Sampah Impor Desa Bangun, Berkah di Antara Mara Bahaya

Warga mampu sekolahkan anak hingga profesor dari sampah

Surabaya, IDN Times - Tumpukan karung berisi sampah kering menyambut saat memasuki Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto. Sebuah pemandangan tak biasa di kawasan pedesaan. Jangan berharap kesejukan, hawanya di sini sedikit gerah, hampir mirip dengan Surabaya.

Sampah kering menjadi hal lumrah bagi para warga desa. Tak hanya plastik, berbagai jenis sampah lain yang didatangkan dari luar negeri tersebut tampak dipilah oleh mereka. Sampah di sini sudah bak harta karun. Maklum, penghidupan sebagian besar warga desa bersumber dari sini. Bahkan, tak jarang mereka banting setir dan beralih profesi sebagai pemilah sampah impor.

Salah satu warga, Karjo (84) mengaku sudah menjadi pemilah sampah sejak sekitar tahun 1978. Dia juga tahu persis awal mula desanya menjadi penadah sampah impor.

"Ya sejak adanya PT Pakerin itu berdiri, tahun 70-an, awal rosokan saja, (dipilah terus dijual) hasilnya dibuat makannya orang sini," ujarnya saat ditemui IDN Times, Selasa (25/6).

Sampah Impor Desa Bangun, Berkah di Antara Mara BahayaBeberapa pekerja melakukan bongkar muat sampah di Desa Bangun, Mojokerto. IDN Times/Enggal Hendy Wardhana

Di samping rumahnya, Karjo bahkan menyewa lahan khusus untuk sampah kering yang dibelinya dari beberapa pabrik, salah satunya PT Pakerin. Ia mengaku membayar sewa lahan sebesar Rp1 juta dalam satu tahun. Lahan itu juga dipakai bersama anaknya yang berprofesi sama dengannya.

"Ini (lahan) sewa. Rp1 juta satu tahunnya, ya dibagi sama anak," kata Karjo.

Selain lahan, sampah kering yang didapatkan Karjo juga tak didapatkannya secara cuma-cuma. Ia harus merogoh kocek Rp50-100 ribu untuk menebus satu ikat sampah berbentuk bola (1 bal).

"Sampahnya ya beli ini, gak mesti harganya. Rp50-100 ribu, dari (pabrik) nanti pesan minta dikirim, macam-macam (sampahnya) dari luar (negeri)," ucap Karjo.

Benar apa yang dikatakan oleh Karjo, sampah tumpukan di lahan yang telah disewanya itu memiliki merek dari luar negeri. Ada bungkus plastik asal Amerika Serikat, Jerman, Spanyol, bahkan kertas bertuliskan bahasa Belanda. Tak hanya itu, ada sepatu merek Tommy Hilfiger yang ternama dari New York Amerika.

Sampah Impor Desa Bangun, Berkah di Antara Mara BahayaTemuan uang asing dari tumpukan sampah impor di Desa Bangun, Mojokerto. IDN Times/Enggal Hendy Wardhana

Berkah dari memilah sampah membuat keluarganya turut menggeluti profesi ini. Salah satu anak Karjo, Srigati (54) mengaku mulai memilih profesi pemilah sampah pada tahun 1984. Sebelumnya, ia merupakan buruh tani. 

"Saya sudah lebih dari 10 tahun, dulu buruh tani. Sekarang milah sampah saja, Dipilah, dipisahkan kantong plastik, alumunium, perabot yang terbuat dari plastik dan besi," kata Sri.

Usai dipilah, sampah yang layak ini mempunyai harga bermacam-macam. Untuk sampah kantong plastik, 1 kilogramnya dihargai Rp700, peralatan yang terbuat plastik Rp1.300 dan sampah besi serta kaleng Rp1.500.

"Kalau benar banyak sekali jual bisa Rp400-500 ribu," ucap Sri.

Terkadang, Sri juga menemukan "harta karun" tersembunyi seperti uang berupa Dolar Amerika, Pound Britania, Dong Vietnam, Peso Kuba, Peso Filipina dan uang kuno Rupiah. 

"Kadang nemu Dolar, emas juga," beber Sri.

Sampah Impor Desa Bangun, Berkah di Antara Mara BahayaTumpukan sampah impor di Desa Bangun, Mojokerto. IDN Times/Enggal Hendy Wardhana

Sementara untuk sisa sampah kering yang tidak terpakai, para warga tidak membuangnya begitu saja. Mereka tetap menjual sampah tersebut dengan harga lebih murah dari sampah yang sudah terpilah.

"Ya isinya (sisanya) bisa dijual. Kalau kering yang sisa laku untuk kayu bakar pabrik kerupuk dan pabrik tahu. Harganya 1 (mobil) pick up Rp100 ribu," terang Sri.

Sri mengungkapkan, semua penjualan sampah kering ini mampu mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Ia mengaku bisa menyekolahkan anak-anaknya dari hasil sampah impor.

"Buat kebutuhan rumah tangga dan sekolahkan anak," ungkap Sri.

Sampah Impor Desa Bangun, Berkah di Antara Mara BahayaBeberapa pekerja melakukan bongkar muat sampah di Desa Bangun, Mojokerto. IDN Times/Enggal Hendy Wardhana. IDN Times/Enggal Hendy Wardhana

Tak hanya Sri yang bisa menyekolahkan anaknya dari hasil sampah plastik impor, Ketua RT 1 RW 1 Desa Bangun, Giman (53) juga mengakui hal serupa. Padahal, ia tidak memiliki lahan seperti Sri. Ia memilih jadi pemulung sampah di suatu lahan yang lapang kawasan desa.

"Saya ini bukan pengepul tapi pemulung sampah," kata Giman.

Hasil memulung yang diperoleh oleh Giman ini mengantarkan tiga anaknya mampu menempuh pendidikan tinggi. Dua anaknya bergelar magister setelah menempuh pendidikan S2 di Surabaya dan Mojokerto. Bahkan, satu anaknya saat ini sebentar lagi akan menjadi doktor di perguruan tinggi Malang. 

"(Desa) Ini gudangnya sarjana. Hasilnya dari sampah, daerahnya memang kumuh. Masalah pendidikan jos. Rata-rata orang tuanya pemulung. Cuma angkatan anak-anak rata-rata S1 dan S2," bebernya.

Dalam satu hari, Giman mengaku minimal bisa meraup Rp130 ribu. Yang menarik, apabila musim hujan uang yang didapatkannya lebih banyak, menembus Rp1 juta sehari. "Karena timbunannya keluar," ujar Giman.

Jika dikalkulasi, Giman mendapat untung 100 persen. Karena sampah yang didapat pemberian gratis dari PT Pakerin dan lahannya dari Kades Bangun, M. Ikhsan.

"Gak punya, ini tanahnya Pak Lurah (Kades Bangun), Ini lahannya Pak Lurah semua, warga dipersilakan memakainya. Ini (sampah) dikasih (PT) Pakerin. Ini bukan sampah tapi harta karun. Gak (beli), saya dikasih," kata Giman.

Giman menambahkan, dirinya tak mau jika profesi pemilah sampah ini dihentikan. Pasalnya, ia pernah tidak memiliki pekerjaan, sebelum PT Pakerin masuk dan melimpahkan sampah impor ini.

"Karena mulai 78 (1978) penduduk andalkan sampah. Saya gak punya kerjaan dulu. Terus ada sampah ini, Ahamdulillah," tambah Giman sembari menutup perbincangan dengan segelas es di tangannya.

Baca Juga: Indonesia Peringkat 2 Penyumbang Sampah Laut Terbanyak!

Kades Bangun, M. Ikhsan mengatakan, warga desa seluas 200 hektar ini memang sudah lama terkenal sebagai pemilah sampah. Ia menyebut, dari 900 KK memang sebagian besar pekerjaannya seperti itu.

"Kalau Ploso itu 100 persen, Bangun 40 persen," kata Ikhsan melalui sambungan telepon.

Ikhsan menambahkan, sampah plastik impor yang dikirim ke desanya bukan hanya dari PT Pakerin saja. Ada beberapa pabrik lain yang sengaja bahkan dibeli sampahnya oleh warga.

"Bukan cuma dari (PT) Pakerin sampahnya," tambah Ikhsan.

Meski begitu, Ikhsan mengaku acap kali memberi sosialisasi kepada warganya terkait kebersihan lingkungan. Ia menjamin kesehatan warganya sampai saat ini masih terjaga, meskipun banyak yang menimbun sampah di lingkungan rumahnya.

"Sering sosialisasi, halalbihalal saya kasih sosialisasi. Saya kumpulkan (warga) sering. Warga sehat-sehat, sampah sama air limbah yang diproses (juga) dipilah warga," kata Ikhsan.

"Kualitas lingkungan terjamin aman? Iya terjamin semuanya," lanjutnya.

Sampah Impor Desa Bangun, Berkah di Antara Mara BahayaIDN Times/Sukma Shakti

Meski dianggap sebagai berkah, keberadaan sampah impor di Desa Bangun ternyata mengancam keselamatan warga sekitar. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), Prigi Arisandi mengungkap kalau sampah plastik impor yang dikirim ke Desa Bangun, Mojokerto berasal dari berbagai pabrik kertas. Mulanya, memang pabrik itu mengimpor limbah kertas.

Karena disisipi dengan sampah plastik, pabrik-pabrik itu kemudian membuang, bahkan menjual sampah plastik impor itu ke masyarakat. Prigi menyebut, saat ini di Jatim ada 22 perusahaan kertas yang biasa membuang dan menjual sampah plastik itu ke masyarakat. Perusahaan itu bertempat di Surabaya, Mojokerto, Gresik, Nganjuk, Sidoarjo, Kediri dan Malang.

"Yang terbanyak sampah impornya ya di Mojokerto," kata Prigi.

Terkait kiriman asal sampah, dari data Ecoton, lima besar negara pengirim limbah kertas terbanyak ialah Amerika Serikat, Italia, Inggris, Korea Selatan dan Australia. Sementara jenis sampah plastik yang disisipkan di limbah kertas antara lain 70 persen bungkus makanan, 20 persen produk rumah tangga dan 10 persen produk perawatan tubuh.

"Paling banyak Amerika, Inggris, Italia, Australia, Korsel. Paling banyak bungkus makanan ringan," ungkapnya.

Sampah Impor Desa Bangun, Berkah di Antara Mara BahayaIDN Times/Sukma Shakti

Ecoton, kata Prigi, juga sudah melakukan penelitian mengenai dampak lingkungan banyaknya sampah ini. Hasilnya, tanah, udara dan air di sekitar kawasan sudah tercemar.

"Semua tercemar. Udara pencemaran dibakar, di rumah warga ada, sampah ada kawat dan logamnya dibakar. Sampah ditumpuk luas, ini meresap ke tanah akhirnya, karena ada logamnya. Di air, semua mengandung mikroplastik, air limbahnya," beber Prigi.

Polusi udara dihasilkan dari pembakaran sampah plastik yang tersisa. Ada juga pembakaran untuk memisahkan salah satu sampah kawat dengan karet. Tentunya mencemari dan asapnya berdampak ke pernapasan," kata Prigi.

Sedangkan pencemaran air, Prigi menyebut bahwa pabrik limbah kertas sudah tercemar mikroplastik. Hal itu pun menggangu kualitas PDAM, mengingat perusahaan berplat merah itu mengelola air bersih dari sungai.

"Ke sungai berantas juga (80 persen ikannya tercemar)," ungkap Prigi.

Sementara pencemaran darat, lanjut Prigi, berdampak pada kualitas tanah dan air tanah. Karena beberapa plastik yang ditimbun itu sudah masuk dan menyatu dengan tanah di sekitar.

"Ya itu tanahnya tercemar, kualitas air tanahnya juga. Kalau ganggu kualitas panen di sawah, kami belum menelitinya."

Pada tahun 2019 ini, Prigi menyebut kontainer limbah kertas yang terselip sampah plastik ini semakin masif, karena Cina sebagai salah satu importir sudah menolak tegas masuknya limbah dari luar negeri. Ecoton mendapat data per Maret 2019, tiap 2 minggu sekali ada 700 kontainer yang masuk ke PT Pakerin dan Tjiwi.

"Tambah banyak. Bahan semakin banyak masuk tahun ini. Potensi pencemaran makin tinggi. Indonesia dimasuki plastik lebih masif karena China menutup (impor)," terangnya.

IDN Times sendiri sudah mencoba mengonfirmasi hal ini kepada PT Pakerin sebagai salah satu pabrik yang mengirim sampah ke Desa Bangun. Unit Pengelolaan Limbah (UPL) PT Pakerin yang terletak di Desa Bangun enggan memberi keterangan. Mereka meminta kami untuk menanyakan pada kantor pusat. "Kalau soal itu di sini tidak ada, ini cuma pengelolaannya. Silahkan di kantor kami (PT Pakerin) yang di Surabaya saja," terangnya.

Pada Jumat (28/6), kami pun mendatangi kantor perusahaan pengolah kertas tersebut di sebuah ruko kawasan Simokerto, Surabaya. Dua orang satpam yang menerima kami tak mengizinkan kami bertemu dengan manajemen. Akhirnya kami menitipkan surat permohonan wawancara. Namun, hingga berita ini dipublikasikan, PT Pakerin belum juga membalas surat kami.

Sampah Impor Desa Bangun, Berkah di Antara Mara BahayaIDN Times/Sukma Shakti

Mengetahui ini, Prigi tidak mau tinggal diam. Ia pun berkirim surat ke beberapa duta besar, antara lain; Inggris, Amerika, New Zealand, Australia dan Kanada.

"Australia dan Inggris menjawab. Intinya mereka menyalahkan Indonesia karena Indonesia yang mengawasi harusnya," kata Prigi.

"Tapi, mereka (Dubes) juga akan berusaha ikut perbaiki, karena kami juga komunikasi dengan Partai Hijau di Australia. Kami beri masukan ke parlemen mereka, di sana sampah tidak tertangani. Sistem pengelolaan sampah di sana salah. Mereka akan buat daftar eksportir dan importir yang nakal," tambahnya.

Sampah Impor Desa Bangun, Berkah di Antara Mara BahayaDirektur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), Prigi Arisandi. uc.ac.id

Sementara Kepala Bidang Jejaring Inovasi Pariwisata Bahari di Kemenko Maritim, Edi Susilo, mengakui fenomena ini dikarenakan kurang pengawasan. Ia mengajak, bukan hanya pemerintah pusat tapi juga pemerintah daerah untuk sama-sama melakukan giat pengawasan.

"Kenapa sampai ada, karena loss control, ini membutuhkan kerja sama kita semua. Jadi bukan hanya pemerintah pusat tapi pemerintah daerah juga harus ikut terlibat," kata Edi.

Baca Juga: Kenapa Negara Maju Kirim Puluhan Kontainer Berisi Sampah ke Indonesia?

Sampah Impor Desa Bangun, Berkah di Antara Mara BahayaGubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa. IDN Times/Fitria Madia

Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa mengaku telah berkoordinasi dengan beberapa kementerian berkaitan dengan impor sampah kertas bekas yang terindikasi yang diselipi sampah plastik.

“Saya minta pabrik kertas yang menggunakan bahan baku kertas bekas agar tetap produksi, tetapi wajib mengkomunikasikan pada ekpsortirnya bahwa jika diketahui terdapat kandungan plastik dengan prosentasi tertentu maka berpotensi dikembalikan,” katanya.

Berdasarkan Permendag 31 tahun 2016 maupun Konvensi Basel Mei 2019, mengimpor kertas bekas sebagai bahan baku industri kertas diperbolehkan. Akan tetapi, yang menjadi masalah yakni adanya ikutan sampah plastik, bahkan limbah B3.

“Jika ada ikutan sampah plastik sampai persentase tertentu apalagi limbah B3 maka tidak diperbolehkan oleh regulasi kita maupun Konvensi Basel,” tegas Khofifah.

Terkait bahan baku non kertas, Khofifah meminta pabrik harus melakukan pemilahan menggunakan inseminator.

“Masyarakat juga harus diberi penjelasan bahwa bahan baku non kertas ini adalah sesuatu yang tidak mudah bersenyawa dengan tanah, sehingga akan mengganggu daya dukung alam dan lingkungan,” katanya.

Gubernur kelahiran Surabaya ini menambahkan, Menteri LHK juga sangat tegas terkait hal ini. Malahan, sudah ada 6 kontainer yang sudah dikembalikan ke negara exportir.

“Impor kertas bekas ini berasal dari beberapa negara, terbanyak dari Eropa. Dan di setiap tumpukan barangnya di Pakerin ini juga telah diberi keterangan dari negara mana serta persentase non kertasnya berapa persen,” terangnya.

Solusi tak cuma soal isi kontainer yang dikirim ke Indonesia. Khofifah juga mengaku sedang mencari solusi bagi warga yang sudah terlanjur berprofesi sebagai pemilah.

“PR kita saat ini adalah untuk mencarikan solusi bagi warga di desa ini agar bisa memperoleh sumber pendapatan lain dan tidak hanya dari memilah sampah. Oleh sebab itu, kita harus segera mencarikan solusi terkait hal ini bekerjasama dengan pemkab setempat,” tegasnya.

Plt Bupati Mojokerto Pungkasiadi menyampaikan, akan segera melakukan tindak lanjut dan membicarakan dengan warga untuk mencari solusinya. Tentunya, solusi tersebut juga dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang berlaku.

“Hal ini sudah berjalan sangat lama, maka pembicaraan-pembicaraan harus kita lakukan dengan teman-teman di desa maupun di wilayah,” tandasnya.

https://www.youtube.com/embed/iyo1Z_-KcZE

Baca Juga: Greenpeace Minta ASEAN Tolak Jadi Tempat Sampah Negara Maju

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya