TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Membangun Bahtera Baru di Kaki Semeru

Kisah Penyintas Erupsi APG Semeru 2021

Seorang eks penyintas erupsi Semeru 2021 yang kini tinggal di Huntap BSD Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro. Kabupaten Lumajang. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Lumajang, IDN Times – Siang itu, matahari sedang terik-teriknya. Sorot sinarnya tepat di atas ubun-ubun kepala. Tapi, panas yang terasa segera terpecah oleh angin yang menyusup dari lembah. Embusan angin menggoyangkan daun dan ranting pohon pinus.  Membawa kesejukan di area ribuan Hunian Tetap (Huntap) Bumi Semeru Damai (BSD) di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Selasa (17/9/2024).

Tak banyak penghuni yang beraktivitas di luar rumah. Mereka memilih duduk di ruang tengah. Ada yang mengasuh anak, ada pula yang asyik bercengkerama dengan sanak. Kehidupan warga di huntap ini berangsur pulih. Setelah berbagai lika-liku dilalui. Mulai dari menyelamatkan nyawa dari erupsi Awan Panas Guguran (APG) dan lahar dingin Gunung Semeru, hidup di tempat pengungsian berbulan-bulan hingga relokasi ke bekas perkebunan cengkeh Sumbermujur.

Babak baru para penyintas bencana erupsi Gunung Semeru dimulai. Mereka harus jungkir balik beradaptasi di rumah baru seluas 6x6 meter yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) tersebut. Setelah rumah lama mereka hilang bersamaan dengan kampung halaman. Terkubur material erupsi Gunung Semeru yang terjadi 4 Desember 2021 lalu. Catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang, sebanyak 5.205 rumah dan ratusan bangunan umum rusak. 51 orang meninggal dunia dan 22 korban hilang.

Kini, mereka yang selamat, memilih menata diri. Membuka lembaran baru di Huntap Semeru. Memutar otak untuk mencari jenis pekerjaan baru. Demi asap dapur tetap mengepul. Mulai dari bertani hingga belajar berdagang. Membuka kelontong di sisa tanah huntapnya. Ada yang dulunya penambang pasir, memilih membuka usaha martabak. Ada pula yang beranjak bekerja ke kota, tapi ada yang tetap nekat kembali ke ladang, meski statusnya masih ‘merah’.

Jalan hidup para warga penghuni huntap memang berbeda-beda. Mereka tak bisa disamaratakan. Maklum, mereka bukan dari satu kesatuan tempat yang sama. Di sini ada warga dari tujuh dusun, dua desa dan dua kecamatan berbeda. Rinciannya, dari Kecamatan Candipuro, Desa Sumberwuluh ada Dusun Kebondeli Selatan, Kebondeli Utara, Kajar Kuning dan Kamar Kajang. Sedangkan dari Kecamatan Pronojiwo, Desa Supiturang ada Dusun Gumukmas, Curah Kobokan dan Sumbersari.

Dari tujuh dusun tersebut, Curah Kobokan dan Kajar Kuning menjadi yang terparah. Bahkan para penyintasnya masih menyimpan memori trauma. Kecamuk panas abu vulkanik gunung setinggi 3.678 meter itu masih menghantui, jeritan tetangga, dan teriakan anak-anak membuat mayoritas penyintas ogah kembali ke desa. Huntap pun menjadi kesempatan bagi mereka untuk membangun kehidupan.

Trauma itu terobati perlahan selama di Huntap

Ardi Anwar Wardi (17) duduk santai di teras huntapnya, Blok E6-1. Di sampingnya terlihat kursi roda. Ia melempar senyum sembari menganggukkan kepala, ketika ada orang yang melintas di depannya. Namun siapa sangka, di balik senyum ramahnya, warga Curah Kobokan ini menyimpan trauma saat kejadian erupsi APG Semeru.

"Waktu itu saya sedang tidur, tiba-tiba dibangunkan. Saya kan gak bisa jalan, jadi bingung kenapa orang-orang pada panik," ujarnya kepada IDN Times.

Setelah itu, Ardi—sapaan karibnya—diajak oleh kakaknya, Siska Wahyuni (26) untuk berpindah ke kursi. Ia melihat kalau awan di atas rumahnya menjadi memerah. Kepanikan kian terasa. Jeritan tetangga, tangisan anak-anak kecil hingga rapalan doa-doa ia dengar secara jelas. Sementara Ardi, hanya bisa duduk melihat kebingungan yang ada.

"Saya ditarik duduk di depan pintu rumah. Gak lama setelah itu, ada yang jemput buat ngajak ke Musala," kata Ardi. Ia pun hanya mengikuti ajakan yang ada, karena kakinya lumpuh akibat terjatuh saat masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar (SD).

Sesampainya di Musala, Ardi dan keluarganya serta para tetangganya hanya singgah sejenak. Tak berselang lama, ada jemputan dari pihak kecamatan dan desa untuk mengajak segera mengungsi. Karena tempatnya tinggal, yakni Dusun Curah Kobokan dalam status berbahaya. Secepat mungkin mereka dilarikan ke tempat pengungsian terdekat.

"Tempatnya itu di lapangan, terus diajak ke pengungsian lain itu ke (Desa) Penanggal," kata Ardi. Di sinilah, keluarga Ardi memulai kehidupan untuk mengamankan diri. Ada tenda darurat yang didirikan BNPB berkolaborasi dengan BPBD Jatim dan Lumajang. Semua berjibaku memberikan layanan terbaik untuk para pengungsi.

Sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) baik itu dari provinsi maupun kabupaten turut turun tangan. Ada dari dinas sosial, dinas pekerjaan umum dan perumahan rakyat juga dinas perpustakaan dan kearsipan. Ada yang membantu mendirikan dapur umum, untuk memenuhi kebutuhan logistik. Ada yang membuat sekolah darurat, saluran sanitasi, pembuangan sampah hingga bilik asmara.

Bupati Lumajang pun menetapkan status Tanggap Darurat Bencana selama 14 hari, lalu diperpanjang lagi tujuh hari. Total tanggap darurat berjalan 21 hari. Namun mereka yang rumahnya hancur lebur, harus membetahkan diri di pengungsian selama lima bulan 10 hari.

Sementara Ardi dengan kondisinya yang tidak bisa berjalan, mendapatkan perbantuan khusus dari saudaranya asal Surabaya. Ia diajak mengungsi ke ibu kota Jawa Timur, Surabaya. Di Kota Pahlawan, Ardi ikut beberapa bulan saja di rumah saudaranya. Ia sempat diajak berobat untuk kelumpuhannya. Bahkan mendapatkan hadiah kursi roda.

Setelah tahu orangtuanya dapat rumah baru di Huntap BSD Sumbermujur, ia meminta pulang. Di sini, Ardi dan keluarganya memulai kehidupan baru. Membasuh luka, menghilangkan trauma. "Selama di sini, saya senang. Lingkungannya enak, tetangganya baik-baik, sudah gak takut kalau ada erupsi. Kalau disuruh ke rumah Curah Kobokan, saya sudah gak pengin, rumahnya gak ada, hancur," ungkapnya.

Baca Juga: Kisah dari Timur Jawa, Menjaga Indonesia Lewat Tradisi dan Budaya

Nyaman dengan bangunan dan lingkungan Huntap

Sama halnya Ardi, Suyadi (40) merasa, tinggal di huntap ini upaya menghapus trauma. karena dusunnya yang berada di Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh sudah rata dengan material erupsi Gunung Semeru. Ketika letusan, abu vulkanik menghujani seluruh kawasan dusun. Semua pun kalang kabut, tunggang langgang untuk menyelamatkan diri. "Saya masih takut kalau mengingat peristiwa 2021 itu," ucapnya.

Suyadi pun bersyukur mendapatkan huntap Blok D2-10 dengan ukuran tanah 140 meter persegi dan bangunan 6x6 meter ini. Menurutnya, huntap ini layak untuk ditinggali. Bangunannya kukuh, tahan gempa dan tak tembus suara hujan. Hal itu sudah dibuktikannya secara langsung. "Sudah saya coba memaku temboknya tapi pakunya yang bengkong, terus kalau hujan suaranya gak tembus," ungkapnya.

Kini, seiring berjalannya waktu, kekhawatiran tentang bahaya erupsi saat hidup di huntap mulai terkikis dengan sendirinya. Suyadi dan eks penyintas erupsi Semeru lainnya pun betah di sini. Apalagi, sejumlah fasilitas umum dan fasilitas sosial disediakan lengkap.

Fasilitas-fasilitas itu berupa masjid di setiap blok. Total ada lima masjid di sini. Kemudian juga ada balai pertemuan untuk warga. Ditambah lagi sarana pendidikan, mulai dari jenjang anak usia dini, sekolah dasar, madrasah menengah hinga atas. Ada pula sarana kesehatan puskesmas pembantu, sarana olahraga berupa lapangan dan toko swalayan. Kemudian juga ada taman bermain, Rumah Restorative Justice serta kandang komunal bagi yang ingin beternak seperti di kampung lamanya dulu.

“Jadi di sini semua terus dilengkapi, semoga semuanya terus terjangkau. Sehingga tidak lagi kepikiran untuk kembali ke rumah yang dulu. Bisa tinggal guyub semuanya di sini sudah senang," katanya.

Tak berpangku tangan, pilih buka peluang

Fasilitas di huntap memang terus dilengkapi oleh pemerintah. Akan tetapi, masyarakat yang direlokasi memang dasarnya ialah mandiri. Mereka memanfaatkan setiap peluang yang ada. Dulu, yang kesehariannya menjadi petani, kini mau berdagang. Membuka toko kelontong di samping huntap. Seperti halnya yang dilakukan Mahfud (70) dan Misnah (69) yang tinggal di Blok E6-1.

"Saya dulu petani, di dusun yang lama di Curah Kobokan saya punya tiga petak sawah yang kalau ditotal sekitar satu hektare luasnya. Tapi karena erupsi itu sekarang di sini, sudah tua gak berani bertani di sana, kalau ada meletus lagi malah bingung," terang Mahfud.

Maka dari itu, Mahfud berinisiatif membuka toko di huntap. Toh, tak banyak yang membuka toko seperti dirinya. "Awalnya saya lihat tidak ada toko di sini, terus saya buka. Nanti kalau kulak itu nitip anak saya yang kerja di Lumajang (kota)," katanya.

Pendapatan yang diraup Mahfud dengan membuka toko bisa menghidupi kebutuhan istri dan cucunya. Di sini, Mahfud tinggal bersama Misnah dan dua cucunya, Muhammad Firmansyah (18) dan Raisa (4). Ia tak mau harus berpangku tangan menunggu uluran belas kasih pemerintah maupun masyarakat luar. Dengan usaha yang ditekuninya, ia berharap tidak kekurangan hidup di huntap.

"Sehari bisa dapat Rp250 ribu – Rp300 ribu. Itu uangnya buat kulak lagi sama buat belanja kebutuhan makan sama bayar beberapa iuran di huntap. Seperti iuran kebersihan itu Rp5 ribu tiap bulan untuk setiap rumah, terus bayar listrik pribadi, kalau airnya gratis," jelas Mahfud.

Di usia senjanya, Mahfud ingin menikmati masa tua di huntap saja sembari mengasuh cucu. Ia tidak ingin mencari risiko maupun mara bahaya di jalur merah Semeru. Meski sebenarnya benak hatinya terdalam kangen kampung halaman, dusun kelahiran, sawah dengan tanaman padi yang rimbun hingga kambing dan ayam yang berjubel di kandang. "Tapi takdir membawa kami ke sini, memulai hidup di sini. Bismillah harus dijalani dengan penuh rasa syukur di hati," ungkapnya.

Merayu pemegang kunci untuk menetap

Kendati huntap diberikan secara gratis dengan fasilitas yang lengkap, nyatanya sebagian pemilik kunci tak kunjung menempati. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lumajang telah membagikan atau melakukan serah terima kunci hingga tahap ke-12. Total ada sebanyak 1.924 KK yang telah mendapatkan huntap. Artinya, masih tersisa sebanyak 27 huntap yang belum diserahterimakan.

"Memang sudah hampir semuanya terisi di huntap ini, tapi beberapa masih enggan menempati. Tapi, ada juga yang menempati hanya malam hari untuk tidur. Karena harus bekerja di lahan pertaniannya yang dulu, juga ada yang kerja di kota dan banyak lainnya," ungkap Kepala Desa Sumbermujur, Yayuk Sri Rahayu.

Urusan perut memang tidak bisa dibendung. Sebagai Kepala Desa, Yayuk memahaminya. Ia hanya bisa memberikan imbauan ke warga yang nekat menggarap lahan pertaniannya yang berada di zona merah. Tak lupa, ia mewanti-wanti agar tetap hati-hati. Supaya tragedi akhir 2021 tak terulang kembali.

"Karena ada yang berpikir kalau hidup di sini (huntap) saja tak punya pekerjaan. Jadi kebutuhannya harus bagaimana begitu, sedangkan di sana (dusun lamanya) masih ada harapan mencari rezeki di sana," katanya.

Meski sebagian pemilik huntap belum menetap, pemerintah desa terus berupaya merayu mereka agar tinggal di sini. Ajakan itu juga beberapa kali disampaikan langsung oleh BPBD Lumajang. "Maka dari itu kita ada proses monitoring dan pembinaan, memang seyogyanya tempat relokasi itu ditempati, tapi ada beberapa ngeyel balik ke tempat asalnya. Di sini kita terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat setempat," terang Kepala Pelaksana BPBD Lumajang, Patria Dwi Hastiati via telepon, Kamis (26/9/2024).

Menjadikan laboratorium kebencanaan

Sembari melakukan sosialisasi dan edukasi kepada penghuni huntap yang belum mau menetap, pemerintah menyiapkan hunian bak klaster perumahan minimalis ini menjadi laboratorium kebencanaan. Dipilihnya lokasi ini, lantaran tempatnya tidak termasuk zona merah Gunung Semeru. Meski ketinggiannya yang mencapai 1.478 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu lebih dekat dengan puncak gunung.

"Jadi dulu proses awal begitu ada relokasi, pemerintah daerah mencarikan lahan untuk relokasi. Tempat itu mempertimbangkan beberapa indikator, salah satu indikator itu area yang aman. Di luar kawasan rawan bencana (status) satu, dua maupun tiga,” kata Patria.

"Dulu ada beberapa alternatif, di Kecamatan Pronojiwo dan Candipuro. Akhirnya setelah melalui proses survei oleh tim, yang paling cocok di Desa Sumbermujur," jelasnya menambahkan.

Selain itu, Huntap BSD Sumbermujur juga sudah didesain aman dari bencana. Bangunan rumahnya diklaim antigempa, kemudian sejumlah komponen penunjang untuk mitigasi bencana juga telah terpasang. Seperti halnya papan hijau bertuliskan ‘Jalur Evakuasi’ yang terpampang di tiap kelokan jalan setempat.

Tak hanya itu, kentongan di beberapa titik juga disediakan di sana. Pemerintah ingin memanfaatkan kearifan lokal itu menjadi salah satu alarm bila terjadi hal-hal genting. Meski dalam waktu dekat, Early Warning System (EWS) berupa alat peringatan dini akan segera dipasang di kawasan huntap. Sebagai penunjang laboratorium kebencanaan yang akan dicanangkan.

"Nanti mau kita jadikan laboratorium bencana, kami akan memberi pelatihan masyarakat di sana untuk membuat Desa Tangguh Bencana, beberapa EWS sudah kami siapkan. Hanya saja untuk saat ini yang terpasang di daerah yang benar-benar rawan bencana, di lokasi desa yang berpotensi terdampak erupsi," terang Patria.

"Kalau Desa Sumbermujur ini walaupun lebih dekat dengan puncak tapi di zona aman. Tapi nantinya tetap kami siapkan semuanya di sana. Masyarakatnya kami siapkan, kemudian infrastrukturnya kita siapkan terkait edukasi bencana," imbuh dia.

Lebih lanjut, kata Patria, pihaknya juga menyiapkan program dan anggaran untuk laboratorium kebencanaan tersebut. Program yang mulai berjalan dan sudah dikenalkan ialah ‘Ngeramut Tonggo’. Program ini akan diberlakukan untuk semua masyarakat Kabupaten Lumajang. Mengingat, Lumajang mempunyai 10 potensi bencana.

"Jadi program ini bertujuan untuk menumbuhkan kepedulian antar masyarakat. Sehingga mereka dapat melakukan pertolongan dini ketika terjadi bencana. Karena diketahui ada 10 bencana yang mengancam yaitu gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, banjir bandang, longsor, gelombang ekstrem dan abrasi serta kebakaran hutan," bebernya.

Sementara untuk anggaran, Patria menyebut akan dianggarkan dalam APBD Kabupaten Lumajang. "Ini embrionya sudah kami siapkan, secara komprehensif masih perencanaan dan penganggaran, anggarannya tidak melekat di BPBD saja, ada OPD lainnya juga akan menganggarkan untuk ikut membuat laboratorium kebencanaan ini," terangnya.

Perhatian itu tak akan putus

Pemprov Jatim menyambut antusias ihwal laboratorium kebencanaan di Huntap BSD Sumbermujur. Hal itu dinilai menjadi langkah progresif, dan nantinya bisa menjadi percontohan secara nasional. "Saya rasa rencana laboratorium itu sangat bagus, nantinya penganggaran akan dilakukan oleh Kabupaten Lumajang,” kata Kepala Pelaksana BPBD Jatim, Gatot Soebroto saat dikonfirmasi, Sabtu (28/9/2024).

Nantinya, lanjut Gatot, BPBD Jatim tidak akan lepas tangan. Pihaknya bakal membantu dalam pembentukan laboratorium tersebut. Seperti mengirim petugas untuk memberikan pelatihan mitigasi. Kemudian melakukan pengawasan sekaligus penilaian untuk segera mewujudkan Desa Tangguh Bencana (Destana).

Diketahui, selama 2024 ini ada sebanyak 70 Destana baru yang dibentuk di Jatim. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2023 yang hanya sebanyak 30 Destana. Hingga Mei 2024, total ada sebanyak 1.729 Destana di Jatim. Dengan catatan tahun 2023 lalu terbentuk 1.659 Destana. Plt Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Jatim, Dadang Iqwandy memyebut, Destana ini sangat penting. Karena dari jumlah 8.504 desa dan kelurahan di Jatim, yang masuk kategori rawan bencana sebanyak 2.742 desa.

"Destana ini membantu penanganan jika terjadi bencana, karena masyarakat yang ada di dalam desa tersebut minimal bisa mandiri melakukan mitigasi dan pertolongan dini jika terjadi bencana alam atau non-alam di sekitar tempat tinggalnya," kata Dadang.

Untuk menjadi Destana yang benar-benar tangguh, Pemprov Jatim ambil bagian memastikan seluruh infrastruktur di sekitarnya menunjang. Seperti perbaikan ekspres yang dilakukan ketika Jembatan Mujur II Kloposawit dan Tanggul Sungai Mujur yang jebol akibat terjangan lahar dingin Semeru pada 18 April 2024.

"Kami lakukan langkah cepat perbaikan, sesuai janji kami ke masyarakat setempat. Tanggul yang diproyeksikan selesai dalam dua bulan, bisa tuntas satu bulan lebih tiga minggu. Ini menunjukkan bahwa teman-teman bekerja dengan niatan penuh," ungkap Penjabat Gubernur Jatim, Adhy Karyono.

Lebih lanjut, Adhy juga sudah meresmikan dua proyek tersebut pada 8 Juni 2024 lalu. Selain lokasi ini, ia menyebut kalau Pemprov Jatim menyelesaikan empat tanggul lokasi berbeda di Lumajang. Selain itu, ada lima jembatan yang dibangun ditambah satu jembatan diperbaiki. Total anggaran yang digelontorkan sebesar Rp52 miliar yang diambilkan dari Belanja Tidak Terduga (BTT) Pemprov Jatim.

Rangkul semuanya, wujudkan kenyamanan dan kedamaian

Upaya penanganan bencana erupsi Gunung Semeru secara kolaborasi yang dilakukan pemerintah ini mendapatkan sejumlah catatan khusus dari Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Tuti Budirahayu. Ia melihat ada hal yang masih perlu disempurnakan. Seperti pemindahan penduduk atau relokasi. Sehingga penghuni huntap mau menetap.

Tuti—sapaan karibnya—mengingatkan kalau pemerintah harus memahami kultur dan strukrur masyarakat yang direlokasi. Mulai dari lingkungan mereka sebelumnya, hingga mayoritas mata pencahariannya. Jika dua ini dapat dijamin, maka ia meyakini kalau seluruhnya mau untuk tinggal secara tetap di huntap.

"Kalau mau memindahkan harus ada persiapan matang. Artinya, pemerintah tidak sekadar membangun perumahan, tapi juga mengajak mereka mengenal lebih dekat wilayahnya, apakah cocok dengan lingkungannya, lalu mata pencaharian apa yang akan dikerjakan ketika pindah," katanya.

"Kalau sudah buat kampung yang tetap maka pekerjaannya juga harus dipikirkan. Menurut saya, pertanian inilah yang perlu dikembangkan di tempat relokasi yang baru, supaya mereka tidak bergantung dengan jenis pekerjaan yang membahayakan seperti bertani di zona merah, bahkan nekat menjadi penambang pasir di sungai aliran lahar erupsi Semeru," imbuh Tuti.

Sementara terkait lingkungan, Tuti menyarankan agar pemindahan itu sesuai dengan struktur sebelumnya. Jika dulunya mereka dalam satu RT, maka seharusnya diterapkan hal serupa. "Pindahkan sama seperti mereka tinggal. Karena mereka ini kan tingkat kekerabatannya tinggi. Ini menjadi ciri khas masyarakat pedesaan. Mereka lebih senang guyub," terangnya.

Tak kalah pentingnya, lanjut Tuti, para penyintas erupsi Semeru itu harus didekati secara persuasif dengan melibatkan tokoh adat atau tokoh masyarakat setempat. "Siapa sih orang yang dianggap punya power, misalkan ketua adat harus diajak ngomong, supaya masyarakat pindah dengan aman, nyaman dan damai," pungkasnya.

Baca Juga: [BREAKING] Gunung Semeru Erupsi, Warga Mengungsi

Berita Terkini Lainnya