Cerita Hwie, Kenang Detik Proklamasi hingga Wawancara Khusus Soekarno

Ia sempat menjadi tahanan politik dan akrab dengan Pramoedya

Surabaya, IDN Times - Seorang lelaki berusia senja sedang duduk di kursi tengah ruang perpustakaan. Dia terlihat rapi dengan kemeja putih dan celana panjang. Sesekali ia membetulkan posisi kacamata sembari membaca surat kabar yang ada di depannya.

"Ayo masuk, diisi dulu buku tamunya," sahutnya waktu mengetahui kedatanganku ke Perpustakaan Medayu Agung di Medokan Sawah, Surabaya, Kamis (15/8).

Ternyata dia adalah Oei Hiem Hwie atau yang lebih dikenal dengan Pak Hwie. "Oh Pak Hwie ya?" tanyaku. "Iya, kamu yang kemarin ke sini tapi gak ketemu saya ya," tanyanya balik. "Iya Pak Hwie, saya kemarin ke sini," jawabku.

Tak menunggu waktu lama, aku dipersilakan duduk di seberang kursi miliknya. Kami pun berhadap-hadapan lantas membuka kenangan yang telah lama dirawat oleh Hwie. Dengan seksama, aku menikmati cerita yang dituturkan pria berusia 84 tahun ini.

Saat proklamasi dideklarasikan, usia Hwie memang baru 10 tahun. Namun, jalan yang ditempuhnya sebagai jurnalis membawanya bertatap muka dengan Sang Proklamator dalam sebuah sesi wawancara khusus 19 tahun kemudian.

1. Dengarkan proklamasi lewat radio

Cerita Hwie, Kenang Detik Proklamasi hingga Wawancara Khusus SoekarnoBerbagai Sumber

Pria kelahiran Malang ini masih mengingat betul bagaimana Dwi Tunggal Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Meski masih anak-anak, tapi dia sudah diajak kedua orangtuanya untuk serius menanti detik-detik proklamasi.

"Tanggal 17 Agustus 1945 saya di rumah sama orangtua, gak boleh keluar ada yang penting," ujarnya.

Kala itu, Hwie sebenarnya ingin bermain bersama teman-temannya. Karena banyak yang sedang berkumpul di beberapa titik seperti tempat ibadah. Mereka semua berencana mendengarkan siara radio, sebab tak banyak yang memilikinya. Tapi keluarga Hwie memilih berdiam diri di rumah.

"Siaran radio lewat corong-corong semua disalurkan. Ternyata Bung Karno dan Bung Hatta proklamasi kemerdekaan," kata Hwie.

Sontak, usai kemerdekaan diproklamirkan oleh Sang Dwi Tunggal, seluruh warga bergegas mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Ada jalan, ada yang berlari. Semuanya hanya memakai baju sederhana.

"Bawa bendera, sampai Belanda yang masih berkuasa ngamuk di Malang," terang Hwie.

2. Sukacita tercipta dengan siaran merdeka

Cerita Hwie, Kenang Detik Proklamasi hingga Wawancara Khusus SoekarnoBerbagai Sumber

Penuturan Hwie terkait detik-detik proklamasi di Jawa Timur ini hampir sama dengan buku "Merdeka atau Mati di Surabaya 1945" karya Barlan Setiadya cetakan pertama jilid I tahun 1985. Pada sub bab "Surabaya di Awal Proklamasi 1945" menyebutkan berita proklamasi kemerdekaan diketahui oleh markonis Domel, Soewardi dan Jakob pada 17 Agustus 1945.

Jepang marah dengan berita itu dan melarang untuk menyerbarluaskan. Tapi berita itu sudah didengar dua wartawan Domel, Bintarti dan Soetomo serta wartawan "Soeara Asla" yang merangkap wartawan Warta Surabaya Syu dan Kalawarta terbitan karesidenan di Jatim.

Para wartawan ini pun memutar otak agar bisa menyebarluaskan berita kemerdekaan ini. Mereka pun mengemasnya dalam bahasa daerah Jawa. Sementara harian yang memuat berita kemerdekaan baru tersebar pada 18 Agustus 1945 oleh Tjahaja di Bandung. Kemudian "Soeara Asia" pada 20 Agustus 1945 di Surabaya.

Tapi, wartawan radio Surabaya tidak kalah lihainya. Mereka sudah menyiarkan dalam bahasa Madura pada 17 Agustus 1945, sore. Berita kemerdekaan pun tersebar luas seketika itu di Jatim melalui radio. Semua pun bersukacita dengan memasang atribut nuansa merah putih.

"Tapi yang di Malang, bendera dan atribut disita sama Belanda yang berkuasa di sana," kata Hwie.

Berbagai perlawanan pun dilakukan di sejumlah wilayah di Jatim. Terbesar ialah peristiwa pertempuran 10 November yang pecah di Surabaya. Kemudian terwujudlah kesepakatan sehingga Indonesia lepas dari belenggu asing secara utuh.

3. Wawancara dengan Soekarno secara langsung

Cerita Hwie, Kenang Detik Proklamasi hingga Wawancara Khusus SoekarnoIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Banyaknya langkah politis dan diplomatis yang dilakukan oleh Presiden Soekarno, membuat Hwie kagum akan sosoknya. Dia tak menyangka sampai akhirnya bisa bertemu dengan presiden pertama Indonesia secara langsung ketika sudah bekerja.

Dia bekerja sebagai wartawan di Trompet Masjarakat yang berlokasi di seberang Tugu Pahlawan, Surabaya. “Dulu di situ. Bawah itu percetakan. Atas, kantor. Jadi saya ngantor ndek nggone atas," katanya.

Awalnya, dia hanya sebagai kontributor, kemudian menjadi pekerja tetap yang ditugaskan di bidang sosial politik. Dengan trem listrik, ia kerap datang meliput ke pengadilan-pengadilan. Pada tahun 1964, ia ditugaskan ke Istana Negara untuk bertemu Soekarno secara langsung.

"Salaman sama Bung Karno seperti kesetrum. Kalau interview pakainnya rapi dan bersih," katanya sembari mengingat-ingat.

4. G30S PKI antarkan Hwie ke penjara

Cerita Hwie, Kenang Detik Proklamasi hingga Wawancara Khusus SoekarnoIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Hwie juga ingat jelas saat sebuah momen manis kala itu. Saat bertemu Soekarno ia ditanya, "Mengapa kamu tidak pakai arloji?". "Saya gak punya uang buat beli". Seketika dia mendapat hadiah jam tangan yang dipakai oleh Sang Presiden. Dia pun membahas berbagai hal dengan Bung Karno.

"Salah satunya saya tanya tentang perempuan, kok dengan wanita terenyuh? Dijawab, memang kalau lihat wanita nangis ikut nangis. Kalau lelaki yang nangis ya biasa aja, begitu," beber Hwie.

Sepulang dari wawancara itu, Hwie menulis sosok Soekarno yang menurutnya karismatik dan kondisinya yang prima untuk memimpin negara. Tapi, pecahnya tragedi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI) 1965 membuat karir wartawan dan cerita tentang Bung Karno sirna.

"Semua yang ada hilang, dirampas termasuk tulisan saya. Saya dibawa (diculik) orang dibawa ke penjara Lowokwaru (Malang)," kata Hwie.

Dari sinilah, awal mula Hwie menjadi tahanan politik. Dia dituduh sebagai antek PKI oleh pemerintah. Dia pun miris melihat Bung Karno harus lengser dari kursi Presiden.

"Semua berubah, Presiden dipimpin Pak Harto, Bung Karno tidak sakit dibilang sakit," katanya dengan nada gemetar.

Baca Juga: Berkunjung ke Rumah WR Supratman, Saksi Akhir Hayat sang Maestro

5. Diasingkan di Pulau Buru bersahabat dengan Pramoedya Ananta Toer

Cerita Hwie, Kenang Detik Proklamasi hingga Wawancara Khusus SoekarnoIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Setelah dipenjara di Lowokwaru, Malang, Hwie mengaku menyusuri perjalanan hidup baru. Perjalanan ini berupa pengasingan. Dia dibawa ke Pulau Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Tak lama di sana, dia dipindahkan ke Pulau Buru, Maluku pada tahun 1970.

Hwie tidak sendirian diasingkan di Pulau Buru. Dia harus menjalani kehidupan pengasingan dengan sejumlah tahanan politik lainnya terduga anggota PKI. Di sinilah, ia bertemu penulis tetralogi "Pulau Buruh", Pramoedya Ananta Toer. Persahabatan keduanya pun dimulai.

"Saya sudah kenal sebelumnya jadi wartawan dengan Pram, tapi semakin akrab saat di Pulau Buru. Barak kami berdekatan," kata Hwie.

Baca Juga: Rumah Cokro, Saksi Bisu Anak Kos Bernama Soekarno

6. Dihadiahi naskah buku Pram

Cerita Hwie, Kenang Detik Proklamasi hingga Wawancara Khusus SoekarnoIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Karena akrab dengan Pram, Hwie mengetahui persis kalau memang sahabatnya itu penulis yang giat. Sepanjang hidup di pengasingan disempatkan untuk menulis meskipun dengan keterbatasan alat.

"Tulis tangan semua naskahnya, kalau ada kesempatan mesin (ketik) ya dipindahkan diketik," ungkap Hwie.

Setelah diasingkan selama 8 tahun dan bebas di tahun 1978, Hwie mengaku mendapat titipan dari sahabatnya. Yaitu naskah buku yang ditulis Pramoedya di Pulau Buru 'Ensiklopedi Citra Indonesia'.

"Ditaruh di besek, saya bawa pulang ke Malang. Saya buka ternyata isinya buku," kata Hwie.

Kemudian pada tahun 1979, ia mendengar berita kalau Pram akhirnya bebas dan kembali ke Jakarta. Hwie pun bergegas menemuinya dan menyerahkan titipan sang sahabat.

"Tapi buku itu tetap disuruh bawa saya sampai sekarang, disuruh nyimpan. Buat saya," tambah Hwie sembari menunjukkan buku yang kini terpajang di Perpustakaan Medayu Agung.

Kenangan-kenangan tentang Pram, Bung Karno hingga koleksi surat kabar masa lampau milik Hwie pun disimpan rapi di perpustakaan. Tak jarang, mahasiswa atau peneliti berkunjung untuk mencari referensi tentang kisah Indonesia di masa kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga reformasi.

7. Berharap tak lupa sejarah di usia Indonesia ke-74

Cerita Hwie, Kenang Detik Proklamasi hingga Wawancara Khusus SoekarnoIDN Times/ Ardiansyah Fajar

Di usia senjanya, Hwie hanya berharap generasi penerus bangsa tak lupa dengan manis dan pahitnya sejarah Indonesia. Dia pun merawat kenangan itu hingga kini. 

Dia berharap menginjak usia ke-74 HUT RI, semua kasus HAM di Indonesia bisa diselesaikan. Harapan besarnya kepada Joko 'Jokowi' Widodo diakuinya menggunung. Pembangunan dan kemajuan teknologi yang baik, menurutnya harus dilanjutkan tanpa mengesampingkan ideologi yang telah dibangun Soekarno dan pendahulunya, yaitu Pancasila.

"Terutama Ideologi Pancasila, UUD 1945 ini harus dijaga. Sekarang banyak macam ideologi yang tidak keindonesian. Termasuk ideologi khilafah."

Baca Juga: Kisah Proklamator Ganti Nama, dari Kusno, Karno, dan Soekarno

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya