Harap-harap Cemas Nelayan Surabaya Tergusur Reklamasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Surabaya, IDN Times - Hatib (60) warga Bulak Cumpat, Surabaya mulai bersiap mengarungi lautan Surabaya menggunakan perahu kesayangan, Selasa (6/8/2024). Berbekal solar dan alat tangkap berupa jaring, ia bergegas melansir perahunya sebelum matahari kian meninggi. "Klotok, klotok, klotok," bunyi mesin perahu yang ia tarik memecah deburan ombak, membawanya melaju meninggalkan daratan Surabaya.
Hatib sudah sejak lahir tinggal di Nambangan. Bapak ibunya mewariskan rumah dan bekal ilmu melaut. Sedari kecil, ia telah bergelut dengan dunia nelayan. Mulai pukul 07.00-14.00 WIB ia akan pergi melaut. Ketika pulang, hasil laut ia kumpulkan kemudian dijual ke pengepul. Kadang pula ke konsumen langsung.
Hasil tangkapannya beragam, mulai ikan kakap, kerang, kepiting, hingga jangkang. Kegiatan melautnya cukup untuk menghidupi keluarga, membangun rumah, hingga membeli barang-barang berharga. "Sehari kurang lebih dapat setengah kuintal hasil laut, saya pernah dapat uang Rp2 juta dalam sehari, itu kalau laut lagi bagus," ujar Hatib sembari menyeruput teh panasnya. Sayangnya, keseharian sederhana itu terancam berakhir dengan rencana proyek reklamasi di laut timur Surabaya.
Proyek reklamasi itu masuk dalam rancangan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang Perubahan Kelima Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Proyek ini adalah Surabaya Waterfront Land yang mereklamasi lahan seluas 1.084 hektare di sisi timur dengan estimasi investasi mencapai Rp72 triliun.
Rencana reklamasi ini mencakup empat blok. Pertama yakni Blok A, blok A memiliki luas 84 hektare yang akan menjadi pusat pariwisata dan hunian. Di dalamnya lengkap dengan perkantoran, hotel, ruko, dan kawasan rekreasi. Blok ini juga memiliki area konservasi mangrove.
Kedua Blok B, wilayah tersebut memiliki luas 120 hektare yang akan digunakan untuk zona perikanan, pelabuhan perikanan modern, pasar ikan segar, cold storage, pusat lelang perikanan, fasilitas pemeliharaan kapal, pusat perbelanjaan, industri olahan hasil laut, UMKM hasil laut, balai latihan perikanan, pusat pembibitan. Bahkan, di blok tersebut juga akan ada perumahan nelayan modern.
Ketiga Blok C, wilayah ini memiliki luas 260 hekta. Area tersebut akan menjadi zona kemaritiman, menampung kompleks marina, museum maritim nasional, convention center, hotel, dermaga, pusat pengembangan ilmu pengetahuan kemaritiman, perguruan tinggi aspek kemaritiman, ruko, area komersial, villa estate, apartemen, dan kompleks pendidikan umum.
Dan yang terakhir Blok D, wilayah tersebut memiliki luas 620 hektar akan menjadi pusat hiburan dan bisnis, dengan hall pertunjukan, hotel, apartemen,kompleks ruko, SWL Square, pasar produk ekonomi kreatif, dan industri zero emission yang ramah lingkungan.
Letak pulau-pulau reklamasi itu merupakan wilayah Hatib mencari hasil laut. Ia gusar tak bisa lagi mencari ikan.
"Di mana nanti tempat nelayan mencari ikan? Kalau melaut di jalur kapal, risikonya lebih besar. Nelayan sini nyari ikan di sekitar sini, paling jauh di Keputih," kata Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) Was (Pengawas) Kedung Cowek ini.
Apalagi, rencana letak pulau reklamasi itu merupakan tempat nelayan dari segala penjuru datang menangkap ikan. Mereka datang dari Gresik, Sidoarjo, bahkan Pasuruan.
"Ikan itu ke tengah laut lepas jarang malahan. Karena ini kan selat, bukan laut lepas, banyak (nelayan) yang ngumpul di sini. Laut sini itu ibarat ibu kota nelayan, ke sini semua, segala hal (hasil laut) ada, (karena ekosistem) yang masih utuh itu di sini," sebutnya. "Kalau ini mau dihabisi sama reklamasi, habis semua, gak cuma nelayan surabaya saja (yang terdampak)," ia menambahkan.
Meski bukan area laut dengan ekosistem yang baik, setidaknya ada sekitar 400 dari total 5000 nelayan Surabaya yang menggantungkan hidup pada wilayah Nambangan, Kenjeran. Belum ada reklamasi saja, Hatib mengatakan bahwa kualitas ekosistem di daerah tersebut terus menurun. Belum lagi sejak ada Jembatan Suramadu. Jembatan penghubung Pulau Madura dan Jawa ini mengubah arus laut dan membuat tangkapan mereka menurun.
"(Hasil tangkapan) ikan lebih banyak dulu, sebelum ada Suramadu, terkait arus itu ngaruh, faktor alam, faktor kerusakan lingkungan. Sedimentasi juga. Sekarang (hasil tangkapan) sudah tidak bisa diprediksi, dulu (setiap musim ini) ada ikan ini, sekarang sudah tidak bisa," katanya.
Hatib tak bisa membayangkan jika reklamasi benar-benar dilakukan. Ia dan para nelayan yang tinggal sekitar Kenjeran pun menolak keras proyek tersebut. "Tolak reklamasi, karena hajat hidup nelayan itu ada di situ, bagaimana dampak lingkungan, karena di situ ada terumbuk karang, ekosistem laut," pungkas Khatib.
Jika Hatib belum bisa membayangkan masa depannya usai reklamasi pantai Surabaya Timur, beda cerita dengan nelayan lain, Evan Budi. Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Lestari Kejawan Putih Tambak ini dan para anggotanya sudah berancang-ancang pindah profesi. "Baru ada isu tentang SWL saja banyak warga saya yang beralih profesi dari nelayan," katanya.
Baca Juga: Aksi di Depan DPRD Jatim, BEM SI Tolak Reklamasi Surabaya
Tak hanya nelayan, Evan mengatakan bahwa proyek ini juga berdampak bagi para petani tambak dan kelompok budaya ikan yang memiliki tambak di sekitarnya. "Warga kita bukan cuma istilahnya bergantung pada penghasilan di laut, ada petani tambak juga kelompok budidaya ikan," ujar dia.
Dampak lain yang juga dikhawatirkan adalah tidak terkontrolnya pasang surut air laut. Saat ini saja, arus air laut kerap menyapu tambak warga. "Kalau di sana ada pulau, otomatis kan pasang air lebih meningkat, sedangkan di sini ya, maaf, genangan air hutan mangrove aja sekarang agak ke timur, terus bekasnya tambak batu itu terjadi genangan air yang membuat tambak meluber, ikan banyak yang lari, banyak yang jebol, otomatis merugikan gak, ke petani tambak?'' ungkapnya.
Apa yang dikhawatirkan nelayan Surabaya diamini Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur. Perubahan iklim saat ini membuat wilayah tersebut membawa beban ekologis yang cukup berat. Ini mulai terlihat dari adanya abrasi, banjir rob, hingga sedimentasi.
Direktut WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka menilai kerusakan ekosistem adalah keniscayaan dari reklamasi dari proyek PSN SWL. Kerusakan ekologi laut dipastikan semakin parah terjadi saat proses pengurukan reklamasi berlangsung, material pengurukan biasannya diambil dari pasir laut melalui aktivitas penambangan. Proses penambangan pasir ini jelas saja mengorbankan biota laut.
"Penambangan pasir dari laut menggunakan penyedotan, dengan penyedotan itu mengakibatkan nelayan sulit mencari ikan karena banyak ikan yang mati," ujarnya.
Proyek tersebut, kata dia, akan mengubah kawasan laut timur Surabaya menjadi pulau-pulau. Tentu saja, perubahan ini bakal memusnahkan rumah bagi jutaan biota laut. "Ibarat bak air ada ikannya kemudian dikasih tanah, Ketika dikasih tanah, ya pasti ikan di dalamnya akan hilang mati. Itu akan berdampak pada potensi (tangkapan)nelayan yang kemungkinan akan hilang," ungkap dia.
Bukan cuma itu, reklamasi akan mengubah arus laut pesisir Surabaya. Hal ini akan membuat nelayan terpaksa melaut lebih jauh. "Meskipun klaimnya adalah tidak akan menghilangkan nelayan, nelayan akan terdampak karena ikannya gak ada," ungkap dia.
Belum lagi bencana iklim yang bakal dihadapi masyarakat pesisir ketika proyek tersebut berjalan. Laut yang berubah menjadi daratan, menjadi ancaman banjir rob yang semakin para di perkampungan nelayan.
"Kemungkinan potensi banjir rob akan semakin besar, karena menambah beban di lautan, dengan menambah pulau buatan itu sama saja kita menambah batu di dalam bak, yang seharunya daya tampungnya sekian, daya tampungnya ditambah lagi sehingga tidak mencukupi dan meluber," jelasnya.
Meskipun proyek ini tak memaksa nelayan untuk pergi, tapi ketika mata pencaharian mereka hilang, tempat tinggal terancam musnah karena bencana, pelan-pelan mereka akan meninggalkan wilayah tersebut. "Meminggirkan orang itu tidak hanya diusir begitu saja, atau digusur tapi ada proses pelan-pelan dimana sumber kehidupan akan hilang karena ada pembangunan tersebut," kata Wahyu.
Bagi Wahyu, PSN SWL adalah proyek yang dipaksakan karena mengubah topografi lautan. Menurutnya, pembangunan yang baik adalah yang menyesuaikan topografi, bukan mengubah topografi.
"Rencana tata ruang yang memang pola pembangunannya menyesuaikan dengan kondisi wilayahnya, bukan kondisi wilayah yang dipaksa mengikuti pembangunan, itu yang terjadi, salah kaparahnya di situ," terang dia.
Ia mencontohkan proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta. Yang terjadi bukan penataan kawasan, tetapi pengusiran paksa para nelayan. "Karena kawasan tersebut tidak diperuntukkan bagi masyatakat level menengah ke bawah," terangnya.
Reklamasi selain merusak ekologi laut juga menambah ketimpangan baru. Akan banyak masyarakat kehilangan pekerjaan, yang itu tentu saja dapat mempengaruhi sosial ekonomi pesisir Surabaya. "Proyek itu juga akan menambah ketimpangan, karena menghilangkan banyak pekerjaan yang ada di masyatakat Surabaya, rata-rata kota Surabaya ini ditopang oleh sektor menengah ke bawah seperti UMKM," pungkas dia.
Sementara itu, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Airlangga (Unair), Dr Eng Sapto Andriyono SPi MT yakin bahwa proyek reklamasi memiliki dampak ekologis. Hal tersebut berdampak pada kehidupan biota laut, termasuk hilangnya ikan dari pesisir. Kekeruhan yang meningkat akan mengganggu habitat alami ikan. Akibatnya, terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan di sekitar pesisir.
"Saat reklamasi terjadi, efeknya adalah timbul kekeruhan. Alat berat, material, pengeboran, dan lain-lain menyebabkan perairan keruh. Ikan-ikan akan pindah dan mungkin tangkapan nelayan berkurang," ujarnya
Menurutnya, laut merupakan perairan yang tanpa batas. Ekosistem laut saling terhubung. Perubahan pada suatu bagian akan berpengaruh secara keseluruhan di daerah sekitar. Dengan demikian, dampak kekeruhan dan gangguan yang terjadi akibat aktivitas reklamasi di satu pesisir dapat menyebar ke perairan sekitar. "Dalam konteks ini, kita tidak bisa membahas Surabaya saja. Laut itu borderless, tidak terbatas pada satu kawasan. Jadi, efeknya bisa sampai ke Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, dan seterusnya," terang Sapto.
Sapto menekankan pentingnya peran Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam proyek reklamasi Surabaya. Menurutnya, AMDAL merupakan alat yang krusial untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi dampak lingkungan dari proyek reklamasi. Ia juga menambahkan, proses AMDAL perlu melibatkan konsultasi publik untuk mempertimbangkan kekhawatiran masyarakat lokal.
Sapto pun memberi beberapa masukan terkait dampak sosial dan ekonomi yang mungkin terjadi akibat proyek reklamasi. Menurutnya, pemerintah harus aktif memberikan dukungan dan pendampingan terhadap warga pesisir. Pendampingan tersebut dapat berupa pelatihan atau kebijakan yang mampu mewadahi warga jika terjadi pergeseran mata pencaharian.
"Mata pencaharian warga sekitar mungkin akan bergeser, misalnya bukan lagi menangkap, tetapi berfokus pada pengolahannya. Ini membutuhkan peran pemerintah untuk menyediakan dukungan dan pendampingan intensif bagi warga," usulnya.
Baca Juga: Ratusan Nelayan Surabaya Geruduk PT Granting Tolak Reklamasi
Menurut Sapto, Surabaya dapat menjadi kota besar dan tetap memiliki kearifan lokal. Ikan asap Kenjeran misalnya. Pemerintah, warga, dan berbagai pihak dapat bersinergi untuk meningkatkan branding tersebut. Upaya tersebut tidak hanya akan membantu masyarakat dalam beradaptasi dengan perubahan, tetapi juga memperkuat kearifan lokal dan identitas daerah.
"Kemudian jika ditanya ikannya dari mana karena hasil tangkapan berkurang, inilah peran pemerintah. Pemerintah dapat bersinergi dengan berbagai pihak untuk memenuhi suplai kebutuhan warga. Misalnya, upaya memaksimalkan lahan untuk digunakan sebagai kolam budidaya ikan," paparnya.
Di sisi lain, Sapto berharap proyek reklamasi Surabaya tidak melenceng dari konsep keberlanjutan. Ia menekankan pentingnya pertimbangan dampak lingkungan jangka panjang dan kebermanfaatannya bagi masyarakat. Terlebih lagi proyek ini masuk sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), sehingga harus memberi manfaat bagi masyarakat luas.
Sementara itu, Pemerintah Kota Surabaya menjamin proyek reklamasi PSN SWL, tak menggangu mata pencaharian nelayan. Selain itu juga tak menganggu hutan mangrove. Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi mengatakan, pihaknya sudah bersurat kepada kementerian kelautan dan perikanan (KKP).
"Jadi pemkot sudah buat surat ke kementerian bahwa yang pertama terkait alam mangrovenya, kedua jika digunakan maka nelayan harus dapat hasil bahkan jauh lebih bagus atau lebih tinggi dari hasil dia sebelum ada kegiatan PSN," ujarnya Jumat (9/8/2024) lalu.
Eri tak akan membiarkan, proyek-proyek yang ada di Surabaya, termasuk PSN dapat menganggu keberlangsungan hidup masyarakat. Termasuk keberlangsungan hidup nelayan. "Karena tidak mungkin saya biarkan ketika ada kegiatan baru tapi bisa menghambat dan mematikan nelayan," terangnya. "Kalau ada izin PSN maka dampaknya harus positif bagi nelayan dan mangrove," tegas Eri.
Ia memastikan nelayan pesisir Surabaya tak akan dihilangkan. Ketika ada Surabaya Waterfront Land, masyarakat pesisir juga harus diberdayakan. "Tidak serta merta dihilangkan, bubar nelayanku gak mangan (bubar nelayan Surabaya, tidak makan), Yang saya harus tau berapa pendapatannya dia," tutur Eri.
Sementara itu, Juru Bicara PT Granting Jaya, Agung Pramono, pihaknya telah menerima berbagai respons dari para nelayan soal proyek tersebut. Ada yang menolak, memberi usulan hingga mempertanyankan mengapa proyek tersebut dibangun. "Itu sudah kita jawab semua, dan masukan ini akan jadi data kita untuk memperbaiki langkah-langkah kami. Karena ini terkait dengan nasib nelayan. Hampir semua itu bicara tentang nasib nelayan yang terdampak," ungkap Agung.
Agung menjelaskan, berbagai keresahan nalayan telah ia siapkan solisinya. Seperti bagaimana mereka bisa mendapatkan ikan, pekerjaan dan lain sebagainya. "Pengalihan pekerjaan ada, kami sudah menyiapkan, karena kami 100 hektare yang eksisting ini akan ada redesign untuk dibangun. Hal hal terkait dampak negatif, nelayan penagkap ikan itu terganggu, mereka akan kita alihkan, kita tawarkan untuk dialokasikan bekerja diproses pembangunan ini semua," jelas Agung.
Nantinya, perusahaan menjanjikan perumahan bagi nelayan di blok B. Di blok tersebut tak akan dibangun rumah-rumah mewah, melainkan khusus untuk rumah nelayan. "Rumah itu ya kelas nelayan, terjangkau oleh nelayan. Jangan dipikirkan untuk orang lain. Yang pasti tidak, kalau untuk pekerja yang terkait dengan perikanan, ya seperti itu. Tidak membangun rumah mewah," pungkas dia.
Baca Juga: 2 Kecamatan Surabaya Tolak Reklamasi Saat Perusahaan Sosialisasi AMDAL