Boneka-boneka Nusantara di Tengah Fenomena Spirit Doll

Boneka-boneka ini menjadi bagian dari tradisi Nusantara

Surabaya, IDN Times - Tahun 2022 belum juga genap sebulan namun masyarakat Indonesia dihebohkan dengan fenomena baru. Fenomena itu adalah tren memelihara boneka arwah alias spirit doll. Boneka-boneka tersebut dianggap hidup dan memiliki nyawa oleh para pemiliknya. Pro kontra pun bermunculan. Terlebih tren ini disponsori oleh para selebritas papan atas seperti Ivan Gunawan hingga Ruben Onsu.

Fenomena ini sebenarnya sudah sempat marak di Thailand pada tahun 2016 lalu. Dalam sebuah laporan khususnya, Times menyebut boneka-boneka itu dinamai Luk Thep atau anak malaikat oleh masyarakat setempat. Layaknya seorang anak, boneka bernilai puluhan juta ini pun diperlakukan secara istimewa. Perlakuan mewah ini mereka berikan untuk satu tujuan: balas budi dari sang 'anak'. Mereka berharap tuah dan keberuntungan datang dari para boneka-boneka tersebut.

Pakar psikologi dari Universitas Airlangga (FPsi UNAIR) Prof. Dr. Nurul Hartini, S.Psi., M.Kes., Psikolog. Ia meminta agar fenomena tersebut mendapat perhatian lebih lanjut.

“Jika ketidakwajaran itu tidak segera dihentikan, maka berisiko pada keadaan psikopatologinya (ketidakstabilan fungsi kejiwaan yang meliputi indera, kognisi, dan emosi, Red)” jelasnya.

Upaya "memanusiakan" boneka sebenarnya bukan hal baru pada peradaban manusia. Sejak zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno, boneka kerap dianggap sebagai perantara antara manusia dan penciptanya. Barulah pada abad ke-14 peran boneka mulai bergeser menjadi mainan dan piranti mode.

Sindung Tjahyadi, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan bahwa boneka arwah sudah ada sejak zaman Mesir Kuno. “Terkait dengan doll dan segala bentuknya, sudah memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia sejak zaman Firaun, Mesir, dan sebagainya," ungkapnya pada Minggu, (9/1/2022) dilansir laman UGM.

Namun, menurut Sindung, fenomena spirit doll yang muncul saat ini baik dari segi wujud, makna dan fungsi sudah bergeser dari yang dulu. Hal itu pun menimbulkan pertanyaan apakah pergeseran ini merupakan sesuatu yang alamiah atau dikontruksi secara sengaja.

Terlepas dari berbagai kontroversi tersebut, budaya dan tradisi Indonesia memang tak luput dari berbagai jenis boneka. Hingga saat ini, masih banyak boneka yang menjadi bagian dari upacara adat. Sebagian masih bersifat sangat sakral, namun tak sedikit juga yang hanya menjadi pelengkap dari tradisi. Berikut adalah boneka-boneka yang menjadi bagian tradisi dari berbagai daerah di Nusantara.

Baca Juga: Cerita Randy Soal Adopsi 40 Spirit Doll di Medan dan Cara Merawatnya

1. Patung berbentuk boneka Tau-Tau dari Toraja, Sulsel

Boneka-boneka Nusantara di Tengah Fenomena Spirit Dolljournaway.com

Suku Toraja yang mendiami wilayah Sulawesi Selatan terkenal dengan tradisi dan kebudayaannya yang unik. Salah satu yang populer adalah patung berbentuk boneka bernama Tau-Tau atau replika orang meninggal yang terbuat dari kayu. 

Secara harfiah, tau artinya manusia. Pengulangan kata menurut bahasa setempat berarti sesuatu yang menyerupai manusia. Suku Toraja percaya bahwa tau-tau mewakili orang yang telah meninggal.

Dosen Institute Agama Kristen Negeri (IAKN) Toraja, Diks S Pasande, menjelaskan masyarakat Toraja percaya bahwa tau-tau menjadi media komunikasi antara orang yang masih hidup dengan orang yang telah meninggal. Orang yang meninggal akan dibuatkan sebuah patung tau-tau yang jadi representasi orang tersebut.

"Dalam konteks masyarakat modern, apa bedanya orang buat makam taruh foto ataukah misalnya orang dikremasi ada foto, itu sebagai ingatan bahwa orang yang kita kasihi pernah ada bersama kita," kata Diks.

Menariknya lagi, bahan pembuatan patung tau-tau tidak diambil dari kayu sembarangan. Sebagian besar tau-tau dibuat dari pohon nangka yang dianggap memiliki makna oleh masyarakat Toraja.

"Karena orang Toraja memahami bahwa dari dulu pohon nangka itu sangat disukai oleh arwah atau roh," kata Diks.

Hingga kini, eksistensi tau-tau masih terjaga di tengah Suku Toraja walaupun sebagian besar dari mereka telah menganut agama Kristen. Hal itu masih bisa dilihat saat upacara Rambu Solo. 

"Cuma mungkin tidak lagi dalam kerangka untuk menyembah atau meminta berkah atau membawa sesajen dengan tumbal dengan harapan ada berkat yang melimpah," kata Diks.

2. Boneka dalam ritual penyembuhan Adat Njuq di Kaltim

Boneka-boneka Nusantara di Tengah Fenomena Spirit DollBoneka pada adat Njuq di Kutai Timur Kalimantan Timur. kaltim.aman.or.id

Jika di Sulawesi Selatan boneka digunakan untuk ritual kematian, di Kalimantan Timur berbeda lagi. Masyarakat Dayak Wehea di Kampung Bea Nehas Muara Wahau Kutai Timur menggunakan boneka sebagai media pengobatan dan penyembuhan dalam ritual Adat Njuq. 

Selain boneka, peralatan pendamping untuk ritual penyembuhan adalah membawa telur dan parang. Nantinya seperti dikutip dari laman Kaltim.aman.or.id, ritual akan dilakukan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus berkomunikasi dengan roh-roh leluhur. Masyarakat Dayak menamainya sosok dihormati ini dengan sebutan Emta.

Proses ritual ini sendiri biasanya akan berjalan selama dua sampai tiga hari. Mulanya Emta akan memanggil roh-roh leluhur untuk membantu proses ritual pengobatan.

Kemudian para Emta mengelilingi balai kecil yang disebut Nak Blan sebanyak 7 kali sembari membawa perlengkapan ritual tadi. Pengobatan menggunakan telur yang disentuhkan kepada pasien dari ujung kepala hingga kaki.

Setelah pengobatan menggunakan telur selesai, telur kemudian dipecahkan bersama dengan penyakit-penyakit pasien. Sementara semua perlengkapan dalam ritual ini kemudian dibongkar. 

Pasien akan menjalani masa bepantang selama 3 hari, di mana pasien tidak boleh keluar rumah atau menerima tamu. Emta juga akan menaruh daun pisang di depan rumah pasien tersebut sebagai tanda. Di hari ke 3, Emta akan kembali dan melakukan ritual penutupan mengakhiri proses bepantang. Selama proses berlangsung, tidak boleh ada hewan kucing.

3. Boneka pengusir pagebluk dari Jatim

Boneka-boneka Nusantara di Tengah Fenomena Spirit DollMasyarakat di Jember bikin api unggun usir pagebluk. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Ada banyak cara untuk mengakhiri pandemik. Selain dengan berbagai upaya medis dan ilmu pengetahuan, usaha lain adalah menggunakan doa dan ritual. Setidaknya hal itu yang terjadi di Jember Jawa Timur. 

Masyarakat di kawasan Jember selatan, ramai membuat api unggun di halaman rumah masing-masing. Api unggun mulai dinyalakan sejak pukul 17.00 WIB jelang magrib hingga malam hari. Upaya tersebut diharapkan bisa mengusir pagebluk. 

Selain bakar kayu untuk api unggun, hal unik juga dilakukan masyarakat yang tinggal di kawasan Kecamatan Wuluhan, Jember. Di sana banyak warga yang membuat desain orang-orangan dari bahan kayu dan batok kelapa yang digambar wajah orang. Orang-orangan tersebut kemudian ditancapkan di halaman rumah masing-masing.

"Banyak tetangga yang buat orang orangan seperti di sawah, ditancapkan di halaman rumah masing-masing, katanya untuk tolak balak," ujar Muhammad Syarifuddin, warga Desa Lohjejer, Wuluhan.

"Sekarang banyak orang sakit dan meninggal, makanya saya juga ikutan bakar kayu di halaman rumah, ya harapannya bisa mengusir pagebluk ini," kata Ismiyati, warga Dusun Darungan, Desa Sruni, Kecamatan Jenggawah, Jember, Jumat (22/7/2021).

Api yang dibakar tersebut kemudian ditaburi dengan garam, seraya membaca doa-doa kepada Tuhan. Usai ditaburi garam, suara api terdengar riuh meletus kecil-kecil. Sore ini, setidaknya ada 5 warga di gang 10, RT 7 tempat tinggalnya yang membuat api unggun.

"Ini sudah jadi tradisi, orang tua saya dulu juga pernah lakukan ini saat tahun 1965," ujarnya.

4. Boneka Bekakak dari Jogja

Boneka-boneka Nusantara di Tengah Fenomena Spirit DollBoneka pengantin dalam tradisi Saparan Bekakak. (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Jogja dikenal sebagai salah satu daerah yang kaya tradisi jawa. Dari sekian banyak tradisi, Saparan Bekakak adalah satu di antara yang masih terpelihara sampai saat ini. Tradisi ini dijalankan oleh warga Ambarketawang, Gamping, Sleman, setiap Bulan Safar dalam kalender Islam.

Salah satu bagian dalam tradisi ini adalah menyembelih boneka. Eko Ferianto, Kepala Bidang Adat Tradisi Lembaga dan Seni, Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman, mengungkapkan di balik tradisi sembelih boneka pengantin bekakak ini, ada sejarah dan nilai tertentu yang coba dilestarikan oleh masyarakat setempat.

Eko mengungkapkan, tradisi ini dimaksudkan untuk mengenang utusan Sultan Hamengku Buwana I yang bernama Ki Wirosuto dan istrinya, Nyi Wirosuto. Ki Wirosuto sendiri merupakan Abdi Dalem Penangsong Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Pada mulanya, ketika akan mendirikan Kerajaan Mataram di Yogyakarta, yang saat ini ada di Pusat Kota Yogyakarta, material batu gamping diambilkan dari Gunung Gamping. Namun, setelah pembangunan keraton ini telah selesai, Ki Wirasuta dan istrinya belum ingin pulang ke Keraton karena masih ada sesuatu yang harus diselesaikan dan memilih untuk tinggal di Pesanggrahan yang ada di Gunung Gamping.

Sebagai wujud rasa terima kasih dari Sultan Hamengku Buwono I atas jasa dari Ki Wirosuto dan istrinya, maka hadirlah tradisi Saparan Bekakak ini. Di mana tradisi bekakak ini dimaksudkan juga agar tidak ada lagi peristiwa yang sama ketika ada yang menambang gamping di Gunung Gamping.

Dia menjelaskan, boneka bekakak sendiri merupakan sepasang boneka pengantin yang dibuat dari ketan berisi gula kelapa. Boneka ini dibuat dengan cara gotong royong oleh masyarakat Selatan Gunung Gamping sebelum ritual dilakukan.

"Jadi ritual didahului dengan pembuatan boneka oleh masyarakat Selatan Gunung Gamping. Nanti ada kirab menuju ke Gunung Gamping. Terus baru penyembelihan boneka itu," terangnya.

Saat ini, tradisi bekakak ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional. Sebagai wujud pelestarian dari tradisi bekakak ini, Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman juga melakukan pembinaan dan membentuk Forum Adat Tradisi Kabupaten Sleman.

5. Barong Landung dari Bali

Boneka-boneka Nusantara di Tengah Fenomena Spirit DollBarong Landung. (IDN Times/Ayu Afria)

Mirip dengan di Jember, Jawa Timur, masyarakat Bali juga memiliki tradisi pengusir pagebluk menggunakan boneka yang disebut Barong Landung. Barong Landung merupakan sepasang boneka yang tinggi menjulang. Satu barong bersosok laki-laki wana hitam dan satu barong wanita berwarna putih dengan mata sipit.

Bagi masyarakat Bali, Barong Landung dikenal sebagai perwujudan dari Raja Penguasa Bali pada zaman Bali Kuno, yakni Sri Jaya Pangus, dengan permaisurinya asal Tiongkok, Kang Ching Wie. 

Kisah Barong Landung bermula saat zaman Kerajaan Bali Kuno, Balingkang dengan Raja Sri Jayapangus. Pada masa pemerintahannya, sang raja banyak menjalin kerjasama dengan para pedagang asal Tiongkok. Dari hubungan dagang dengan Tiongkok inilah, Raja Jaya Pangus bertemu dengan seorang wanita Tiongkok bernama Kang Ching Wie yang merupakan putri dari seorang saudagar kaya raya.

Bertahun-tahun menjadi pasangan suami dan istri, Raja Jaya Pangus dan Kang Ching Wie tidak kunjung dikaruniai anak. Raja Jaya Pangus pun memutuskan untuk mencari pencerahan, hingga terdampar di sebuah wilayah di kaki Gunung Batur. Raja Jaya Pangus pun memutuskan bermeditasi di sana. 

Kehadiran Raja Jaya Pangus di kaki Gunung Batur menarik hati Dewi Danu yang menjadi penguasa di wilayah tersebut. Dewi Danu berusaha menggoda Raja Jaya Pangus dari meditasinya. Akhirnya Raja Jaya Pangus tergoda dan memutuskan menikahi Dewi Danu. Dari pernikahan ini, dikaruniai seorang putra.

Sekian tahun berlalu, Kang Ching Wie diratap kesedihan karena suaminya tidak kunjung pulang. Ia memutuskan bertualang mencari suaminya. Ia akhirnya bertemu seorang remaja yang ternyata anak dari Raja Jaya Pangus dan Dewi Danu.

Mengetahui suaminya telah menikah lagi, hancurlah hati Kang Ching Wie. Ia lalu menyerang Dewi Danu untuk merebut suaminya dengan mengerahkan pasukan Balingkang. Mendapatkan serangan ini, Dewi Danu murka. Ia mengerahkan pasukan berupa raksasa dan memorak porandakan pasukan Kang Ching Wie.

Merasa istri pertamanya dalam bahaya, Raja Jaya Pangus berusaha melindungi Kang Ching Wie. Ia menyadari cintanya kepada Kang Ching Wie tidak akan pernah pudar. Hal ini membuat Dewi Danu murka dan mengutuk keduanya menjadi patung.

Untuk mengenang kisah cinta keduanya, masyarakat Balingkang, Bangli pun selalu menciptakan patung Barong Landung. Patung ini kerap digunakan dalam berbagai upacara keagamaan seperti tolak bala.

Baca Juga: WOW! Harga Spirit Doll di Medan Bisa Mencapai Puluhan Juta

Maraknya fenomena spirit doll seharusnya bisa menjadi jalan masuk untuk kembali memperkenalkan boneka-boneka tradisi khas Nusantara. Hal ini dikatakan oleh Prof. Dr. Arthur Supardan Nalan, budayawan sekaligus Guru Besar Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Menurutnya, ketimbang spirit doll, masyarakat, khususnya generasi millenial dan gen Z seharusnya lebih banyak mendalami budaya lokal seperti wayang golek.

"Jadi kalau boneka arwah para artis, itu gaya hidup buat-buat untuk menjaga popularitas. Beda dengan wayang golek. Wayang golek adalah spirit doll asli yang tidak pernah abis dan tidak pernah hilang," ujar Arthur, saat dihubungi, Jumat (14/1/2022).

Baca Juga: Wayang Golek Adalah Spirit Doll Asli Urang Sunda

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya