Kisah Mely, Guru Honorer yang Melampiaskan Dahaga Lewat Kata

#AkuPerempuan #HariGuru, nih guru inspiratif dari Surabaya

Surabaya, IDN Times- Perawakannya sederhana. Tutur katanya lembut, sangat keibuan. Demikian kesan pertama yang aku tangkap setelah bertemu dengan Melyani Dwi Astuti. Perempuan berusia 49 tahun itu merupakan guru honorer yang sudah mengabdi selama 23 tahun. Artinya, dia tergolong sebagai honorer kategori 2 (K2).

Menjalani hidup sebagai guru honorer tentu tidak mudah. Banyak suka duka yang telah dia lalui. Perkara gaji?Jangan ditanya, Mely saja baru mendapat honor setara upah minumum kabupaten/kota (UMK) Surabaya pada 2016. Lebih nahasnya, hingga hari ini, pemerintah tak kunjung mengangkat para guru honorer menjadi aparatur sipil negara (ASN).

“Saya jadi guru honorer sejak 1993 sampai sekarang. Ya mungkin belum rezeki, makanya gagal terus tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Sampai sekarang usia sudah lebih dari 35, sudah gak bisa ikut tes lagi,” ungkap Mely saat ditemui IDN Times di kediamannya.

Selama hampir 10 tahun, Mely ikhlas menerima gaji hanya Rp600 ribu per bulan. Padahal, beban kerjanya sama dengan guru yang sudah diangkat PNS. Kendati begitu, tak terbesit dalam benaknya untuk menjajal pekerjaan lain.

“Niat ingsun (saya) mencerdaskan anak bangsa,” sambung dia.

1. Mencintai anak-anak dengan segala kepolosannya

Kisah Mely, Guru Honorer yang Melampiaskan Dahaga Lewat KataMely menunjukkan puluhan karya tulisnya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Hingga saat ini, Mely tercatat sebagai guru di SDN Kupang Krajan, Surabaya. Perempuan tamatan Universitas PGRI Adi Buana dan STIE Mahardika ini sangat mencintai pekerjaannya sebagai guru SD. Salah satu alasannya adalah keluguan anak SD yang selalu menghibur hatinya.

“Saya suka melihat kepolosan dan keluguan anak-anak. Membuat hati terhibur. Terus, SD itu kan dasar pembentukan karakter,” ungkap dia.

Namun, tidak jarang hati kecilnya terusik andai suatu hari dirinya dipindah dari tempatnya mengabdi. Momen tersebut acap kali datang tatkala pemerintah membuka lowongan CPNS untuk guru.

“Kalau ada berita, kiriman PNS ke sekolah-sekolah, kami ini sudah ketar-ketir, mau dibuang ke mana kami? Karena kalau ada PNS baru, pasti yang guru honorer tersingkir kan,” sambungnya.

2. Stigma terhadap guru yang buruk

Kisah Mely, Guru Honorer yang Melampiaskan Dahaga Lewat KataKegiatan Mely bersama honorer K2 di Surabaya (Dok. IDN Times/Istimewa)

Duka lainnya yang sering mendera hatinya adalah stigma negatif terhadap guru honorer. Lantaran banyak guru honorer yang gagal mengikuti tes CPNS, tidak jarang mereka dicap sebagai guru yang tidak memiliki kualitas.

“Kemarin itu ada pejabat yang ngomong, guru honorer itu orangnya rendah kualitas dalam segala hal, gak pinter, kurang profesional, dianggap gak mampu. Mereka gak tahu faktanya di lapangan,” demikian tutur guru yang sudah menamatkan studi dari 3 kampus, termasuk Universitas Terbuka.

Baca Juga: Guru Honorer K2 di Jawa Timur Tolak Jadi P3K

3. Melampiaskan duka melalui kata

Kisah Mely, Guru Honorer yang Melampiaskan Dahaga Lewat KataSalah satu karya tulis Mely yang mendapat Rekor Muri (IDN Times/Vanny El Rahman)

Menghadapi segala stigma dan persepsi negatif, Mely tidak pernah putus asa. Segala kegundahannya dilampiaskan melalui rangkaian kata. Mely adalah sosok guru yang menggeluti dunia literasi. Masa mudanya, selain menabung untuk kuliah, dia juga mengikuti berbagai kursus. Salah satunya kursus menulis.

“Dulu juga pas bujang, uang saya habis buat beli buku,” tuturnya singkat.

Sampai saat ini, nama Melyani Dwi Astuti tercatat sudah ada di 20 buku. Mulai dari antologi puisi hingga kisah pendek. Semuanya tentang kecintaan Mely terhadap dunia pendidikan dan paras kota Surabaya sebagai tanah kelahirannya.

“Saya menulis buku ini untuk menghalau duka saya,” ungkapnya. Adakah guru tidak berkualitas yang mampu menghasilkan lebih dari 20 karya tulis?

“Sekarang banyak guru-guru yang sudah PNS keenakan, sampai lupa kewajiban mereka untuk menulis juga,” tambah dia.

4. Menceritakan sebagian kisah nyata kehidupannya

Kisah Mely, Guru Honorer yang Melampiaskan Dahaga Lewat KataMely menunjukkan karya tulisnya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Seingat Mely, sudah lima buku yang ia tulis secara mandiri. Salah satu kisah yang membekas dalam benaknya adalah cerita tentang seorang murid yang hendak mengikuti ujian akhir. Kala itu, orang tuanya meminta supaya sang anak mempersiapkan diri bakal ujian. Namun, apa dikata, takdir berkata beda.

“Anaknya bilang ke ibunya ’ngapain sih ujian, nanti aku gak ditanyain juga di akhirat’. Eh besoknya, benar, anaknya malah meninggal,” tutur Mely.

“Cerita kayak begitu saya tuliskan di buku saya. Sampai sekarang saya masih nulis. Karena mahal ya untuk nerbitin buku, akhirnya ada yang bareng-bareng, jadinya antologi. Kalau yang buku tulisan saya sendiri, seingat saya sudah ada lima.”

5. Buku adalah satu-satunya warisan

Kisah Mely, Guru Honorer yang Melampiaskan Dahaga Lewat KataSalah satu buku karya tulis Mely (Dok. IDN Times/Istimewa)

Kecintaan Mely terhadap dunia literasi bermula saat karya tulisnya memenangi lomba yang diselenggarakan oleh Kenduri Cinta, majelis silaturahmi yang dipimpin oleh budayawan Emha Ainun Nadjib. Dari situ, dia semakin tenggelam dalam lautan kata.

Sebagai guru, Mely turut menyebarkan semangat menulis kepada murid-muridnya. Setiap kali ada perlombaan menulis, Mely pasti turun tangan untuk membantu anak didiknya.

Selain sebagai tempatnya berkeluh-kesah, pena dan kertas baginya adalah warisan. Selama puluhan tahun berumah tangga, Mely belum dikarunai seorang anak. Kelak bila dia sudah tidak lagi ada, Mely berharap cerita dan puisinya tetap terus ada.

“Bagi saya buku-buku ini satu-satunya warisan saya,” tutup Mely.

Baca Juga: Seutas Senyum dan Untaian Mimpi Guru Honorer dari Tanah Para Pahlawan

Topik:

  • Dida Tenola

Berita Terkini Lainnya