SKB 11 Menteri Soal Radikalisme, YLBHI: Pintu Awal Otoritarianisme
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Surabaya, IDN Times- Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, mengkritik penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 menteri soal penanganan radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurutnya, SKB 11 menteri merupakan langkah awal untuk menghidupkan kembali otoritarianisme di Indonesia.
“Perseteruan elit sebenarnya menciptakan orang-orangan sawah yang kalau dilihat dari jauh terlihat menyeramkan, padahal dari dekat bukan orang. Orang-orangan sawah ini pada 1965 adalah komunis, pada Orde Baru adalah ekstrem kanan dan kiri, dan pada era sekarang adalah radikalisme,” kata Asfinawati saat diskusi di LBH Surabaya, Selasa (3/12).
1. SKB 11 Menteri mencampurkan radikalisme dengan intoleransi
Lebih jauh, alumnus Universitas Indonesia (UI) itu menilai, SKB 11 menteri berbahaya karena mengidentikkan mereka yang terpapar radikalisme dan intoleransi sebagai teroris.
“Radikalisme ini kan maknanya mengakar, ada juga yang menyebutnya konservatif Islam, tapi mereka belum tentu teroris. Intoleran juga, banyak orang intoleran di sekitar kita tapi dia tidak jahat. SKB menteri ini lompatan yang sangat jauh, mencampuradukkan antara teroris dengan intoleransi atau radikalisme,” papar dia.
2. Upaya negara menciptakan musuh bersama
Asfinawati menyadari bahwa narasi pemerintah terhadap radikalisme merupakan upaya untuk menciptakan musuh bersama. SKB 11 menteri secara tidak sadar, tutur Asfinawati, menumbuhkan kesan bahwa kondisi Indonesia hari ini sudah darurat terorisme.
“Ketika situasi tidak otoriter, bagaimana caranya menjadi otoriter? Yaitu perlu musuh bersama. Nah itu macam-macam, kadang komunis, LGBT, atau radikalisme. Apakah mereka ada? Ada, tapi apakah mereka bahaya? Belum tentu, sehingga mereka (pemerintah) menciptakan suasana seakan situasi genting,” jelasnya.
Baca Juga: Polisi Larang Mahasiswa Demo, YLBHI: Itu Tindakan Inkonstitusional!
3. Dalam keadaan genting, kebebasan terenggut
Jika publik sudah takut dengan narasi radikalisme, maka “tangan dingin” negara bisa merenggut kebebasan sipil karena alasan kegentingan situasi.
“Karena situasi genting, maka kebebasan kita harus dibatasi. Masak ketika ada perang kita malah bikin lomba sepak bola. Sehingga muncul kondisi darurat, ini lah sesungguhnya otoriter yang komplet dan sempurna. Saya berharap semoga kita tidak sampai di sana,” kritiknya.
Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb
Baca Juga: Jokowi Tak Keluarkan Perppu KPK, YLBHI: Indonesia Kembali ke Orde Baru