Bung Tomo dan Pergeseran Makna Idola bagi Millennials

Daripada pahlawan, millennial lebih mengidolakan ikon budaya

Surabaya, IDN Times- Menjelang Hari Pahlawan 10 November 2018, pada Kamis (8/10) aku mengunjungi makam pejuang kemerdekaan asli Surabaya. Ya, dia adalah Sutomo atau bangsa ini akrab mengenalnya sebagai Bung Tomo. Di sana, aku bertemu dengan Kusiati yang duduk tepat di samping dagangannya. Saat aku menepikan motorku, dengan duster merah dan kerudung coklatnya ia langsung berdiri dan bertanya, “Mau beli bunga berapa mas?” 

“Mau ziarah ke Makam Bung Tomo bu,” jawabku. “Ohhh itu ke sana saja mas, ada bacaanya gede kok,” ia mengarahkan. Sebelum bertolak ke makam yang telah aku ketahui posisinya, aku bertanya kepadanya, “Ibu sudah berapa lama jualan bunga?,”. Melihat id card yang aku gunakan, sepertinya ia paham bahwa aku adalah seorang wartawan. Aku pun dipersilakan duduk tepat di sampingnya. 

“Ibu sudah dari 1963 jual bunga di sini,” katanya. Perempuan 65 tahun itu mengaku jika pendapatannya semakin lama kian berkurang. “Ya zamannya sudah berbeda mas, sekarang orang semakin dikit yang ziarah,” ceritanya. Suasana makam pun terlihat sangat sepi. Padahal dua hari ke depan Hari Pahlawan akan dirayakan.

1. Zaman telah berubah, semakin dikit yang ziarah ke makam Bung Tomo

Bung Tomo dan Pergeseran Makna Idola bagi MillennialsIDN Times/Vanny El Rahman

Pertanyaanku seolah membawa Kusiati mengingat masa mudanya ketika berusia 22 tahun. Ia ingat betul bagaimana suasana makam yang berlokasi di Jalan Ngagel Rejo, Wonokromo, Surabaya ketika jenazah Bung Tomo tiba dari Tanah Suci. Sebagaimana diketahui, sang orator ulung itu wafat ketika menjalani ibadah haji di Arafah pada 07 Oktober 1981.

“Iya saya ikut (makamin). Ramai banget waktu itu, anak-anak pada manjat, jalan raya macet, sampai ada pohon yang ditebang. Itu ramai-ramai sudah dari jam 10 eh datangnya jam 3 sore,” pangkas dia. Sesekali ia berhenti berbicara ketika ada peziarah yang memesan bunga darinya. “Itu ramai sampai malam harinya,”.

Tidak hanya hari itu, hingga 7 malam Bung Tomo disemayamkan di Surabaya, pemakaman tersebut selalu dipadati oleh peziarah. “Pokoknya dulu pasti ada yang ziarah setiap hari, walau cuma satu atau dua. Anak-anak pulang ngaji, guru-guru agama, ada aja yang ziarah,”. Begitu pun menjelang November, menurut Kusiati makam tersebut tidak pernah sepi dari pengunjung.

“Tapi sekarang ya begini, ramainya pas Hari Pahlawan saja atau pas momen politik, mau Pilkada itu ramai. Kalau hari-hari biasa mah sering sepinya. Sekarang paling menjelang November cuma dari polisi, TNI, atau keluarga aja yang ziarah,” beber dia.

2. Kebanyakan pengunjung dari luar kota

Bung Tomo dan Pergeseran Makna Idola bagi MillennialsFacebook/Bambang Sulistomo

Setelah berbincang sekitar 10 menit dengan Kusiati, aku pun menemui Rianto, dia merupakan Kepala Cabang Makam Ngagel Rejo sejak 2011. Berbeda dengan sang penjual ibu, menurut Rianto jumlah pengunjung makam Bung Tomo setiap tahun semakin banyak. Namun, ia menyayangkan bila pengunjung yang datang bukan berasal dari Surabaya.

“Ya kalau yang ziarah sih gak tiap hari ada. Tapi kalau pengunjung itu semakin banyak yang dari luar kota. Yang Surabaya palingan yang komunitas-komunitas yang ziarah,” ia menyampaikan.

Kendati begitu, ia tetap bersyukur masih ada beberapa sekolah dasar atau taman kanak-kanak yang memiliki kegiatan menziarahi makam dengan luas total 6 hektare itu. “Ini kan pemakaman umum, di depan Makam Pahlawan, kalau pengunjungnya lebih banyak yang ke sini karena ada Bung Tomonya. Ya masih ada lah anak-anak yang ke sini bareng-bareng."

3. Makam Bung Tomo tidak pernah kekeringan bunga

Bung Tomo dan Pergeseran Makna Idola bagi MillennialsIDN Times/Sukma Shakti

Bung Tomo dimakamkan di atas tanah seluas 6x4 meter. Di depan makamnya terdapat dua batu nisan besar yang bertuliskan “Makam Pahlawan Nasional Bung Tomo (1920-1981)” dan batu nisan lainnya bertuliskan isi orasi Bung Tomo pada 10 November 1945. Makam tersebut dipagari dengan besi yang dibentuk bak bambu runcing.

“Ini baru saja dicat warna kuning dua hari lalu, terus dikasih bendera-bendera gini,” terang Muhamamd Mursyid, lelaki yang bertugas membersihkan makam Bung Tomo sejak 2014. “Ini pagarnya saya buka jam 7.30 WIB ketika saya bersihkan dan saya tutup sekitar jam 16.00 WIB.”

Selaras dengan apa yang disampaikan Rianto, Mursyid mengaku tidak setiap hari orang menziarahi makam sang pahlawan. Namun, dia terkagum karena bunga yang ditaburi di atas makamnya pasti tidak pernah kering. Begitu pula dengan bunga di atas makam sang istri yang wafat pada 31 Agustus 2016 silam, Sulistina Sutomo.

“Kalau bunga pasti gak pernah kering. Bukan apa-apa, tapi setiap minggu ada aja yang ziarah terus naburin bunga. Entah komunitas, ahli waris, pengunjung, atau veteran. Pokoknya gak pernah kering,” jelas lelaki berusia 43 tahun itu. 

Baca Juga: Kisah Bung Tomo: Garang di Medan Perang, Manis pada Istri Tersayang

4. Banyak milennial di Surabaya yang belum pernah mengunjungi makam Bung Tomo

Bung Tomo dan Pergeseran Makna Idola bagi MillennialsIDN Times/Vanny El Rahman

Lantaran aku tidak menemukan satu pun milenial di sekitar Makam Ngagel Rejo, aku bertanya kepada beberapa pemuda Surabaya. Salah satunya adalah Sukma Robby, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga.

Selama di Kota Pahlawan, pemuda berusia 22 tahun itu mengaku belum pernah berkunjung ke Makam Bung Tomo. “Belum pernah ke makamnya. Tempatnya sih tahu, Cuma belum kesampaian aja,” jawabnya.

Begitu pula dengan Ligina Yoni Kurniawan. Pemuda berusia 23 tahun ini juga belum pernah mengunjungi tempat Bung Tomo beristirahat selama-lamanya. “Kalau sekedar lewat sering sih, cuma belum kesampaian untuk berkunjung ke sana,” imbuhnya.

Baik Robby ataupun Yoni mengakui Bung Tomo sebagai pahlawan kebanggaan Surabaya. Pekikan khasnya “Merdeka atau Mati..!!” menjadi cara kedua milenial ini mengenal Bung Tomo.

“Bung Tomo itu pantang menyerah. Dia identik dengan Surabaya, perjuangannya bisa menggerakkan masyarakat, khususnya makyarkat Surabaya untuk sadar akan kemerdekaan,” beber Yoni.

 

5. Keluarga Bung Tomo menilai millennials mulai lupa akar sejarah

Bung Tomo dan Pergeseran Makna Idola bagi MillennialsIDN Times/Vanny El Rahman

Seketika aku ingat dengan ungkapan Bung Karno soal “Jas Merah” yang kemudian diterangkan oleh Guruh Soekarnoputra sebagai “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Sepertinya hal itu pula yang dirasakan oleh Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo.

Di usianya yang ke-68 tahun, Bambang sibuk keliling negeri untuk memberikan ceramah soal nasionalisme. Belum lama, ia baru saja memberi ceramah di SMP Bakti Mulya 400, sekolah yang didirkan oleh tentara.

“Di sana saya bertanya, siapa yang bisa menerima Pembukaan UUD 1945 sebagai wujud perjuangan agar negara ini lebih baik. Hanya sebagian orang yang angkat tangan, padahal itu sekolah tentara,” pangkas Bambang ketika ditemui di Gramedia Library Cafe.

“Kan ada gurunya, saya tanya juga, apakah ketika upacara hanya mendengarkan pembacaan UUD 1945 atau disuruh mengikuti dan mereaspinya juga. Katanya hanya sekadar mendengarkan saja. Nah ini berbahaya, ini yang menjadikan milenial itu tidak memiliki idealisme,” sambungnya.

Bagi Bambang, memahami Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila adalah cara yang paling mudah untuk menghormati para pahlawan. “Bapak setiap 17 Agustus menangis ketika mengibarkan bendera. Dia teringat perjuangan teman-temannya. Bapak itu menanggung beban karena dia berorasi untuk mengajak masyarakat bertempur dengan bambu runcing, golok. Makanya bapak gak mau bangsa ini disia-siakan begitu saja,”.

Sebenarnya, Bambang ingin supaya makam orangtuanya dikunjungi banyak orang. Sebab, Bung Tomo memilih dimakamkan di Pemakaman Umum daripada di Taman Makam Pahlawan.

“Bapak sejak kami kecil bilang kalau saya mau dimakamin di situ (Pemakaman Umum) saja. Saya mau dimakamkan di tengah rakyat karena saya berjuang Bersama rakyat.”

6. Bagaimana cara milenial menghormati pahlawan?

Bung Tomo dan Pergeseran Makna Idola bagi MillennialsIDN Times/Vanny El Rahman

Aku pun mengadukan apa yang aku temukan kepada Bagong Suyanto. Dia adalah Guru Besar Sosiologi di Universitas Airlangga. Sebagai sosiolog yang akrab dengan budaya Surabaya, bagi Bagong perubahan zaman telah memberikan orientasi yang berbeda terhadap cara menghormati pahlawan.

“Referensi anak muda hari ini berbeda dengan generasi saya. Kalau dulu saya masih sering dengar dari orangtua kisah perjuangan kemerdekaan, karena mereka merasakannya. Tapi anak saya hampir gak pernah diskusi tentang itu. Jadi mereka memang generasi yang terputus dari akar sejarahnya,” beber dia.

Kendati begitu, Bagong menegaskan bahwa masih banyak millennial yang memiliki rasa nasionalisme. Kecintaan terhadap Tanah Air, menurutnya, tidak bisa diartikan sebatas melawan penjajah. Tantangan nasionalisme pemuda hari Ini adalah globalisasi.

Bagong melanjutkan, “Sekarang mereka (pemuda) perangnya melawan globalisasi, melawan budaya-budaya yang selama ini tidak sesuai dengan Indoensia. Nasionalisme pemuda akan terlihat ketika bersinggungan dengan konteks global, seperti saat Timnas sepak bola bermain atau pas Asian Games misalnya."

“Jadi tidak serta-merta menghormati pahlawan diartikan dengan ziarah ke makam. Karena mereka tidak membicarakan romantisme perjuangan. Yang mereka perjuangkan adalah aktualisasi diri. Jadi saya tidak salahkan yang mengenang pahlawan dengan berziarah juga yang mengenang pahlawan dengan cara millennial sekarang,” sambungnya.

7. Pemuda harus menjadikan Bung Tomo sebagai tauladan

Bung Tomo dan Pergeseran Makna Idola bagi MillennialsIDN Times/Vanny El Rahman

Terlepas dari apakah milenial harus mendatangi makam Bung Tomo atau tidak, Bagong mengingatkan supaya nilai-nilai yang dimiliki oleh Bung Tomo menjadi tauladan bagi kawula muda.

“Hari ini mungkin idolanya milennial bukan lagi pahlawan, tapi ikon-ikon budaya. Yang penting adalah bagaimana nilai-nilai kepahlawanan itu bisa ditauladani. Apa misalnya? Yaitu kemanfaatan untuk publik. Dulu pahlawan itu berjuang benar-benar untuk masyarakat, manfaatnya juga dirasakan. Nah pemuda jangan sampai berjuang hanya untuk dirinya sendiri,” demikian Bagong mengakhiri perbincangan kami.

Begitu pun Robby, menurutnya menghormati pahlawan adalah dengan memperbaiki diri sendiri. “Kita telah diwarisi kemerdekaan dari para pahlawan yang mereka telah gugur. Dari Bung Tomo, kita harus meneladani semangatnya, untuk kita harus semangat berprestasi, berkontribusi, dan melanjutkan perjuangan dengan cara kita,” tutup Robby.

Sebelum meninggalkan makam Bung Tomo, aku sempatkan diriku untuk duduk sejenak dan memanjatkan doa kepadanya. Sekalipun aku belum berkontribusi untuk bangsa, semoga doaku menjadi cara untuk menghormati mereka yang telah gugur berjuang. Tanpa mereka, akankah aku bisa menikmati Indonesia?

Yuk guys di Hari Pahlawan 10 November 2018 ini kita doakan bersama-sama supaya perjuangan mereka menjadi amal baik di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Aamiin.

Baca Juga: Putra Bung Tomo: Ayah Orang yang Humanis, Humoris, dan Romantis

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya