Melihat Bingkai Harmonis Papua-Suroboyo di Kota Pahlawan

Kitorang sedulur!

Surabaya, IDN Times - "Di sini (Surabaya dan Unitomo) tidak membeda-bedakan dari suku mana," ujar mahasiswi semester 3 jurusan Hukum Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), Gloria Viona Pattika (18) saat ditemui di kampusnya, Jumat (6/9).

Siang itu, Gloria berbincang bersama teman-temannya di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Paduan Suara Unitomo. Terlihat, dia tak ada rasa canggung. Candaan ria acap kali terdengar jelas dari ruangan yang terletak bersebelahan dengan parkiran kampus ini.

Ini tahun kedua Gloria hidup di Kota Pahlawan. Banyak yang menganggap, menjadi anak perantauan itu tidak mudah. Terlebih, dia berasal dari luar pulau. Dia lahir dan besar di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Tapi, anggapan itu dipecahkan oleh mahasiswi berusia 18 tahun ini.

1. Adaptasi dibantu teman kampus

Melihat Bingkai Harmonis Papua-Suroboyo di Kota PahlawanGloria, paling kiri saat bersama beberapa temannya. (IDN Times/ Ardiansyah Fajar)

Awal mula datang ke Surabaya pada tahun 2017, Gloria sempat susah beradaptasi. Salah satu faktor yang membuatnya bingung ialah perbedaan bahasa. Akan tetapi, perbedaan tersebut tidak dianggapnya sebagai jarak. Perlahan, ia pun belajar mengetahui kata per kata bahasa Jawa Suroboyo-an.

"Sebenarnya pertama susah karena bahasanya. Lama kelamaan bisa, lancar, gampang," katanya.

Adaptasi yang dilakukan Gloria di Surabaya dan lingkungan kampus tergolong cepat. Hal ini tidak lepas dari teman-teman di sekitarnya. Ia dirangkul dengan hangat di kelas, UKM hingga tempatnya tinggal.

Khusus di Sekretariat UKM Paduan Suara Unitomo, ruangan itu sudah dianggap Gloria jadi rumah keduanya. Alasannya masuk ke UKM ini, lantaran punya hobi menyanyi. Ditambah lagi, warga UKM sangat ramah dan asyik.

"Di lingkungan UKM tidak membedakan dari suku mana. Terus asik orangnya. Teman-temanya baik. Tidak membedakan, satu susah semua ikut susah," ungkap Gloria.

Dari situlah, Gloria tidak pernah merasa sendirian meskipun keluarganya berada jauh di kawasan timur Indonesia. Apabila dia bosan, tak segan pulang ke Sekretariat UKM untuk bercanda, curhat hingga bernyanyi bersama dengan genjrengan gitar dari kawan-kawannya.

"Kesannya, pertama saya senang di sini, kampus ini luar biasa. UKM ini rumah kedua saya," ucapnya.

Baca Juga: Rudiantara: Ada 20 Negara Sebarkan Konten Hoaks Saat Rusuh di Papua 

2. Menghargai dan menghormati jadi kunci

Melihat Bingkai Harmonis Papua-Suroboyo di Kota PahlawanIrwan Putra Mandosir, mahasiswa baru asal Biak (IDN Times/ Ardiansyah Fajar)

Kenyamanan Surabaya juga dirasakan oleh mahasiswa baru asal Kabupaten Biak, Papua, Irwan Putra Mandosir (17). Banyak cara yang dilakukannya agar bisa cepat berbaur dengan teman-temannya di Kota Pahlawan. Salah satunya, tidak menutup diri, mau keluar rumah dan tidak terpaku dengan kelas perkuliahan saja.

"Kalau pertama susah, tapi sering keluar rumah dengan teman kuliah dan membaur dengan lingkungan. Sekarang sudah bisa," bebernya.

Keberanian Irwan untuk berbaur memang dipengaruhi beberapa faktor. Ia mengaku mendapat pelajaran berharga pasca-PKKMB (ospek) di Unitomo. Di sini, mahasiswa jurusan Teknik Sipil ini bisa berbaur dengan teman mulai dari Papua, Jawa hingga Sumatera.

Rupanya, harmonisasi yang dirajut oleh Irwan bukan satu-dua hari. Sejak lahir, di lingkungan keluarganya sudah ada alkuturasi. Pasalnya, sang ibu asli Tulungagung, Jawa Timur. Sementara ayahnya asli Biak, Papua.

"Ada orangtua dari Jawa, mamaku. Pernah diberi tahu mama dari bahasa lingkungan. Sudah dari keluarga. Mama di biak sama Papa," ungkapnya.

Kenyamanan dan keharmonisan ini ingin dijaga oleh Irwan sampai dia lulus nanti. Ia tidak ingin semangat kuliahnya luntur karena ada faktor tidak nyaman hidup di kota rantau maupun kampus. Ia siap berbaur lebih luas, seperti cangkrukan di warung kopi dan menekuni kegiatan ekstra kampus.

Irwan mempunyai kunci agar tali persaudaraan antar teman tetap solid. Yakni saling menghargai satu sama lain. Dia berusaha terbuka serta menghormati orang di sekitarnya.

"Kalau saya menghargai mereka, cara bertutur kata dengan mereka. Sikap penting," kata Irwan.

3. Arek Suroboyo rangkul tanpa perbedaan

Melihat Bingkai Harmonis Papua-Suroboyo di Kota PahlawanSuasana kegiatan mahasiswa di Unitomo (IDN Times/ Ardiansyah Fajar)

Hangatnya perlakuan yang dirasakan Gloria dan Irwan ini diamini oleh mahasiswi semester 3 jurusan Administrasi Pubik Unitomo, Wulan Anggraeni. Remaja yang juga menjabat Wakil Ketua UKM Paduan Suara Unitomo ini menyebut kehangatan sering kali terjalin antar anggota. Mulai dari yang lama hingga yang baru.

"Caranya tidak membedakan semuanya rata. Misal diajak satu diajak semua. Semuanya bareng-bareng," kata Wulan.

Remaja asli Surabaya ini mengaku kenal dengan Gloria sejak semester 1 saat masuk ke UKM Paduan Suara. Ia menilai temannya asal Papua itu memiliki pribado yang ceria dan suka beradu canda.

"Humble, Gloria teman baik banget. Dia kenalnya cuek ternyata sudah deket dia akrab, sering traktir juga," jelas Wulan.

Sedangkan Irwan, Wulan lebih melihat masih malu-malu. Karena ia tahu betul, pemuda asli Biak itu masih mahasiswa baru. Ia tidak kehilangan cara agar Irwan betah di lingkungannya.

"Diajak ngobrol aja, dari itu makin kenal. Komunikasi intensif aja," kata Wulan.

4. Sudah lama hangatnya Surabaya dirasakan perantau asal Papua

Melihat Bingkai Harmonis Papua-Suroboyo di Kota PahlawanMuhammad Fikser, Kabag Humas Pemkot Surabaya (IDN Times/Fitria Madia)

Jalinan harmonisasi Arek Suroboyo dan Papua ini tidak terjadi baru-baru ini. Jauh-jauh hari, Kota Pahlawan sudah sangat terbuka siapa pun yang akan mengadu nasib di sini. Kepala Bagian (Kabag) Humas Pemkot Surabaya, M. Fikser mengaku merasakannya sejak 1998.

Tahun di mana gejolak reformasi dikumandangkan, Fikser harus mengemban tugas ke Surabaya. Dia meninggalkan kampung halamannya Serui, Yapen, Papua setelah lulus dari Sekolah Tingging Pegawai Dalam Negeri (STPDN).

Awal hidup di Surabaya, ia mengaku tidak punya gaji pasti meskipun sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dia harus bertahan hidup dan membaur dengan masyarakat Madura di kawasan pesisir Surabaya tepatnya Pelabuhan Tanjung Perak.

"Kita kerja di pelabuhan, angkat barangnya orang dan dibayar. Kita ini pekerja gelap bukan porter Pelni. Kita banyak dibantu kuli dari Madura. Kjta lakukan hampir beberapa tahun," ungkap Fikser saat ditemui di kantornya, Rabu (4/9).

Dalam prosesnya, Fikser sadar harus bergabung dengan masyarakat lebih luas termasuk masyarakat asli Surabaya. Dia dan rekan perantauan asal Papua pun berbaur. Acap kali mereka mendapat bantuan, bisa berupa makanan sampai tumpangan transportasi.

"Jujur kita dibantu makan, kita diajak diantar dari kosan ke tempat kerja," ucapnya.

Seiring waktu Pemerintah Kota (Pemkot) mulai mempercayakan jabatan strategis kepada putra Papua di Surabaya. Saat ini saja, Fikser menjabat sebagai Kabag Humas Pemkot Surabaya. Sebelumnya dia merintis sebagai lurah, sekretaris camat dan camat.

Tak hanya Fikser, jabatan strategis lainnya diemban oleh Ridwan Mubarun yang menjadi Camat Tambaksari. Ada juga Lakoli sebagai Camat Sukomanunggal dan Mansye Wenda Kasitrantib Kelurahan Balongsari.

"Pemkot mempercayakan kami. Camat Tambaksari, camat Sukomanunggal terus Satpol PP ada di perpustakaan. Kami dari papua banyak. Kami diberi kesempatan jabatan," jelas Fikser.

Kepercayaan itu pun dimanfaatkan Fikser dengan sungguh-sungguh. Dia tidak ingin mengecewakan Wali Kota dan juga warga Surabaya. Karena dia menganggap Surabaya ialah rumahnya.

"Di Surabaya sangat terbuka. Menerima siapa saja selama kita bekerja dengan baik," kata Fikser.

Fikser menyebut, Surabaya adalah kota yang terbuka untuk siapapun. Toleransi di Surabaya masih sangat tinggi. "Saya bersyukur Surabaya jadi rumah saya. Untuk saya hidup ini," tukasnya.

5. Peran aktif pemkot salah satu resepnya

Melihat Bingkai Harmonis Papua-Suroboyo di Kota PahlawanWali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat bertemu dengan Staf Presiden Lenis Kogoya dan mahaiswa Papua (IDN Times/Fitria Madia)

Cerita Fikser mengenai dilibatkannya dirinya dalam struktural Pemkot Surabaya diamini oleh Wali Kota, Tri Rismaharini. Ia membenarkan beberapa pejabatnya banyak yang berasal dari Bumi Cendrawasih. Menurutnya, posisi itu diamanatkan kepada seseorang yang berkualitas bukan berdasarkan ras maupun suku.

"Kalau dia memang bagus, saya gak beda-bedakan. Saya dukung terus dia. Fikser ini juga sering dapat penghargaan, minimal 5 lah tiap tahunnya," ujar Risma berbangga, di ruang kerjanya, Selasa (20/8).

Upaya Risma merangkul putra Papua tidak hanya di sektor pemerintahan. Dia acap kali memberikan perhatian kepada mahasiswa Papua yang jauh-jauh belajar ke Surabaya. Salah satu bentuk perhatian itu ialah membenahi asramanya.

Perlu diketahui, asrama tersebut merupakan aset Pemerintah Provinsi Papua. Mulai dari tanah, bangunan, hingga listrik, dan air semuanya dikelola oleh Pemprov Papua. Namun beberapa tahun terakhir listrik dan air PDAM di rumah tersebut tidak dibayarkan hingga berujung pada pemutusan saluran.

Kabar tersebur akhirnya jatuh di telinga Risma. Ia pun meminta PDAM Surya Sembada, sebagai salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), untuk menyambungkan kembali aliran air yang sempat terputus tersebut. Tagihan air yang tak dibayarkan juga tengah dicarikan jalan keluar olehnya.

"Sempat air itu mati. Sudah, saya yang sambungkan," katanya.

Pada Agustus 2018, IDN Times sempat berkunjung ke dalam asrama. Memang, air di sana mati. Kamar mandi tak dapat difungsikan sudah hampir setahun. Mereka pun harus mengungsi ke kontrakan atau kost rekan lainnya di sekitar kampus untuk menumpang mandi. Namun kesempatan berkunjung berikutnya pada Juli 2019, rupanya air sudah menyala.

Risma sempat berupaya untuk menghidupkan kembali listrik yang mati. Lantaran PLN bukan merupakan BUMD, ia bersedia membayarkan tunggakan listrik dan biaya bulanan listrik untuk asrama. Namun upaya ini ditolak oleh para penghuni asrama.

"Anak-anak gak mau. Jadi (mereka) curiga terus dengan saya. Heran saya," ungkapnya.

Menurut Risma, mereka ingin yang membayarkan adalah Pemprov Papua sebagai bentuk tanggung jawab mereka. Akhirnya niat Risma untuk langsung membayarkan tagihan listrik di PLN urung.

Ternyata listrik asrama tak kunjung menyala. Risma pun menelepon Pemprov Papua untuk segera menyelesaikan persoalan listrik. Ia juga sudah mengirimkan surat resmi ditujukan kepada Gubernur Papua agar segera mengurus permasalahan listrik di asrama.

"Saya masih ada salinan suratnya. Kalau mau saya bisa tunjukkan," tutur Risma.

Namun hingga saat ini ia masih belum menerima tindak lanjutnya. Ia pun ingin menitipkan surat permohonan tersebut kepada pemerintah pusat terkait melalui Staf Khusus Presiden Kelompok Kerja Papua Lenis Kogoya yang berkunjung ke kediaman Risma malam itu.

"Mungkin ini bisa dibantu pusat, ya? Saya siap buatkan surat ke pusat," katanya.

Sementara itu, Lenis akan berkomunikasi dengan para warga Papua yang ada di Kota Surabaya terkait permasalahan-permasalahan yang terjadi. Namun sejauh ini, ia merasa Surabaya dan Jawa Timur merupakan tempat yang nyaman dan aman untuk ditinggali para perantau dari Papua.

"Ternyata di sini ada dua Mama Papua (Khofifah dan Risma). Saya merasa hangat dan hampir tidak bisa pulang ke Jakarta," tuturnya seraya diiringi tawa lepas.

6. Di lapangan hijau harmonisasi Papua-Surabaya terlihat nyata

Melihat Bingkai Harmonis Papua-Suroboyo di Kota PahlawanSebuah poster besar berisi pesan perdamaian saat Persebaya bermain di Gelora Bung Tomo. (IDN Times/ Ardiansyah Fajar)

Wujud nyata keharmonisan Arek Suroboyo dan Papua tidak di lingkup perguruan tinggi dan pemerintahan. Coba tengok di lapangan hijau. Kapten Persebaya Surabaya, Ruben Karel Sanadi putra daerah Papua. Ia lahir di Biak 32 tahun lalu.

Fenomena ditunjuknya Ruben sebagai kapten mengkokohkan asumsi kalau memang Putra Papua bisa memimpin. Terlebih, pemain bernomor punggung 14 ini kerap dielu-elukan oleh Bonek Mania, pendukung militan Persebabaya.

Wujudnya, Bonek membentangkan spanduk bertuliskan "Kitorang Sedulur" dengan karikatur emoticon Surabaya dan Papua saat laga Persebaya Vs Persija di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), Sabtu (24/8). Karikatur ini sebagai ungkapan Bonek merangkul semua etnis yang ada di lapangan hijau.

Menanggapi hal itu, Ruben mengaku senang. Dia menekankan kalau memang Surabaya dan Papua itu bersaudara. "Saya, sebagai anak asli Papua, berterima kasih bisa menjadi bagian tim ini. Saya sampaikan kami semua saudara. Saya bermain di mana pun akan bertindak profeisonal. Saya di Persebaya pun profesional," jelas Ruben usai pertandingan.

Sebagai kapten tim, Ruben selalu berusaha merangkul temannya. Dia tidak pernah mendahulukan rekan asli Papua, Osvaldo Haay dan Elisa Basna. Menurutnya, semua rekan tim sama, tujuannya untuk membawa nama baik Persebaya bersaing sepakbola liga Indonesia.

"Saya kapten tim dan merangkul semua pemain, tidak pernah membedakan. Kami mendoakan Persebaya tak ada perbedaan. Teman dari mana pun, Aceh atau Surabaya, kita semua sama. Siapapun di tim ini akan kasih keluar kemampuan buat Persebaya," ungkap Ruben.

7. Ribuan orang Papua berada di Surabaya

Melihat Bingkai Harmonis Papua-Suroboyo di Kota PahlawanPoster anti rasisme di dalam sebuah laga Persebaya di Gelora Bung Tomo (IDN Times/ Ardiansyah Fajar)

Banyaknya warga Papua yang merantau ke Surabaya mendorong mereka untuk membentuk Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya (IKBPS) pada tahun 2003. Ketua IKBPS, Pieter Frans Rumaseb menyebut jumlah orang Papua di Kota Pahlawan mencapai 1.000 jiwa lebih.

Berdasarkan informasi yang dihimpun IDN Times, jumlah anggota IKBPS sudah mencapai 400-an orang. Mereka terdiri dari pekerja mulai dari PNS, pedagang sampai pendeta. Untuk mahasiswanya saja sudah mencapai 800-an orang.

Mahasiswa Papua, lanjut Pieter, tersebar di berbagai wilayah Surabaya. Ada yang di asrama, ada pula yang tinggal kos atau kontrak. "Sampai saat ini bahwa jumlah kami di Surabaya sekitar seribuan. Untuk mahasiswa itu 27 korwil tersebar," katanya saat di Mapolda Jatim, Senin (19/8).

Selama tinggal di Surabaya, Pieter mengaku tidak pernah mendapat perlakuan diskriminatif. Ia menilai orang Surabaya ramah terhadap warga pendatang. Ia juga merasakan ada rasa aman dan nyaman berada di Ibu Kota Jawa Timur ini.

"Kami tidak ada diskriminasi. Karena kami juga warga Surabaya. Kita di Surabaya aman. Anak di sini kuliah aman tidak ada masalah. Tidak usah khawatir berlebihan kita tidak ada masalah. Kita sama sama warga bangsa. Sama-sama ibu pertiwi," pungkas Pieter.

Baca Juga: Antisipasi Isu Papua, Menlu Bergegas Koordinasi dengan Seluruh Dubes

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya