berhasil menguasainya hanya dalam hitungan jam saja. Tak lama kemudian, kantor pemerintahan sipil juga direbutnya. "Mendengar adanya aksi tersebut, Moeso dan Amir yang tadinya di Purwodadi kampanye, langsung merapat ke Madiun untuk ikut merebut kekuasaan," kata Widodo.

Pada tanggal 19 September 1948, FDR bersama PKI memastikan keberhasilan menguasai karesidenan Madiun. Termasuk kawasan Magetan, Ngawi, Ponorogo dan Pacitan. Aksi ini pun mendapat respons keras dari Presiden Soekarno. Dia langsung berpidato melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Tak tinggal diam, Moeso pun menanggapi melalui siaran Radio Front Nasional Madiun.

"Hari-hari berikutnya makin parah, tanggal 22 September 1948, Moeso bersama Amir dan jajaran FDR mencoba melakukan perombakan di bidang sipil dan militer. Siapapun yang tidak menuruti dan berniat menghalangi dibunuh atau dihilangkan," terang Widodo.

2. TRIP angkat senjata saat PKI klaim kuasai Madiun

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Rosa Folia

Meski sudah mengklaim menguasai Madiun, PKI nampaknya lupa masih ada pasukan yang belum dilucuti. Mereka adalah Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Pasukan yang terdiri dari remaja belasan tahun ini sudah berani angkat senjata. Melihat potensi itu, Pemuda Sosial Indonesia sayap kiri FDR pun berusaha menyerbu TRIP.

Pasukan ini telah berjaga di SMP Pertahanan yang sekarang SMP 2 Madiun. Jika ke sini ada monumen yang memiliki arti mendalam. Di sini seorang pejuang TRIP pernah dibantai saat berjaga. Namanya Moeljadi. "Dia ditembak, saat mencoba lari menyelamatkan diri ditusuk hingga 33 kali di sekujur tubuhnya, saat ini dia sudah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Madiun," kata Yanus seorang Generasi Penerus TRIP.

Tepat di mana Moeljadi ditusuk itulah, berdiri monumen di gerbang SMP 2 Madiun. Sayang, monumen itu tak seberapa terlihat karena tertutup pagar sekolah. Pasca terbunuhnya Moeljadi, seluruh pelajar yang tergabung dalam TRIP pun langsung ditawan oleh FDR. Niat untuk melucuti senjata, pasukan Amir justru tak menemukan satu pun senjata. "Karena sudah disembunyikan semua di tempat sampah. Ada pun sudah tidak ada amunisinya," ujar Yanus.

3. Ribuan pelajar lakukan aksi anti Moeso

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Rosa Folia

Mengetahui hal ini, gabungan pelajar Madiun bergerak. Pada tanggal 27 September 1948 Moeso mengundang pelajar untuk rapat terbuka yang dihadiri lebih dari 6.000 orang. Ketika Moeso mulai berpidato, mereka sontak diam mendengarkan. Tapi ketika Moeso tebar janjinya kepada pelajar, semua langsung menertawakan. "Tuntutan utama langsung diteriakkan Moeljadi minta ganti. Moeso langsung memberhentikan pidatonya. Yang mengeluarkan tuntutan ini, mereka tergabung di Pelajar Anti Moeso (PAM)," kata Yanus.

Merasa ada perlawanan dari pelajar. Moeso memenjarakan 7 pelajar yang dianggap provokator ke Penjara Kletak Kota Madiun. Selanjutnya, bersama tawanan lainnya yang terdiri dari masyarakat sipil, semuanya dibawa ke Desa Kresek Kabupaten Madiun. 

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Sukma Shakti

4. Saling bunuh terjadi setelahnya

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Rosa Folia

Kresek sendiri merupakan Desa yang lumayan terpencil. Perjalanan menuju Desa Kresek memang harus ditempuh kurang dari 30 menit dari pusat kota. Jalannya berliku dan naik turun. Wajar, karena kawasan ini masuk ke dalam Pegunungan Wilis. Di desa inilah PKI dan FDR diudga mengeksekusi seluruh tawanan yang mereka bawa. Di sini kemudian dibangun monumen Kresek.  Desa ini menjadi pertahanan terakhir FDR dan PKI.

Dari Kresek, Moeso dan Amir lari ke kawasan Pacitan dan Ponorogo. Sayangnya upaya melarikan diri mereka gagal. Mereka dibunuh oleh Batalyon dan para organisasi pro NKRI yang turut mengusir PKI dari Madiun. 

"Saya kala itu ikut menghadang di sekitar perbatasan rel di Madiun, saya bersama TRIP Nganjuk. Tapi Moeso itu lari ke Ponorogo dan ditembak mati. Sementara Amir lari ke Pacitan, kemudian mencari jalan ke Ngawi yang tujuannya ke Surakarta," ungkap Veteran TRIP, Yusuf Musdi.

Yusuf yang kini berusia 89 tahun menuturkan, dalam pelariannya, pasukan Amir membunuh Gubernur Suryo yang balik dari Yogyakarta menuju ke Surabaya. Dia berpapasan dengan pasukan Amir di Ngawi. "Dikiranya PKI dan FDR ini sudah dilumpuhkan total makanya tetap lewat Ngawi (Gubernur Suryo). Akhirnya dibunuh pasukan Amir. Jasadnya dibuang sekitar sungai dekat hutan," ungkapnya.

Karena hal inilah, Amir dan pasukannya ditangkap oleh tentara republik Indonesia. Mereka dibiarkan hidup dan dijebloskan di jeruji sampai akhirnya dieksekusi. "Amir dihukum tembak mati di Surakarta pada 19 Desember 1948," kata pria lanjut usia yang mencoba mengingat-ingat sejarah kelam ini.

Pada 30 September 1948, pemerintah Republik Indonesia memastikan wilayah Madiun dan sekitarnya sudah dikuasai. Namun tak lama setelah itu terjadilah agresi militer II oleh Belanda di tahun berikutnya. "Saat agresi militer tawanan PKI semua dibebaskan. Semua berjuang mengusir penjajahan yang coba diulang oleh Belanda. Kami TRIP juga ikut angkat senjata dan malam hari sering gerilya nyerang tentara Belanda," ungkapnya.

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Sukma Shakti

5. Tersingkir tahun 1948, PKI kembali mendapat angin segar pada 1955

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Rosa Folia

Yusuf mengingat-ingat betul peristiwa agresi militer dua. Kala itu, usianya baru menginjak belasan tahun. Dia senang dan bangga ketika berhasil memukul mundur Belanda di agresi militernya. Keuntungan lain, semua berbaur dan bersatu lagi. Tak ada pagar pembatas lagi antara pemerintah pro NKRI dengan PKI. Merasa mendapatkan ruang lagi, PKI membangun partai. Kadernya di mana-mana. Simpatisannya masih merajalela. Hasilnya pada Pemilu 1955, PKI menduduki nomor 4 dan dianggap partai besar di Indonesia.

Bukan lagi Moeso, Amir maupun Sumarsono. Tonggak kendali kini dibawa oleh Dipo Nusantara Aidit. Mereka mampu masuk  ke kelas menengah ke bawah dan akar rumput. Buruh dan tani pun merapatkan barisan ke PKI. Pada tahun 1957 keluarlah buku ABC Revolusi. Isinya propaganda dan persuasi untuk mewujudkan pemerintah berdasar ideologi komunisme.

Puncaknya pada 30 September 1965. Para Jenderal diculik dan dieksekusi di lubang buaya Jakarta. Meski hingga sekarang tak jelas siapa aktor di balik peristiwa kelam tersebut, Tentara Nasional Indonesia (TNI) kemudian membasmi PKI hingga simpatisannya. Mereka dituding sebagai kelompok yang mendalangi gerakan itu. "Di bawah komandonya (Soeharto) semua (PKI) ditebas," kata Yusuf.

Baca Juga: "Senyap" & "Jagal": Film Tentang PKI yang Tak Diputar Seperti G30S/PKI

6. Madiun kembali jadi saksi anak bangsa saling bunuh

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Rosa Folia

Madiun yang pernah dikuasai PKI pada tahun 1948 pun tak luput dari perhatian militer. Tak ada pengecualian, semua yang terindikasi harus dieksekusi mati. Mulai dari warga sipil, kader, tokoh desa maupun kecamatan pun diciduk. Anggota Koramil dengan cekatan membubuhkan catatan. Satu persatu orang yang disebut simpatisan PKI dijemput dan dibawa ke Penjara di Jalan A. Yani.

Penjara ini bangunannya sudah banyak yang runtuh. Tua tak terawat. Rumput liar menyelimuti seisi penjara. Luas tanahnya mencapai 3.880 meter persegi. Luas bangunannya 1.547 meter persegi. Terdiri dari 6 blok dan 37 kamar. Kapasitasnya mencapai 287 orang. Tapi, saat penangkapan PKI 1965, kapasitas tak dijadikan alasan. Semua harus dimasukkan. 

"Waktu itu saya sudah kerja di Perhutani. Setiap malam ada saja yang menggali lubang ukuran 6x7 meter dengan ke dalaman 2 meter. Ya saya tahu itu nanti jadi kuburannya orang PKI," ungkap Yusuf.

Yusuf juga mengakui adanya pemuda-pemuda membawa samurai dan senjata tajam lainnya saat malam tiba. Mereka adalah algojo para PKI. "Biasanya yang sudah dijemput itu dinaikkan truk. Langsung aja dieksekusi. Kemudian dimasukkan ke lubang tadi. Satu lubang bisa puluhan sampai ratusan. Banyak sekali," terangnya.

Tak cukup sampai di situ. Yusuf mengaku pernah melihat secara langsung bagaimana eksekusi dilakukan. Ada yang disabet tangannya namun tak langsung tewas. Darah di mana-mana. 

"Ya kalau saya cerita detail nanti kamu gak tega bayangkannya. Saya masih teringat. Makanya kalau makan daging itu..." ungkapnya kepada IDN Times tak melanjutkan pembicaraannya. Ia terlihat trauma.

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Sukma Shakti

7. Saksi hidup masih takut membeberkan operasi pembersihan 1965

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Rosa Folia

Saksi lain adalah Kris Kiswara ,79 tahun. Perempuan yang kini tinggal di Jalan Muria Kota Madiun mengetahui betul peristiwa penjemputan pasca peristiwa G30SPKI. Sayangnya dia tak mau menceritakan detail. Dia mengatakan kalau takut salah malah jadi masalah. Perlahan dengan suara sedikit terbata-bata dia menceritakannya secuil saja.

"Penjemputan itu dilakukan malam. Truknya sudah disiapkan di jalan. Ada teman saya masih muda dijemput beberapa orang, katanya ada perintah buat ke kecamatan tapi setelah itu tak kembali lagi," kata Kris.

Perempuan lansia ini juga mengatakan kalau semuanya dibawa ke hutan kawasan lereng pegunungan Wilis. Tepatnya yakni sekitar Desa Kresek. "Di bawa ke Kresek semua pakai truk itu. Kuburannya di sana semua. Tapi saya gak berani ngomong banyak. Dulu kalau malam waktu ada penjemputan saya cuma ngintip lewat jendela saja. Gak berani (keluar). Takut dikira ikut-ikut. Ada hubungannya," ungkap Kris.

Pembunuhan ada di mana-mana. Siapapun yang terindikasi memiliki hubungan dengan PKI harus bersiap menemui ajalnya. "Iya termasuk genosida. Ada yang cuma aku tidak suka sama orang itu, terus bilang dia PKI sudah besok pasti hilang," kata Ketua HvM, Sulung.

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Sukma Shakti

8. Pelaku sejarah minta millennials kembali ke Pancasila

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/ Rosa Folia

Meski sensitif, peristiwa PKI di Madiun tentunya memiliki banyak makna. Pelaku Sejarah Yusuf Musdi generasi muda harus tetap mengingatnya. Karena pelajaran yang terdapat di dalamnya sangat berharga. Usaha kudeta dan pembersihan memakan banyak korban. Kesepakatan tiap pihak harus dijunjung tinggi. Dia mengingatkan, agar semua kalangan terus waspada kepada pihak-pihak yang coba mengubah dasar negara.

"Pada waktu itu Moeso datang dari Moskow, menganggap perjuangan kita sia-sia berjuang ssndiri. Supaya tidak sia-sia kita harus bergabung dengan uni Soviet. Itu pusatnya komunis. Kita narik pelajaran sekarang, orang mau capkan namanya khilafah. Ada benih-benih pakai khilafah. Kaidah islam mau diterapkan. Gak ada pancasila. Dianggap demokrasi thogut," kata Yusuf.

Pria berusia hampir 90 tahun ini, mengimbau kepada generasi saat ini dan akan datang harus memegang Pancasila. Dia melihat, sekarang politik identitas berkembang. "HTI Itu ingin menerapkan republik ini sistem khilafah. Jadi dengan kejadian yang dulu kita sepakat mendirikan Pancasila, ternyata masih ada yang mencoba mengganti dengan filsafah lain. Jangan sampai terulang lagi," pesannya.

Yusuf mengatakan kalau bangsa Indonesia tetaplah satu. Nilai persatuan sudah tertuang di Pancasila. Jika menjunjung tinggi dasar negara, dia menjamin tidak akan ada hal serupa. Para warga akan sadar kalau perang saudara tak berbuah apa-apa. "Pokoknya pelajari baik-baik Pancasila itu saja," pungkasnya.

Sementara itu, pakar sosiologi UNAIR Bagong Suyanto melihat isu PKI masih sensitif dikarenakan masih adanya dendam. Di samping itu, trauma sejarah antar dua kelompok sampai sekarang ini belum juga tuntas. 

"Perdebatan siapa yang minta maaf duluan. Padahal saya melihat harusnya masing-masing pihak saling memaafkan. Karena yang ada sekarang di sana kan keturunannya tidak ada kaitan sama peristiwa ril. Harusnya ada niatan memutus mata rantai (dendam)," katanya saat dihubungi IDN Times, Jumat (28/9). 

Bagong juga mengakui bahwa peristiwa PKI di Madiun sebenarnya konflik horisontal. "Saling bunuh anak bangsa dan perang saudara selalu ada di bangsa mana saja. Pengikat yang besar akan memayungi kelompok yang bertikai. Seperti tokoh, dan pemimpin yang menjembatani," jelasnya. 

Memasuki tahun politik, guru besar UNAIR ini memiliki pandangan, konflik horisontal atau pun perang saudara akan sangat kecil kemungkinannya. Hal ini dilihatnya dari sisi partai politik dan penyelenggara Pemilu. "Saya kira parpol sudah sepakat tidak memakai isu SARA. Ada kesepakatan normatif jadi kontrak politik. Masyarakat kritis untuk menilai. Yang ada sekarang kontestasi wacana saja," pungkasnya.

 

Baca Juga: "Bukan Melulu PKI": Warga Madiun Melihat Kembali Sejarah Kota Mereka

9. Mari belajar dari Madiun

September Berdarah dan Pelajaran dari Kota PecelIDN Times/Rosa Folia

Adagium bahwa sejarah ditulis pemenang perang, bisa jadi benar adanya. Sebab, hingga kini masih ada beberapa versi sejarah tentang tragedi berdarah 1948 dan 1965.  

Bahkan, dalam tribunal pada tahun 2016 lalu, sejarawan juga terpecah. Sebagian menyatakan bahwa penyelesaian tragedi 1965 harus dikaitkan dengan pemberontakan yang dilakukan oleh PKI tahun 1948. Namun, sebagian lainnya menganggap dua hal tersebut sama sekali berbeda. Mereka menilai bahwa pemberontakan PKI 1948 hanya perebutan kekuasaaan politik yang berujung pada berbagai pembunuhan. Adapun kejadian 1965 disebut sebagai pembunuhan massal yang dilakukan oleh negara. 

Meski dinilai sebagai sebuah peristiwa yang berbeda, dua tragedi di Madiun tersebut memiliki berbagai kesamaan. Selain sama-sama terjadi di bulan September, keduanya sama-sama membuat anak bangsa mati, di tangan saudara sendiri.

Baca Juga: Ada 8 Jenderal yang Harusnya Diculik Saat G30S/PKI, Sukendro Selamat

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya