Belajar dari Pemuda Desa Balun, Jadi Saudara Tak Perlu Sedarah

Balun memiliki tiga rumah ibadah dalam satu desa

Lamongan, IDN Times - Kumandang azan terdengar dari pengeras suara Masjid Miftahul Huda, Desa Balun, Kecamatan Turi, Lamongan. Namun, tak seperti hari-hari biasanya, azan Isya, Minggu (21/10), tak didahului dengan qiroah atau pujian. 

Meski bertanya-tanya, aku lebih memilih menyimpan rasa penasaranku. Tak lama setelah itu, seorang pria paruh baya menyodorkan tangannya kepadaku, mengajak salaman. "Saking pundi mas (Dari mana mas?)," tanya seorang pria. "Dari Surabaya Pak," jawabku.

Tidak hanya satu, beberapa orang lainnya pun menghampiriku dan melakukan hal serupa. Sebuah sambutan hangat terhadap orang asing yang sudah jarang aku temui di beberapa kota besar. 

Sambutan hangat tersebut rasanya sedikit menjawab mengapa desa ini disebut sebagai desa Pancasila. Soal toleransi dan keramahan, warga desa ini bisa dibilang jawaranya. Bahkan, dalam satu komplek terdapat tiga tempat ibadah yang berdekatan, yakni masjid, pura dan gereja. 

Meski muslim adalah mayoritas, tak pernah ada cerita tentang pertikaian perkara beda agama. Alih-alih berdebat, pemudanya justru guyub dalam kegiatan desa. Hebat.

1. Wujud toleransi itu tampak jelas pada tiap hari Minggu

Belajar dari Pemuda Desa Balun, Jadi Saudara Tak Perlu SedarahIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Setelah berbincang dengan beberapa orang, rasa penasaranku terhadap tidak adanya qiroah dan pujian sebelum azan akhirnya terjawab. Ketua Takmir Masjid, Suwito mengatakan kalau sudah ada komitmen bersama terkait hal tersebut. 

Warga di Desa Balun sepakat bahwa setiap hari Minggu, muslim di sana tak akan menyetel qiroah dan pujian. Alasannya, umat Kristiani mempunyai jadwal ibadah pagi dan sore. "Ya karena saudara kami peribadatannya menjelang Maghrib sampai Isya. Kita memberi toleransi kepada mereka. Maka kita pun tidak pakai qiroah, tidak pakai puji-pujian," terangnya.

2. Tiga ormas remaja beda agama di Desa Pancasila saling menjaga

Belajar dari Pemuda Desa Balun, Jadi Saudara Tak Perlu SedarahIDN Times/Sukma Shakti

Lebih dari soal azan, muslim di Desa Pancasila juga punya cara lain dalam menghormati saudara beda keyakinan. "Satu contoh ada momentum Natal. Kita intruksikan Remaja Masjid jaga keamanan. Begitu juga Hindu yang mengadakan Nyepi biasanya ada Pawai Ogoh-ogoh. Kita bantu pengawalan dan pengamanan," kata Suwito.

Senada dengan Suwito, Ketua Karang Taruna (Kartar) Buana Bakti, Herman pun menyatakan demikian. "Ketiga (golongan pemuda) agama itu satu komando dalam karang taruna," katanya.

Dia mencontohkan, kegiatan kreatifitas di Desa Pancasila kerap dilakukan kolaborasi. Seperti dalam pentas musik, Remas menggunakan alat musik gambus, Remaja Pura memakai gamelan dan Remaja Gereja mengenakan alat band. Kolaborasi ini pun terlihat sangat menawan ketika hari besar nasional digelar. "Ada kegiatan musik. Dalam musik ada agama Hindu, Islam dan Kristen," ucap Herman.

3. Pemuda-pemudi datang di hajatan meski beda agama

Belajar dari Pemuda Desa Balun, Jadi Saudara Tak Perlu SedarahIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Bahkan, dalam beberapa upacara adat yang menjadi tradisi salah satu agama, pemuda di sana juga tak sungkan untuk nimbrung.  "Hal yang saya rasa dari dulu sampai sekarang seperti kenduren. Ada orang selametan. Meski yang kenduren agama Islam, semuanya diundang.

Yang terpenting, lanjut Herman, dalam kehidupan di desa yang mempunyai keberagaman, yaitu menjaga etika. "Apabila sebelah agama beribadah, jaga ketenangan. Kedua menjaga sama-sama lingkupnya. Kalau di warung sharing santai, tidak usah ngomong soal agama. Yang kita jaga pergaulan sikap kita sehari-hari saja," katanya.

4. Bahkan, beda agama dalam satu keluarga juga tak jadi sumber konflik

Belajar dari Pemuda Desa Balun, Jadi Saudara Tak Perlu SedarahIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Perbedaan di Desa Pancasila sepertinya sudah menjadi hal lumrah. Betapa tidak, aku mendapatkan informasi bahwa ada satu keluarga yang memiliki tiga agama berbeda. 

Aku pun menemui seorang pemudi, Indah Puspasari. Dia adalah salah salah satu perempuan yang pindah agama dari Hindu ke Islam karena pernikahan. Dia memilih untuk ikut suaminya. Meski berpindah, tak pernah ada konflik yang muncul akibat perbedaan itu. Bahkan, salah satu saudaranya juga memilih menjadi pemeluk Kristen lantaran menikah.

"Ya gak ada pertikaian apapun. Intinya ya direstui, soalnya memang kemauan sendiri. Kalau di sini (Desa Balun) sudah biasa seperti itu. Kalau orangtua ibadah ya dihormati. Saling menghormati itu jadi kuncinya, biar tidak ada permasalahan. Intinya, tidak ada yang dipermasalahkan tentang perbedaan agama di rumah," terang Indah.

Baca Juga: Sego Boran, Makanan Khas Lamongan yang Pedas nan Lezat

5. Agama adalah hak paling dasar dari seseorang

Belajar dari Pemuda Desa Balun, Jadi Saudara Tak Perlu SedarahIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Mendengar pernyataan Indah, aku pun menemui tokoh agama Hindu Desa Pancasila, Adi Wiyono. Aku bertanya, apakah perpindahan agama ini tak lantas membuat masyarakat Hindu di sana menjauhi orang seperti Indah.

"Kami serahkan ke pribadi masing-masing. Toh itu hak asasi masing-masing menentukan pilihan agama dan kepercayaan sesuai hati nurani. Sehingga tidak ada yang dipermasalahkan," ungkap Adi saat ditemui di rumahnya.

Pria yang juga guru Sekolah Dasar (SD) ini menyampaikan, setelah berpindah agama, kehidupan keseharian orang tersebut tak nampak kalau adanya perbedaan. Bahkan, dia melihat kerukunan itu tetap terawat. "Sangat rukun, mereka tetap saudara. Yang penting menjalankan ibadah agama masing-masing tidak saling mengganggu umat lain," terang Adi.

Bahkan, jelang Hari Raya Nyepi, keharmonisan satu keluarga beda agama masih tetap terjaga. Adi pun menuturkan hal serupa terjadi tak hanya saat Nyepi. Ketika pawai Ogoh-ogoh misalnya, warga Desa Balun juga antusias menyambut tradisi besar warga Hindu itu. Bahkan, warga yang tak beragama Hindu terkadang juga ikut membuat ogoh-ogoh.

Baca Juga: Menikmati Indahnya Keberagaman Semarang melalui Wisata Religi

6. Kerukunan dan persatuan antar pemuda diwujudkan dalam pertunjukan kolaborasi

Belajar dari Pemuda Desa Balun, Jadi Saudara Tak Perlu SedarahIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Ihwal partisipasi pemuda saat pawai ogoh-ogoh juga dibenarkan oleh Ketua Majelis Gereja, Sutrisno. Pemuda, dari berbagai macam latar agama biasanya sudah menyiapkan jauh-jauh hari acara tersebut. 

Sutrisno juga menyebut bahwa nafas kerukunan pemuda sangat terlihat di perayaan hari besar nasional. Dia mencontohkan pada tahun lalu. Meski pagelaran Sumpah Pemuda di digelar di halaman Gereja, masyarakat tetap antusias datang meramaikannya. Justru, pagelaran tersebut jadi tontonan dan sarana hiburan untuk warga desa.

"Karena waktu itu ada pertunjukannya juga. Antar pemuda saling kolaborasi. Mereka memadukan pertunjukan lintas agama yang dipadukan. Pada kesempatan itu saya juga memberi pesan, bahwa kerukunan di sini sudah terjalin sejak lama. Maka harus dijaga," kata Sutrisno.

Belajar dari Pemuda Desa Balun, Jadi Saudara Tak Perlu SedarahIDN Times/Sukma Shakti

7. Satu tumpah darah, jadi saudara tak perlu sedarah!

Belajar dari Pemuda Desa Balun, Jadi Saudara Tak Perlu SedarahIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Kepala Desa (Kades) Balun, Khusyairi juga menyampaikan hal yang sama seperti Sutrisno. Dia mengungkapkan kalau bukti yang ada, yakni keberadaan Masjid, Pura dan Gereja dalam satu blok ini tidak ada rekayasa. Sehingga, Desa Balun ini juga disebut Indonesia Mini atau replikanya Indonesia. "Karena ada hubungan dengan pluralisme. Rata-rata mereka yang berkunjung ke sini merasa kagum," katanya saat ditemui di Balai Desa Balun.

Nilai-nilai pluralisme tersebut pun ditularkan oleh tokoh dan pemerintah desa ke generasi muda melalui berbagai kegiatan. Menurut dia, langkah ini paling efektif. "Kita adakan kegiatan yang bisa menyatukan generasi muda di tengah perbedaan ini. Contoh buber (buka bersama) lintas remaja agama. Kita ajak diskusi dan ngumpul bareng," terang Khusyairi.

Pemerintah Desa, lanjut Khusyairi, sangat menyupport usulan kegiatan positif apapun dari para pemuda. Dia memastikan, anak-anak desa tidak ada lagi jarak pergaulan. "Sekarang ini generasi muda 10 tahun ke atas tidak ada jarak lagi. Mereka berinteraksi dengan baik tanpa rasa minder," ungkapnya.

Khusyairi juga menyampaikan, suskesnya keberagaman dan persatuan di Desa Balun tidak lepas dari keterbukaan. Muslim sebagai mayoritas tidak boleh merasa paling berkuasa. Sementara non muslim tidak minder meski hanya minoritas. "Muslim tidak boleh menutup diri dengan non muslim. Sehingga ada sinergi. Semua merasa nyaman dengan perbedaan itu," pungkasnya.

Balun menjadi contoh bahwa Sumpah Pemuda yang diproklamirkan 90 tahun yang lalu bukan pepesan kosong belaka. Indonesia adalah negara yang dibangun di atas keberagaman. Ingat, selamanya kita akan tetap satu tumpah darah meski berbeda agama. 

Baca Juga: 5 Tokoh Dunia yang Lahirnya Sama di Hari Sumpah Pemuda

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya