Vonis Tragedi Kanjuruhan Dinilai Preseden Buruk Hukum di Indonesia

Semua salah angin yang berhembus!

Surabaya, IDN Times - Pakar Hukum Universitas Airlangga (Unair), Prof Sunarno Edy Wibowo angkat bicara soal putusan ringan dan bebas tiga anggota polisi terdakwa Kanjuruhan. Putusan ringan ini menjadi preseden buruk bagi hukum di Indonesia. 

"Rasa keadilan bagi korban ini tidak tercapai ini omong kosong belaka, kecuali kalau korbannya hanya 1 atau 2, ternyata ini korbannya 135 kok diputus bebas," ujar Prof Bowo-sapaannya, Jumat (17/3/2023). 

Prof Bowo mengatakan, putusan ringan dan bebas yang diberikan kepada terdakwa disebut tidak mempertimbangkan nyawa 134 orang. Seharusnya hakim melalukan pemeriksaan terhadap keterangan-keterangan selama persidangan, sebagai pertimbangan dalam memutus ketiganya. 

"Hakim ini harus ada pemeriksaan apakah pertimbangan-pertimbangan yang dibuat itu betul atau tidak, oleh karena Komisi Yudisial tidak memantau hanya dari laporan saja, ini menjadi preseden buruk bagi orang yang mencari keadilan," ungkap dia. 

Vonis ringan dan bebas ini menurutnya menjadi preseden buruk bagi hukum di Indonesia. Tentu saja, vonis ringan dan bebas akan membuat keluaga korban kecewa. 

"Kecewa semua loh korban ini gak mungkin gak kecewa. Nah inilah yang menjadi preseden buruk bagi hukum di Indonesia," ungkap dia. 

Untuk meredam kekecewaan keluarga korban, Pasal 359 KUHP dapat dimaksimalkan oleh hakim. Apalagi, ketiganya terbukti dengan kealpaannya dapat menyebabkan orang meninggal dunia. 

"Apakah ada kealpaannya, kan disemprotkan, berarti kan kealpannya, berarti ancamannya 5 tahun, seharusnya itu dimaksimalkan jangan sampai meringankan, misalnya karena terdakwah berterus terang dan lain sebagainya itu kan hanya sebagai putusan hakim," kata dia. 

Dalam sidang tersebut, hakim memutus eks Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidiq bebas karena gas air mata ditembakkan di lapangan kemudian tertiup angin hingga ke tribun, menurut Prof Bowo tetep saja ada penyerta atau dalam istilah hukum disebut asas Deelmening yang dalam hal ini adalah gas air mata. 

"Ada yang memicu, ada komandannya, kalau itu dibawa angin, apakah alam disalahkan, angin sebab akibatnya, pemicunya itu kan yang berhubungan dengan keamanan," terangnya. 

Kemudian, soal tiga terdakwa tidak tau ada regulasi PSSI yang tidak boleh membawa gas air mata, menurut Prof Bowo, dalam istilah hukum ada istilah asas fiksi. Semua orang meskipun tidak tau ada regulasi, tetap dapat dijerat hukum. 

"Ini kembali kepada asas fiksi bahwa semua itu dianggap tahu hukum tidak ada pengecualian," pungkasnya. 

Seperti diberitakan sebelumnya,  tiga orang polisi terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan telah menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (16/3/2023). Ketiganya mendapatkan vonis sangat ringan. Bahkan dua polisi di antaranya divonis bebas.

Eks Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur, AKP Hasdarmawan divonis pidana penjara 1,5 tahun, eks Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi dan eks Kabag Ops Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto divonis bebas.

Putusan majelis halim sangat jauh dari tuntutan. Sebelumnya, terdakwa dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pidana penjara tiga tahun. Tuntutan ini merujuk pada pelanggaran tiga pasal. Yakni Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat (1) dan Pasal 360 ayat (2) KUHP.

Baca Juga: Eks Polisi di Kanjuruhan Bebas, Amnesty: Ini Tak Adil Bagi Korban

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya