Santri dan Sejuta Tuntutan di Era Millennial

Diminta jadi pencerah sekaligus tetap gaul

Surabaya, IDN Times- Najmi Laila Elbasyrah, santriwati kelas akhir Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta Selatan, menceritakan betapa sulitnya menjadi santri di zaman millenial. Perkembangan teknologi dan penggunaan sosial media yang tak lagi terarah kerap menjerumuskan santri ke dalam pergaulan bebas.  

"Berat banget rasanya menjadi santri di era millenial. Karena kita ditantang buat lebih kritis. Di satu sisi, santri harus gaul. Di sisi lain, gaulnya harus sesuai koridor yang sudah diajarkan oleh guru-guru kami," terang Najmi kepada IDN Times.  

Keluhan serupa juga disuarakan santri lain, Iqbal Firdaus. Ia tidak menafikan bahwa masyarakat sering kebingungan dalam mencari figur tauladan terkait urusan agama. Dalam hal ini, tuntutan santri sebagai kalangan terpelajar yang memahami agama semakin berat.  

"Tuntutan masyarakat kepada santri besar banget di era modern, tanpa memandang apakah dari pondok salaf atau modern. Masyarakat memandang santri adalah orang yang paham segala hal tentang agama. Kalau ditanya soal agama tapi gak bisa menjawabnya, itu mencoreng citra santri dan sekolah kami," kata santri yang bermukim di Pesantren Luhur Sabilussalam ini.  

Tak hanya Najmi dan Iqbal, jutaan santri lain juga menghadapi hal yang sama. Namun, ketika tantangan tersebut bisa dihadapi, maka santri adalah salah satu solusi bagi permasalahan bangsa.  

1. Santri harus mengejar keterlambatan dalam bidang teknologi

Santri dan Sejuta Tuntutan di Era MillennialANTARA FOTO/Budi Candra Setya/

Tantangan berat santri dipahami betul oleh Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia dan New Zealand (PCINU), Nadirsyah Hosen. Ia mengatakan bahwa perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) adalah tantangan terberat santri zaman sekarang. Maklum, beberapa pesantren memang melarang penggunaan gawai dan perangkat elektronik. Ini tentu sebuah dilema. Sebab, di masa lalu, Islam pernah jaya justru karena ilmu pengetahuan. 

“Kita pernah punya Averus dan Ibnu Sina. Dulu kita pernah jaya, kemudian hari ini disusul oleh Barat. Ini juga menjadi tantangan. Saya membayangkan ada ahli fisika yang paham fiqih, dokter yang hafal Alquran. Jadi tantangan yang dimaksud bukan semata-mata tantangan fisik,” kata pria yang karib disapa Gus Nadir ini.  

Secara tersirat, ia menyayangkan daya literasi santri dan umat Islam yang semakin lama semakin rendah. Padahal, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah anjuran untuk membaca.  

“Wahyu pertama adalah perintah untuk membaca, iqro (bacalah!). Objeknya tidak disebut baca kitab kuning atau buku biologi, makanya saya gak setuju dengan pemisahan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, dulu Averus itu dokter yang juga ahli filsafat, sama juga Ibnu Sina. Nah, Islam pernah berjaya karena berhasil menginstitusionalisasikan wahyu pertama itu,” ujar pria yang juga mengajar di Monash University ini.

2. Adab harus tetap nomor satu

Santri dan Sejuta Tuntutan di Era MillennialIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Meski harus melek teknologi, Gus Nadir kembali menekankan bahwa santri harus mengedepankan akhlak ketimbang apapun. Seberapa tinggi ia kuliah, seberapa banyak harta yang dimiliki, hingga setinggi apapun jabatannya, seorang santri harus tunduk terhadap kiainya dan mereka yang memiliki ilmu. 

“Saya itu S1 dua kali, S2 dua kali, S3 dua kali, tapi kalau bertemu kiai sepuh tetap cium tangan. Adab itu penting. Bahkan, cara berjalan cara duduk di hadapan orang berilmu itu penting. Kalau kata Gus Mus santri itu tidak harus mereka yang belajar di pesantren. Santri itu adalah mereka yang memiliki akhlak,” dia mengingatkan.  

3. Santri harus menjadi pencerah di tengah era serba hoaks

Santri dan Sejuta Tuntutan di Era MillennialIDN Times/Kevin Handoko

Melek teknologi dan beradab saja nyatanya tak cukup. Tugas berat lain seorang santri adalah menjadi ujung tombak dalam urusan literasi. Selepas lulus dari pesantren, mereka akan terjun langsung di tengah era serba hoaks seperti saat ini. Setidaknya hal itu diakui oleh pemuka agama lain, Pendeta Martin Lukito Sinaga. Ia mengatakan bahwa santri merupakan kalangan terpelajar yang harus menelaah berbagai kitab agama dan menularkan kepada masyarakat luas.  

“Pesantren ini saya kira unik ya, karena mereka mendalami ajaran Islam mendalam. Pesantren bisa mengembangkan pendalaman literasi. Ketika santri berinteraki dengan masyarakat dan ingin untuk menggunakan ilmunya, dia bisa menyebarkan semangat literasi. Apalagi paham santri ini kan moderat atau bisa mengkontekstualisasikan antara keIslaman dengan kebangsaan,” papar Martin.  

“Hoaks itu marak karena kedangkalan membaca. Nah santri yang rajin menelaah kitab-kitab itu bisa menjadi penangkalnya.”  

Salah satu contoh figur yang dianggapnya layak dicontoh adalah Ulil Abshar Abdalla Menurut pria yang juga bekerja di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini, Ulil adalah gambaran bagaimana pesantren berhasil memadukan ilmu keIslaman konteks komdernan.  

“Walau dia kontroversi karena liberal, tapi dia tetap santrikan. Kedalaman membacanya saya rasa gak diragukan lagi santri yang satu ini ya. Kebebasan berpikirnya bisa dikaitkan dengan keIslaman dan demokrasi juga,” tambahnya. 

4. Perlu mencontoh Gus Dur, hingga Din Syamsuddin

Santri dan Sejuta Tuntutan di Era MillennialIDN Times/Arief Rahmat

Satu lagi tuntutan yang harus dipenuhi oleh para santri adalah nasionalisme. Maklum, tak banyak sosok yang bisa menggabungkan keluhuran seorang santri dengan jiwa nasionalis. Abdurrahman Wahid, Azyumardi Azra, dan Din Syamsuddin adalah segelintir lulusan pesantren yang mampu menggabungkan dua unsur tersebut. 

Tokoh-tokoh tersebut juga dianggap mampu menjadi sosok yang sadar bahwa mereka adalah warga dunia yang siap menyongsong era apapun. Ahmad Zayadi, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama memaparkan, “Saya kira santri harus memiliki kesadaran juga sebagai warga dunia. Dalam kaitan itu, harus memiliki tingkat kepercayaan diri yang luar biasa. Modal utamanya adalah kemandirian ya, karena santri itu dibuna untuk mandiri, sehingga santri ini harusnya yang paling fleksibel dalam menyongsong era apapun.” 

Menurut Zayadi, santri juga bisa menjadi garda terdepan dalam menjaga persatuan bangsa. Hal itu sesuai dengan resolusi jihad yang disampaikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Semangat inilah yang harus disebarkan dan terus dijaga demi menjaga kesatuan bangsa.  

“Hari Santri itu terilhami ketika Kiai Hasyim Asy’ari menekankan bahwa wajib hukumnya membela NKRI. Ini menjadi sanad perjuangan santri bahwa mereka itu harus memiliki semangat patriotisme dan nasionalisme. Melalui Hari Santri kami ingin memastikan bahwa semangat itu bisa terus berkembang,” beber dia.  

5. Kementerian Agama siapkan santri dalam menyambut Revolusi Industri 4.0

Santri dan Sejuta Tuntutan di Era MillennialPondok Pesantren Darunnajah

Meski menghadapi segudang tuntutan, para santri tak sendirian. Pemerintah mengaku sudah menyiapkan berbagai program untuk meningkatkan kompetensi mereka terutama dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0. Kementerian Agama misalnya, telah menyediakan beasiswa santri berprestasi sejak 2005. Melalui kesempatan tersebut, santri yang memiliki minat di bidang pengembangan teknologi akan mendapat pembiayaan dari negara untuk melanjutkan studinya.  

“Dari sekian banyak program studi yang kami tawarkan, program studi yang terkait dengan penguatan teknologi informasi adalah yang kami siapkan. Ini juga berdampak terhadap mulai tumbuhnya literasi santri, karena mereka tertarik mendapat kesempatan beasiswa supaya ahli di bidang teknologi dan informasi tertentu,” terang Zayadi.  

Belum cukup sampai di situ, dengan aplikasi iSantri yang berbasis di Android, Kementerian Agama berharap santri lebih melek teknologi. Ke depannya, tidak menutup kemungkinan santri mengaji dari kitab kuning yang telah didigitalisasi pada aplikasi tersebut. “Itu ada perpustakaan digitalnya, kami punya 70 ribu kitab lebih. Sekarang sudah 8500 yang metadigital dan itu sudah kita posting dengan izin resmi. Jadi santri harus bisa mengkondisikan diri dengan tren ini."

Baca Juga: Dari Tradisional Hingga Post-Islamisme, Sandiaga Layak Disebut Santri?

6. Ada jutaan santri yang menanti peningkatan kompetensi

Santri dan Sejuta Tuntutan di Era MillennialIDN Times/Arief Rahmat

Namun, tugas pemerintah dipastikan tak mudah. Sebab, ada jutaan santri dengan berbagai latar belakang di Indonesia. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Direktorat Pondok Pesantren Kementerian Agama, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 25.938 unit dengan Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah pesantren terbesar.  “Secara kelembagaan potensi pesantren sangat besar. Jumlahnya mencapai 28 ribu ya, itu belum termasuk satuan pendidikan yang ada di pesantren,” kata Zayadi. 

Adapun jumlah santri di Indonesia mencapai 3.962.700 orang dengan pembagian 2.671.417 santri adalah mereka yang bermukim dan 1.291.283 santri adalah mereka yang tidak bermukim. 

7. Santri adalah budaya asli Nusantara yang harus dijaga

Santri dan Sejuta Tuntutan di Era MillennialIDN Times/Kevin Handoko

Terakhir, menurut Martin, Hari Santri Nasional adalah momen yang tepat untuk melestarikan budaya asli Nusantara. Ia meyakini istilah santri dan kiai hanya dimiliki oleh Indonesia. “Di dunia Islam gak dikenal santri dan kiai. Itu hanya dikenal di Indonesia. Akar katanya dari tradisi hindu ya," sambungnya.  

Karena nilai kebangsaan yang begitu melekat dengan santri, Martin tidak sepakat bila pesantren disebut sebagai tempat yang mengajarkan paham-paham radikal. "Justru semakin mendalam bacaannya, mereka semakin terbuka. Saya pernah studi ke pesantren dan memang di sana belajarnya mengaitkan antara Islam dengan Indonesia. Karenanya, sebagai orang Kristan saya antusias juga jadinya," tutup Martin.   

Baca Juga: Hari Santri Nasional, Sandi Main Rebana Hingga Buka Rumah Pemenangan

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya