Merawat Mimpi Anak-anak Pengungsi

Perjuangan mewujudkan sekolah swadaya di Rusunawa Jemundo

Sidoarjo, IDN Times – Pagi yang cerah mengantarkanku ke Rusunawa Puspa Agro, Desa Jemundo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, Sabtu (3/9/2022). Cerahnya cuaca seketika sirna saat melihat fasad rusun yang kondisinya mengelupas, sampah berserakan di halaman, serta bau tidak sedap dari saluran sanitasi. Di tengah kondisi ini, ada satu kamar yang disulap oleh Ummi Fitri (33) menjadi ruang merawat mimpi anak-anak para pengungsi Syiah, Sampang, Madura.

Satu ruang itu tampak berbeda dari ruang lainnya di rusun lima lantai ini. Bagian dalamnya dicat warna-warni, ada warna merah muda, hijau, dan biru. Terdapat cap tangan anak-anak di salah satu sudut tembok, satu papan tulis tepat di bagian tengahnya, beberapa tempelan  dinding yang mulai mengelupas dan sedikit koleksi buku yang ditumpuk seadanya.

"Ya begini ini kondisinya," ujar Ummi sembari mempersilakanku masuk ke ruangan berukuran 30 meter persegi untuk sekadar berbagi secuil kisah di pengungsian.

Merawat Mimpi Anak-anak PengungsiGuru TK/PAUD sekaligus pengungsi di Rusunawa Jemundo Sidoarjo, Ummi Fitri. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Sejak di pengungsian, Ummi memang mengabdikan diri sebagai guru TK dan PAUD di Rusunawa Jemundo. Berbeda dengan TK pada umumnya, sekolahan ini tanpa nama, didirikan swadaya oleh penghuni rusunawa. Mereka sadar bahwa pendidikan menjadi hal penting bagi anak, termasuk pendidikan usia dini yang merupakan pondasi. Prinsip Ummi, boleh kekurangan makanan tapi tidak dengan kekurangan ilmu.

Setiap harinya, Ummi tidak perlu memakai seragam bak guru di luaran sana. Dia hanya memakai gaun yang ia punya di lemari miliknya. Dilengkapi kerudung yang tak ada mereknya. Perpaduan yang menurutnya sopan dipandang mata. Cukup sederhana. Tak pernah menjadi kendala di sekolah yang ia mulai secara rutin Senin – Jumat, pukul 08.00 – 10.00 WIB. "Sabtu – Minggu libur," ujar ibu tujuh anak ini.

Setiap tahun berganti, Ummi tak pernah kekurangan siswa. Justru malah bertambah. Kini, Ummi punya 20 siswa. Jumlah yang tak sedikit jika harus mengajar seorang diri. Maka dari itu, Ummi mengajak anaknya  yang baru saja lulus kuliah untuk ikut mengabdi. Berbagi sedikit ilmu untuk tetap bisa menjaga mimpi anak-anak di pengungsian. Dia tak mau jika harus melihat anak pengungsi terbelakang pendidikannya.

"Anak-anak sekarang wajib pintar agar tak dibodohi orang," tegas Ummi.

                                                                  ***

Koleksi buku yang Ummi punya, dan pengetahuan yang ia miliki dimaksimalkan untuk bisa ditransfer kepada seluruh siswanya. Meski kadang-kadang, Ummi merasa perlu penyegaran dalam pembelajaran. Tapi, mau bagaimana lagi, dia tak bisa berbuat banyak. Keluhan yang ia sampaikan belum terwujud seutuhnya, palingan hanya mahasiswa yang datang memberikan penyegaran itu. Namun, dua tahun belakangan, sejak pandemik COVID-19 merebak, belum ada mahasiswa yang mampir ke Rusunawa untuk sekadar menyapa anak-anak di pengungsian.

"Biasanya dulu yang sering ke sini dari Ubaya (Universitas Surabaya) sama Uinsa (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya). Tapi sejak COVID-19 itu gak ada lagi yang ke sini, kuliahnya kan online pas (waktu) itu," kata Ummi.

Sejak belum ada lagi mahasiswa yang mampir, Ummi memaksimalkan tenaganya. Bergantian dengan anaknya untuk mengajar bersama-sama di TK tanpa nama. Merasa lelah, Ummi menyiasati untuk mengajak ibu-ibu di pengungsian ikut andil di sekolahan. Para ibu-ibu dilibatkan untuk bersih-bersih ruang sekolah.

"Saya buatkan jadwal piketnya, kalau gak gitu, saya gak kuat harus sendirian sama anak, sekarang saya yang ngajar, ibunya yang bersih-bersih," dia menjelaskan.

Metode yang Ummi pakai ternyata efektif. Selain meringankan bebannya, para ibu-ibu di pengungsian lebih guyub ikut peduli satu sama lain. Sambil bersih-bersih, mereka biasanya saling bercanda. Bertukar tawa, hingga keluh kesah. Sekilas membayangkan untuk bisa pulang ke Sampang. Melanjutkan hidup di kampung halaman.

Merawat Mimpi Anak-anak PengungsiSalah satu pengungsi di Rusunawa Jemundo, Sidoarjo, Rohmah. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Kerja keras Ummi untuk merawat mimpi anak-anak pengungsi diakui oleh salah satu penghuni rusunawa, Rohmah (24). Dari 20 siswa TK dan PAUD yang ikut belajar, salah satunya ialah adiknya Rohmah. Dia mengakui, kalau sebenarnya tenaga pendidik di sekolahan yang berada di rusunawa itu sangat kurang. Kadang kala, ketika Ummi sakit, sekolahan terpaksa libur. "Liburnya kan kalau gurunya sakit sama Sabtu-Minggu,” kata dia.

Selain tenaga pendidik, Rohmah menyoroti fasilitas yang ada dalam sekolah itu sangat terbatas. Seperti halnya buku, selama ini hanya memakai buku panduan dan modul yang diketahui oleh Ummi. Padahal, kurikulum pendidikan tiap tahunnya ada penyesuaian. Sementara para pengungsi ini sudah hampir 10 tahun lamanya tinggal di Rusunawa Jemundo.

"Harusnya ini tanggung jawab pemerintah. Kita (anak-anak di pengungsian) berhak mendapatkan fasilitas itu (pendidikan) kita sama-sama warga Indonesia, karena pendidikan dan kesehatan itu hal yang penting," kata Rohmah.

Merawat Mimpi Anak-anak PengungsiChild Rights Governance Advisor Save the Children, Ratna Hadikusumah saar di Rusunawa Jemundo, Sidoarjo. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Pentingnya pendidikan bagi anak turut diamini oleh Child Rights Governance Advisor Save the Children, Ratna Hadikusumah. Dia melihat masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi bersama untuk memenuhi hak-hak anak pengungsi asal Sampang di Rusunawa Jemundo. Salah satunya membuat sekolah usia dini yang ada di rusun lebih baik lagi.

Save the Children, kata Ratna, akan segera memberikan buku panduan untuk membantu Ummi ketika mengajar anak-anak TK dan PAUD di sekolah tanpa nama. "Kami telah mendengar keluhan Ummi Fitri, yang paling dia butuhkan itu buku panduan, nanti segera kami susun kemudian kami berikan. Karena sebelumnya, buku panduan serupa sudah kami miliki. Tentunya butuh sedikit waktu untuk disesuaikan lagi," kata dia.

Terkait fasilitas lain, seperti sarana dan prasarana sekolah, Ratna akan mencoba berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo. Mengingat, para pengungsi ini bertempat di wilayah Kabupaten Sidoarjo. "Untuk memastikan ruangan ini (sekolahan) ini berubah, kita (Save the Children) akan pastikan dengan pihak terkait," kata dia.

"STC (Save the Children) tidak bisa sendiri untuk mengubah sesuatu di Puspa Agro, tentu perlu kolaborasi pihak terkait, termasuk dengan pemerintah," Ratna menambahkan.

Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Pemenuhan Hak Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Sidoarjo, Nilam Cahyandari Listyowati mengaku belum dapat berbuat banyak untuk memenuhi hak-hak anak pengungsi di Rusunawa Jemundo. Bahkan, dia baru pertama kali berkunjung ke rusun, menengok langsung anak-anak pengungsi pada Sabtu (3/9/2022).

Meski belum pasti memberikan pemenuhan hak-hak anak di rusunawa, Nilam sudah punya niatan untuk bisa membantu mereka. "Intinya kami akan berupaya memenuhi hak-hak anak yang ada di Kabupaten Sidoarjo, kami sangat berharap sekali ada masukan pada kami, seperti ini tadi suara anak mereka butuh, nanti akan bisa memfasilitasi," kata Nilam.

Memberikan fasilitas pendidikan kepada anak semaksimal mungkin memang tidak ada ruginya. Seperti yang disampaikah penghuni rusunawa, Rohmah:

"Pendidikan itu diutamakan, karena anak-anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus yang akan menggantikan posisi beliau yang sudah tua kelak".

Sama halnya catatan di fasad Surabaya Children Crisis Center (SCCC):

"Bisa jadi jumlah anak-anak hanya 30 persen dari penduduk Indonesia, namun mereka adalah 100 persen masa depan bangsa dan negara".

Baca Juga: 287 Pengungsi Syiah Sampang Berikrar Kembali ke Ahlussunah Wal Jamaah

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya